Pada mulanya adalah kata, begitulah sabda kitab suci pada kita. Lalu merambat menjadi lingua yang lebih akrab disebut dengan linguistik. Dalam pembelajaran bahasa tentunya sudah tak asing lagi dengan nama-nama seperti: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Narasi perihal kosmos kebahasaan tersebut telah menjadi liyan bagi batang tubuh kebahasaan yang bermula dari sebuah kata lalu merambat jadi lah semesta raya.
Bahasa telah menjadi senjata yang ampuh untuk meneroka semesta bagi pesastra. Entah itu novelis, cerpenis atau pun penyair. Ketiga pegiat sastra itu saya katakan sebagai penganggit kata yang merekam segala peristiwa mikro di bentala raya agar mampu dibaca. Bedanya, jika novelis dan cerpenis mengurai kata demi kata menjadi untaian kalimat bercerita. Beda halnya dengan penyair. Penyair bekerja pada aspek semantis tiap kata supaya mampu menarasikan konotasi jamak pada tiap pembaca. Sehingga pembaca mampu mengapresiasi lewat intuisi.
Gerak hati yang timbul saat membaca puisi merupakan subjektivitas pada setiap diri. Hal ini tidak terlepas dari karakter puisi itu sendiri: bersifat estetika, hemat kata, dan bersifat figuratif. Aspek estetik pada puisi hadir karena perpaduan tiga aspek utama yang saling berkelindan: yang pertama ada diksi, majas dan yang terakhir ada metafora. Tapi apa jadinya jika puisi bisa eksis tanpa adanya metafora di batang tubuhnya?
Hakikat Puisi
Puisi sendiri adalah salah satu dari genre sastra: prosa, puisi dan drama. Kata puisi diadopsi dari bahasa Yunani yakni poeima yang berarti membuat atau poeisis yang berarti pembuatan. Puisi juga adalah karya sastra yang paling awal yang pernah ditulis oleh umat manusia. jadi, karya sastra tertua bukan novel, cerpen atau pun drama melainkan puisi. Dari hal itu banyak karya sastra lama yang berbentuk puisi, sebut saja: Mahabarata, Ramayana dari India yang berbentuk puisi atau kavya (kakawin). Drama-drama Sophocles (Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, dan Antigone) dan drama-drama William Shakespeare (Hamlet, Macbeth dan Romeo dan Juliet) juga berbentuk puisi.
Puisi berkembang seiring berjalannya waktu. Mulai dari puisi lama hingga puisi modern. Dari yang terikat sampai ke yang bebas. Namun, bagi saya puisi Jepang memberikan khazanah penawaran baru bagi dunia kesusastraan. Terutama perihal kepenyairan. Dulu, pada era Muromachi muncul gagasan atau ide baru tentang perwajahan puisi di negeri Sakura. Namanya puisi haiku. Akan tetapi, kemunculan haiku pada masa itu bukan berarti orang Jepang belum mengenal puisi sebelumnya. Haiku hadir guna mengembalikan fitrah setiap liyan pada gerak alam melalui citraan dan daya bayang.
Komponen Haiku
Puisi haiku terdiri dari tujuh belas suku kata serta dibagi menjadi tiga larik. Pada larik pertama ada lima suku kata, larik kedua terdiri dari tujuh suku kata dan larik ketiga ada lima suku kata. Jadi totalnya ada tujuh belas suku kata. Tentunya, puisi yang masih bergantung pada aturan-aturan mengingatkan kita semua pada puisi-puisi lama yang sudah berkembang di Nusantara. Hanya bedanya haiku tidak menggunakan metafora.
Jika air laut dengan asinnya, Madura dengan Islamnya serta Bali dengan Hindunya. Dapatkah puisi hidup tanpa metafora di dalam tubuhnya? kita semua tahu, hadirnya metafora di dalam batang tubuh puisi adalah sebagai penyedap estetis pada tiap larik dan bait yang berkelindan. Metafora didefinisikan sebagai penyangkalan terhadap alam. Metafora hadir sebagai aspek estetik pada puisi namun terkadang semua penuh dengan intrik keragu-raguan terhadap alam. Hal ini yang saya kira dikritik oleh puisi haiku yang mengedepankan kejujuran terhadap buana.
Sistematika puisi haiku disamping ada tujuh belas suku kata dan terbagi dalam tiga larik ternyata, ada hal penting lain disamping itu. sederhananya, puisi haiku harus lah terdiri dari dua unsur cerita di dalamnya. Memotret dua peristiwa dalam satu waktu yang mana objeknya berfokus pada alam raya dengan memaksimalkan daya citraan: visual imagery, auditory imagery, smell imagery, taste imagery,taste imagery, tactile imagery, kinaesthetic imagery.
Syamsu tenggelam
Biduk menuju ufuk
Di gema magrib
(Royyan Julian)
Objek material yang berfokus pada alam dinarasikan sebagai aspek ontologis berupa pemotretan terhadap karya ciptaan Tuhan. Ketiadaan metafora dalam puisi haiku memperbesar kejujuran pada tiap penganggit haiku. Artinya, kita senantiasa jujur terhadap apa yang dirasakan oleh indra. Bersetia pada kaki alam serta berusaha memotret apa adanya yang terjadi. Jika langit biru ya katakan biru, jangan mengatakan langit bahwa sedang kelabu misalnya (kata kelabu sudah merujuk pada metafora). Nah, hal itulah yang berusaha puisi haiku kemukakan. Yaitu kembali kepada alam dan menarasikan dengan kaca mata telanjang. Tidak ada kepura-puraan (metafora) dalam haiku.
Aspek estetis pada puisi haiku tidak menekankan pada bukan arti sebenarnya, akan tetapi berfokus pada kigo. Kigo merupakan isyarat alam yang bisa menenangkan pikirian. Entah suara alam ataupun bisa juga suara dentuman dan kebisingan alam. Di dalam kigo tersemat kireji yang berfungsi sebagai jeda pada tiap bahasa saat merekam simfoni alam.
Selain puisi haiku yang mengkiblatkan arahnya pada alam, ada filosofi Wabi Sabi yang juga mengembalikan manusia kepada marwah nenek moyangnya. Wabi Sabi dan puisi haiku sama-sama mengekalkan kesederhanaan bahwa bumi ini fana dan penuh dengan intrik drama di dalamnya. Keduanya, bisa menjadi penangkal yang menyegarkan bagi dunia kita untuk melambat sejenak, terhubung kembali kepada alam, dan bersikap lebih baik pada diri sendiri.
Puisi haiku telah mengajarkan bagaimana manusia seyogyanya bersifat minimalis, hemat, apa adanya serta tidak perlu mempertahankan hal-hal yang tidak bisa dibawa mati. Serta dapat ditarik kesimpulan bahwasanya inti dari puisi haiku ini terletak pada aspek honest. Kejujuran menjadi barang yang amat sangat mahal di situasi sekarang ini. Haiku hadir sebagai tirta amerta di oase kehidupan yang kering nan tandus, menitik beratkan pada setiap aspek karakter dari setiap liyan melalui suara alam.