Di antara negara-negara Asean, soal memerangi Pandemi Corona, Vietnam adalah juaranya. Bayangkan pada 26 Februari 2020, semua penderita corona, yaitu 16 orang termasuk orang tua berusia 73 tahun dinyatakan sembuh dan hingga saat ini belum terdapat satu pun korban meninggal. “Bila diandaikan pertempuran melawan Covid19 adalah perang, maka kami telah memenangkan putaran pertama tetapi tidak seluruhnya karena situasinya bisa sangat tidak terduga,” kata Menteri Kesehatan Vietnam mengutip wakil Perdana Menteri Menteri Vu Duc Dam di media daring Aljazeera.com.
Bagaimana keajaiban itu muncul? Dari penjelasan Media Kumparan yang mengutip penjelasan World Health Organitation (WHO), kuncinya pada respon atau penanganan pertama saat kejadian belum begitu merebak. Sejak munculnya kasus pertama pada 23 Januari 2020, sembilan hari kemudian, Pemerintah langsung menetapkan corona sebagai wabah. Ketika wabah muncul lagi di Pedesaan Son Loi, pemerintah langsung mengisolasi 10.600 penduduk desa itu selama 20 hari. Begitu halnya saat ada lagi kasus di pemukiman tertentu, besoknya pemukiman tersebut di karantina dan rumah korban didisinfektan.
Tentu, keajaiban Vietnam ini bukanlah muncul tiba-tiba. Kita tak dapat melupakan sejarah Vietnam yang gemilang. Sejarah yang penuh perjuangan, baik melawan Cina, Prancis, Amerika, hingga saat ini, melawan Corona.
Kita masih ingat perjuangan rakyat Vietnam Utara saat melawan pasukan terlatih Amerika Serikat sejak 1957 hingga 1975, Negeri Paman saat itu menganggap Vietnam sebagai gembong Komunis, dan berupaya memutus mata rantai Soviet-Cina di Asia Tenggara. Rakyat bahu membahu di bawah kepemimpinan Jenderal Vo Nguyen Giap. Giap yang juga berstatus Guru Besar Ilmu Sejarah, pernah menjadi guru sejarah militer di Prancis dan sempat mempelajari sejarah langsung taktik militer Napoleon di negeri penjajahnya. Saat itu, Ngunyen maupun Bapak Bangsa, yaitu Ho Chi Minh sepakat dengan ungkapan cendekia Vietnam abad ke-15, Nguyen Trai, yaitu untuk mengalahkan musuh, orang harus mengenal musuhnya terlebih dahulu.
Selain itu mereka percaya bahwa pendidikan sejarah pada rakyat akan menguatkan moral mereka untuk melawan penjajah. Bersama tim kecil, saat berjuang melawan penjajahan Jepang saat Perang Dunia ke-2, mereka begitu getol mengajarkan sejarah kepada pemuda dan rakyat, bahwa kita harus kembali ke jaman dahulu kala, ketika kita bebas mandiri, tidak di bawah Cina, tidak di bawah Prancis maupun Jepang.
Saat itu, pasukan Vietnam adalah pasukan tambal sulam dari para petani yang ada di pedesaan. Sedangkan pasukan Amerika adalah pasukan dengan peralatan lengkap, disertai dengan truk maupun helikopter. Giap tak kehabisan akal, berbekal dengan pengetahuan Gerilya, yaitu pukul mundur, jebak lari, yang berlangsung terus menerus, hingga membuat mental pasukan Amerika jatuh.
Pasukan Vietnam bekerjasama dengan rakyat biasa, para petani di pedesaan, untuk menggerakkan logistik ke seluruh area perjuangan. Hal ini sesuai dengan pola gerakan yang diajarkan oleh Paman Ho, bahwa basis pergerakan ada dua, pertama adalah ”co sa” atau tempat berpijak, yaitu keluarga ataupun rakyat yang bersimpati, dan kedua adalah “chien ku” atau partai dan gerilyawan.
Pasukan gerilya yang dibantu petani desa hanya berbekal tangan, kaki, dan punggung untuk mengangkut logistik dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Helikopter Amerika tak dapat memantau pergerakan mereka. Bahkan, ketika mereka ingin menyeberang sungai, mereka melintasi tambang dengan bergelantungan dengan tubuh sepenuhnya berada di dalam air.
Perang yang berlangsung terus menerus dan seperti tak ada ujungnya ini membuat pasukan Amerika kehilangan orientasi. Pada akhirnya, rakyat Amerika sendiri yang menuntut pemerintahnya untuk menghentikan perang. Hal ini berkat tayangan secara langsung di televisi yang disaksikan oleh rakyat Amerika, yang menunjukkan kesia-siaan berperang dan kelanjutan peran akan membunuh lebih banyak anak muda Amerika. Pun pada akhirnya Amerika menyerah.
Pelajaran apa yang dapat diperoleh? Salah satunya adalah kedisiplinan. Inilah yang membebaskan Vietnam dari Jepang, dari Prancis, Amerika, maupun dari Corona.
Pemerintah dan rakyat sudah menjadi satu. Bukan saja saat ini, tapi jauh sebelumnya, bahkan sebelum Amerika menyerang. Bibit ini disemai oleh banyak pihak, dan kontribusi terbesar adalah dari pemimpin terbesar Vietnam sendiri, yaitu Ho Chi Minh. Paman Ho menurut William J. Duiker adalah separuh Lenin dan separuh Gandhi. Sosok ini menjadi jangkar pemersatu dan model pembangunan karakter rakyat Vietnam.
Nama yang melekat saat ini itupun adalah nama yang digunakannya saat menyamarkan diri ke Cina, nama aslinya adalah Nguyen Tat Thanh atau Nguyen Ai Quoc. Berdasarkan literatur, Ho Chi Minh memiliki belasan nama samaran. Ho Chi Minh sendiri adalah anak dari seorang revolusioner, yang meluangkan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari seni konfusianisme, di samping terus menerus mengkompori rakyatnya untuk membenci Prancis, melalui sastra dan ilmu sejarah. Dari ayahnya ia memiliki kepekaan Bahasa, di samping gurunya yang bernama Vuong Thuc Do, mendorong untuk mencintai sastra. Bacaan favoritnya waktu beliau masih belia, yaitu Journey to the west, karya Xuan Zang.
Ho pernah bertanya kepada kerabatnya yang lebih senior, bagaimana Jepang dapat berhasil dalam pengembangan teknologi? Rekannya menjawab, bahwa Jepang belajar dari barat. Sejak itu ia termotivasi ke barat. Mulanya ia ke London, bekerja serabutan, pembersih salju dan koki restoran pun dijalaninya. Sembari itu, ia meluangkan waktu untuk berkumpul dengan orang-orang Asia. Di samping itu, Ho bersimpati pada perjuangan rakyat Irlandia untuk merdeka dari Inggris. Suana perang dunia 1 begitu mencekam, ia memutuskan untuk meninggalkan London dan bergerak ke Amerika. Di sana ia begitu terenyuh melihat penindasan orang Amerika terhadap para budak Afrika. Ia tak betah di Amerika, melihat kelakuan Ku Klux Klan, dan bergerak lagi ke Prancis pada 1917. Di Prancis ini ia terlibat bersama ribuan orang Vietnam dalam perjuangan bersama Prancis untuk mengusir tentara Jerman. Ia pun sadar, bahwa Prancis adalah negeri yang rentan.
Pasca perang, ia pun bergabung di organisasi sosialis Prancis, sebagai pencarian bentuk pergerakan yang cocok untuk memerdekakan Vietnam kelak. Dari sinilah ia belajar teori komunis-leninisme. Ia pun terlibat dalam pembentukan Partai Komunis Prancis. Dari sini ia menjadi agen komunis, bergerak kemana-mana, ke Moskow, ke Leningrad, ke Toilers, hingga ke Kanton. Di Kanton inilah ia mengkader begitu banyak anak muda Vietnam, yang nantinya dapat menjadi bibit-bibit kemerdekaan Vietnam.
Paman Ho selalu mengandalkan organisasi sebagai kunci. Berbeda dengan slogan Mao Zedong, yang mengandalkan kekuasaan berada di ujung bedil. Kalau menurut Le Duan dalam buku Ho Chi Minh dan Sukarno, istilah tepat dalam keseluruhan proses revolusioner adalah : atur – atur dan atur. Makanya, sedikit berbeda dengan Tan Malaka, Paman Ho menghabiskan sebagian besar usia mudanya (28 tahun) keliling dunia untuk mempelajari organisasi dan bagaimana memerdekakan Vietnam, menyempatkan waktu untuk mengkader generasi muda berkebangsaan Vietnam dimana saja ia berada. Kadernya hingga beratus-ratus orang. Sedang Tan Malaka, yang kisah hidupnya sangat mirip dengan Paman Ho, memiliki sedikit kesempatan untuk mengkader pemuda. Sehingga strategi defensif tidak begitu efektif ketika beliau kembali ke Indonesia.
Paman Ho mengistilahkan gerakan revolusionernya seperti buah. Bila kita melihat buah, kita hanya melihat kulitnya, tidak melihat isinya yang terus berkembang beserta bijinya yang keras. Ketika buah itu jatuh ke tanah dan membusuk, bijinya kembali berkembang untuk menjadi pohon, dan kembali menghasilkan buah lagi.
Saya pernah diskusi dengan seorang teman yang biasa berwisata ke luar negeri. Ia tampak kagum dengan rakyat Vietnam yang begitu bangga dengan sejarah dan pemimpinnya. Di sana, anak muda tidak ragu untuk menceritakan sejarahnya, bahkan dengan mata berkaca-kaca saking bangganya. Lantas, bagaimana dengan sejarah kita sendiri Indonesia. Apakah kita berkaca-kaca untuk menceritakannya?
Selain itu, kata Babra Kamal — seorang kawan yang baru pulang dari Vietnam – dengan setengah bercanda menyebutkan, “Bung, di sana cewek-ceweknya kuat-kuat. Kalau kita jabat tangan, tangan kita bisa diremuknya.” Saya tersenyum seolah membenarkan perkataannya.
Pernah suatu waktu Saya berbincang berdua dengan Istri, bahwa negara yang harus kami datangi pertama kali adalah Vietnam. Namun, impian itu sampai detik ini belum kesampaian lantaran beragam kesibukan dan lain-lain. Mudah-mudahan, setelah wabah Corona ini, kami bisa jalan-jalan ke sana dan menapak tilas perjuangan Paman Ho dan Paman Nguyen Giap.
***
Bagaimana dengan konteks Indonesia dalam melawan Corona? Sama halnya yang lalu-lalu. Kita seperti kehilangan pola untuk bergerak secara bersama. Rasa kebersamaan kita sebagai bangsa, tak tahu tempatnya di mana. Kita kesulitan mencari rasa kebersamaan kita, antara pemimpin dan rakyat, antara rakyat dan rakyat. Kita kehilangan narasi untuk berjuang secara bersama untuk melawan virus bernama Corona ini.
Kita memang tak punya orang sekelas Ho Chi Minh, yang pikirannya seperti Lenin dan batinnya seperti Gandhi. Tapi kita punya Soekarno sang penyambung lidah Rakyat, punya Hatta yang budinya sekelas Gandhi (Gandhi from Java). Dan, masih banyak lagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang dapat menginspirasi kita. Hanya saja butuh kebesaran dari para pemimpin kita untuk belajar dari sejarah dan menginspirasi kita untuk berjuang secara bersama melawan Corona.
Sumber:
1) Media video pendek Kumparan tentang Vietnam dan Corona, diakses pada tanggal 22 Maret 2020. 2) Ho Chi Minh & Sukarno, oleh Tim Majalah Historia, diterbitkan oleh Kompas pada 2018. 3) The 33 Strategies of War by Robert Greene, 2006. 4) Artikel www.aljazeera.com 29/02/2020.