Judul Buku : Buku Besar Peminum Kopi Penulis : Andrea Hirata Penerbit : PT. Bintang Pustaka Cetakan : II, Januari 2021 Tebal Buku : x + 354 halaman ISBN : 978-602-291-664-2
Kata mereka anak perempuan itu mustahil bisa menemukan timah. Bahwa dia akan menyerah seperti banyak orang lainnya, bahwa mendulang timah adalah keniscayaan lelaki, ladang tambang adalah lelaki, bahkan timah itu sendiri, adalah lelaki (Hal.66).
Tulisan ini langsung diawali dengan satu kutipan yang ngehe, Andrea Hirata berhasil menggambarkan salah satu contoh bagaimana diskriminasi gender terhadap perempuan di dunia kerja yang terjadi pada saat negara kita mengalami krisis moneter lalu.
Setelah 23 tahun krismon berlalu nyatanya diskriminasi terhadap perempuan masih terus dilanggengkan sampai hari ini, dan terus berdampak pada persepsi masyarakat yang akan menormalisasi pekerjaan-pekerjaan lainnya, misalnya bahwa bekerja di tambang hanya untuk laki-laki, otomotif hanya untuk laki-laki, pemadam kebakaran hanya untuk laki-laki. Sebaliknya baby sitter adalah pekerjaan perempuan, Pekerja Rumah Tangga (PRT) hanya untuk perempuan, perawat hanya untuk perempuan dan sebagainya.
Begitulah dunia patriarki kita memandang perempuan, stereotip yang dilekatkan pada perempuan seperti lebih sensitif dan emosian, lemah, tidak lebih kompeten dari laki-laki dsb., maka tidak heran perempuan lebih banyak ditempatkan bekerja di ranah domestik, mendapat pekerjaan yang tidak berbayar sampai harus mengalami diskriminasi upah.
Lalu dalam novel ini, Nong Maryamah, tokoh utama dalam novel ini harus mengalami diskriminasi gender yang berulang kali. Nong Maryamah merupakan anak pertama dari empat bersaudara, saat duduk di bangku SMP kelas 1 ayahnya mengalami kecelakaan di tempat kerja, ayahnya tewas tertimbun tanah di tempat ia menambang timah.
Semenjak kejadian tersebut, sebagai anak pertama dengan ketiga adiknya yang masih kecil ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Tak ada pilihan lain, Nong Maryamah terpaksa berhenti sekolah dan merantau ke ibukota. Itulah keputusan paling pahit yang pernah ia ambil, ibukota terlalu keras untuk anak di bawah umur, tidak memiliki ijasah, ditambah ia seorang perempuan.
Tak hanya kegagalan yang ia dapat dalam mencari pekerjaan di ibukota, dari pagi ke pagi beberapa pedagang maupun pemilik pabrik justru memberinya uang untuk Nong pulang kampung. Ditambah lagi, ia harus ketakutan setiap menjelang malam karena banyak laki-laki yang akan mendekati dan mengganggunya.
Bahaya yang terus-menerus mengancam menajamkan naluri Nong untuk bertahan dan melindungi diri. Sepanjang malam ia tak pernah tidur. Dia selalu berusaha berada di tempat yang terang, yaitu di emper took atau di bawah benderang lampu jalan. Adakalanya, jika firasatnya buruk, dia berjalan sepanjang malam, bergerak terus dari satu lampu jalan ke lampu jalan lainnya. Nong hanya tidur menjelang dini hari. Dia senang tidur di kaki menara jam kota itu. Sebab jam rusak itu selalu menunjukkan angka 5 sehingga dia merasa matahari sudah menyingsing dan malam yang menakutkan telah berlalu. Jam kota itu adalah sahabat Nong satu-satunya (Hal.59).
Stereotip di masyarakat memang begitu; bahwa perempuan tidak boleh keluar malam, mengapa streotip tersebut tidak dibalik saja, atau laki-laki tetap boleh keluar malam dengan syarat tidak menggangu aktivitas orang lain. Atau yang lain; bahwa perempuan memang sengaja menggoda laki-laki, bahkan ada yang menyebut perempuan pantas menjadi tempat pelampiasan seks laki-laki. Lagi lagi seperti itulah dunia patriarki kita berjalan, mungkin perempuan dilahirkan saja sudah menjadi sebuah kesalahan.
Kepahitan yang Nong Maryamah alami membuat ia memutuskan untuk pulang kampung, dan satu-satunya kesempatan mendapatkan uang di Ketumbi adalah dengan cara mendulang timah. Tetapi alih-alih bekerja mendulang timah untuk menghidupi keluarganya juga untuk membuktikan kepada masyarakat yang telah meremehkan dan memandang rendah kemampuan seorang perempuan.
Mulanya semua yang bekerja di tambang menyuruhnya pulang, mereka berpikir bahwa seorang perempuan tidak akan ada yang sanggup mengerjakannya karena mendulang timah merupakan pekerjaan berat, pekerjaan laki-laki, ia ditertawakan karena tidak bisa menggunakan cangkul dll.
Tetapi pada akhirnya ia membuktikan tekadnya, ia berhasil menjadi seorang pendulang timah setelah 14 hari gagal. Nong membuat peringatan keras, bahwa masyarakat sudah seharusnya mulai berpikir bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus diberi ruang yang sama dalam mengambil sebuah keputusan.
Setelah bekerja 11 tahun di tambang timah, Nong menikah, tetapi ternyata ia kurang beruntung sebab suaminya memiliki sifat pemarah dan sangat kasar. Nong menahan penderitaanya seorang diri sebab wasiat dari mendiang ibunya, yakni agar Nong menjadi istri yang selalu berbakti kepada suaminya.
Lagi lagi begitulah stereotip perempuan, yang penyabar, penurut dan tidak boleh berbeda pendapat apalagi membantah laki-laki, meski Nong Maryamah perempuan mandiri, meski Nong Maryamah tidak bersalah, tetapi bagaimana masyarakat masih memandang negatif perempuan yang sukanya melawan suami, masih memandang negatif janda, terlebih apabila keduanya tidak berpendidikan.
Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) milik Kemen PPPA bersama BPS, menyebutkan bahwa 36,3% korban KDRT adalah perempuan yang bekerja (yang mandiri secara ekonomi, berpendidikan dan tinggal di perkotaan). Yang sudah mandiri saja masih mengalami KDRT, tidak bisa membayangkan keadaan sosok Nong Nong lain di luar sana yang sedang tidak berdaya.
Tak hanya di tempat kerja dan di rumah, perempuan juga masih berjuang dengan ketidakadilan dari lingkungan paling dekat, tetangga, teman ataupun sahabat. Setelah Nong memilih bercerai dengan suaminya, ia mencoba mengikuti lomba catur di kampungnya. Nong didukung? Tentu tidak. Tetangganya menertawakannya.
Perlu kau tahu, Nong, catur itu mainan otak, mainan orang pintar, orang kantoran, orang sekolahan, kau, ijazah hanya SD, mana bisa kau main catur! Lagi pula, mana pernah perempuan main catur di kampung ini?(Hal.107).
Bukan Nong Maryamah namanya jika menyerah begitu saja, Nong belajar catur dengan keras dari salah satu temannya, selain untuk membuktikan bahwa perempuan bisa bermain catur juga untuk membuktikan pada mantan suaminya yang selalu memandangnya rendah terhadap dirinya, meski yang harus dihadapi adalah master dengan posisi juara bertahan tiap tahunnya.
Sampai akhir, masyarakat di kampungnya, terutama para perempuan di Ketumbi merasa bangga sebab ternyata ada sejarah seorang perempuan yang mampu bekerja mendulang timah, menyuarakan kebenaran dan bermain catur.
Semoga kita (khususnya perempuan) dapat meneladani keberanian Nong Maryamah, lebih percaya diri dengan kemampuan kita, mengabaikan kalimat-kalimat negatif yang akan membuat mental kita down tentu lebih berani dalam mengambil sebuah keputusan. Hidup dalam dunia patriarki memang begitu menyesakkan maka kita bisa memulai menghapusnya dari dalam diri kita dan lingkungan terdekat.
Terakhir, ditutup dengan kutipan dari Nong: ”Serius, kalaupun nanti aku ditertawakan, dipermalukan, taka pa-apa, yang penting aku sudah maju untuk menantang mereka.” Nong menoleh lagi ke pria-pria tadi, yang jika lagi main catur seakan hanya ada mereka di dunia ini (Hal.109).
=================