Meja Makan dan Empat Kursi yang Setia

ALKISAH, di sebuah rumah tua yang terletak tak jauh dari tepi pantai, tinggallah sebuah meja makan. Ia bukan meja makan yang besar. Hanya berukuran sedang saja. Dan seperti kebanyakan meja makan, ia ditemani empat buah kursi.

Di rumah tua tersebut, hanya ada meja makan dan keempat kursi itu yang juga sama-sama tua. Mereka ditinggalkan. Si pemiliknya, Tuan Henry, merasa sudah tidak memerlukan satu set meja makan kayu itu lagi. Sementara barang-barang lainnya turut dibawa pergi oleh Tuan Henry dan keluarganya yang pindah ke kota.

Meski begitu, meja makan dan keempat kursi itu selalu yakin, bahwa suatu hari nanti, Tuan Henry dan keluarganya akan kembali ke rumah tua itu dan menghabiskan banyak waktu bersama mereka seperti dulu.

Ya! Dulu, tuan Henry, istrinya, dan kedua putrinya, selalu menghabiskan banyak waktu bersama di meja makan. Bagi Tuan Henry dan keluarganya, meja makan bukan sekedar tempat untuk menyantap hidangan sarapan, makan siang, atau makan malam. Tetapi juga tempat melakukan banyak hal. Setiap hari, Tuan Henry akan menghitung uang hasil penjualan ikan tangkapannya di meja makan. Istrinya selalu menghabiskan waktu senggang dengan merajut di meja makan. Pun anak-anak mereka selalu menyelesaikan pekerjaan rumah di meja makan. Saat berkumpul, sesekali Tuan Henry membuat sebuah lelucon yang membuat istri dan kedua putrinya terbahak-bahak. Tak ada hari tanpa gelak tawa di meja makan. Ya, begitulah. Bisa dibilang meja makan adalah tempat favorit keluarga itu. Maka ketika ditinggalkan begitu saja, meja makan dan keempat kursi begitu kehilangan.  

Dahulu, saat manusia tertidur, semua benda di rumah tua sering berkumpul dan berpesta. Sendok, garpu, piring, gelas dan benda lainnya berdansa di atas meja makan sambil tertawa bahagia. Sementara keempat kursi menari dengan lincah di lantai. Keluarga Tuan Henry membuat mereka merasa sangat berguna.

Namun, sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan. Meja makan dan keempat kursi menghabiskan hari-hari dalam kesepian. Semakin hari, debu semakin tebal menutupi mereka. Bahkan laba-laba pun dengan lancang membuat sarang di sudut-sudut tubuh meja makan dan keempat kursi itu.

Hingga di suatu malam, sekelompok rayap mulai menggigiti kaki-kaki sang meja makan dan keempat kursinya. Rayap-rayap itu membuat sarang di sana. Semakin hari, sarang itu semakin besar, semakin banyak  rayap yang menggerogoti dan tinggal di kaki-kaki meja makan dan keempat kursi. Hingga meja makan dan kursi-kursi itu berlubang di mana-mana, dan mulai rapuh.

“Pergi kalian semua dari kakiku!” pekik si Kursi Pertama sambil mengentak-entakkan kakinya.

 Sementara itu, Meja Makan dan ketiga kursi lainnya tidak tertarik untuk mengusir rayap-rayap itu dari kaki mereka. Meja Makan dan ketiga kursi hanya berdiam diri, tak pernah bergairah untuk melakukan apa-apa. Dalam benak mereka, hanya ada satu harap. Semoga keluarga Tuan Henry dan keluarganya segera kembali.

“Sampai kapan kalian akan pasrah menerima nasib buruk ini?” teriak si Kursi Pertama kepada teman-temannya.

“Lantas kau pikir, apa yang bisa dilakukan sekelompok benda tua seperti kita?” Meja Makan terkekeh.

“Tentu saja kita bisa melakukan sesuatu.” Kursi pertama berjalan ke dekat jendela. Ia menatap jauh ke luar rumah tua. “Aku akan ke luar dari rumah ini, dan mencari manusia yang mau menjadi tuanku,” ucap Kursi Pertama dengan penuh keyakinan.

Meja makan dan ketiga kursi lainnya terkejut mendengar ucapan Kursi pertama. “Kau tidak boleh melakukan itu. Di luar sangat berbahaya. Bagaimana jika ada manusia yang melihatmu bisa bergerak?” sergah si Meja Makan.

“Tenang saja. Aku akan keluar saat malam hari. Aku sudah bosan terus menunggu Tuan Henry kembali.” Kursi pertama berbicara dengan suara keras. “Aku tak mau membusuk di rumah tua ini.”

Meja makan dan ketiga kursi lainnya terus berusaha membujuk Kursi Pertama agar tidak pergi. Namun, semua sia-sia saja. Kursi pertama tidak mau mendengarkannya.

Saat malam tiba, Kursi Pertama berjalan mengendap-endap dalam kegelapan, keluar dari rumah tua. Dia melewati halaman rumah yang dipenuhi rumput ilalang tinggi. Hingga sampailah si Kursi Pertama di persimpangan jalan menuju pantai. Dari sana, bisa terlihat kapal nelayan yang sedang berlabuh. Si Kursi Pertama sangat bahagia, akhirnya setelah sekian lama dia bisa melihat manusia lagi. Kursi pertama berharap, salah satu dari nelayan itu mau mengambilnya.

Dan harapannya benar-benar terkabul. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara langkah kaki manusia. Si Kursi pertama segera berubah menjadi benda mati. Kursi pertama yang tergeletak di tengah jalan, membuat seorang nelayan tersandung.

Aduhh …!” pekik sang nelayan. Dia kemudian melirik ke arah Kursi Pertama yang membuat dirinya hampir terjatuh itu. “Siapa yang meletakkan kursi di sini?” Nelayan itu melirik ke kiri dan kanan jalan sambil meringis kesakitan. “Sebaiknya kuambil saja. Sepertinya kursi ini akan berguna.” Sang nelayan kemudian memanggul si Kursi pertama, dan kembali berjalan menuju pantai.

Diam-diam si Kursi Pertama tersenyum. Dia sangat bahagia ada manusia yang akan menggunakannya.

Sampai di pantai, sang nelayan meletakkan si Kursi Pertama di pinggir api unggun yang menyala. “Besok, potong-potong kursi ini untuk persediaan kayu bakar,” ucap sang nelayan kepada salah satu temannya yang dibalas sebuah anggukkan.

Si Kursi Pertama sangat terkejut mendengar ucapan nelayan itu. Kebahagiaannya seketika lenyap, berubah menjadi ketegangan. Saat sang nelayan mengobrol dengan temannya, diam-diam si Kursi Pertama menangis. Dia benar-benar takut dan menyesali keputusannya meninggalkan rumah tua.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba hujan  turun sangat deras. Para nelayan yang berkumpul di depan api unggun berlarian. Mereka berteduh di dalam kapal. Api unggun mati tersiram air hujan. Si Kursi Pertama pun menggigil kedinginan. Sekarang, dia sadar tidak ada tempat yang lebih aman dan nyaman selain rumah tua.

Perlahan-lahan si Kursi Pertama bergerak menjauh dari pantai. Dia berjalan sambil menoleh ke kiri dan kanan. Setelah dirasa aman, si Kursi Pertama berlari menerjang hujan, menuju rumah tua.

Kursi Pertama pun akhirnya sampai di rumah tua. Terlihat Meja Makan dan ketiga kursi lainnya yang sedang menangis. Sedari tadi, mereka sangat mengkhawatirkan Kursi Pertama.

“Aku pulang,” teriak Kursi Pertama.

Meja Makan dan ketiga kursi lainnya terkejut sekaligus terharu melihat Kursi Pertama akhirnya kembali.

 Kursi Pertama menceritakan semua yang telah dialaminya. Dan dia berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Meja Makan dan keempat kursi itu kini semakin yakin: tak ada hal yang lebih baik selain bersumpah untuk setia menanti Tuan Henry dan keluarganya kembali.

Kapan? Entah. Mungkin ketika seluruh tubuh Meja Makan dan keempat kursi itu telah benar-benar hancur tak bersisa dimakan rayap. Atau mungkin, Tuan Henry dan keluarganya memang tak akan pernah kembali, untuk selama-lamanya. []

Bagikan:

Penulis →

Teni Ganjar Badruzzaman

Lahir di Ciamis, 1988. Ibu rumah tangga yang gemar menulis dan membaca cerita. Cerpen dan cerita anaknya tersiar di beberapa media dan antologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *