TETANGGA baruku, sepasang suami-istri tua renta menyanyi bersama di halaman pagi itu sambil memamerkan dua pucuk pistol. Istriku kaget dan mengadu kepadaku soal itu. Ia tak sempat bertanya langsung kepada sejoli paruh baya itu karena ketakutan telanjur menguasainya. Aku buru-buru ke depan dan meniru seorang tokoh dalam film, aku angkat dua tangan di atas kepala saat pasangan tua itu mengarahkan moncong pistol mereka kepadaku. Mereka tertawa-tawa melihat kekagetanku. Istriku pingsan dan tak sadarkan diri sampai delapan menit kemudian. Di sela-sela antara pingsan dan siumannya istriku, pasangan tua Jo dan Gelna itu berbual-bual kepadaku.
“Kami dulu adalah atlet menembak.”
“Atlet menembak yang hebat. Kami pernah dapat dua medali emas di kejuaraan internasional,” tambah Gelna.
“Kau tak perlu khawatir. Kami sudah tak punya senjata api. Ini pistol mainan.”
“Pistol mainan hadiah dari anak semata wayang kami, Pedrik.”
Dengan semangat menggebu-gebu Gelna bercerita soal anaknya itu. Pedrik berusia tiga puluh tujuh dan hidup sebagai pengembara. Katanya saat ini mungkin Pedrik sedang berada di sabana Afrika sambil berusaha memotret seekor singa dari jarak terdekat yang ia mampu atau boleh jadi ia sedang berselancar bersama orang-orang lokal di Pantai Kuta, Bali. Pedrik suka petualangan dan hobi membaca kisah-kisah para petualang sejak kecil.
“Kadang aku menyesal terlalu banyak memberinya bacaan-bacaan semacam itu,” kata Jo agak sedih.
“Oh, kau tak perlu menyesal, Sayang. Pedrik pasti akan segera datang menemui kita.”
Gelna mendekap Jo dan mengusap-usap punggungnya. Pasangan tua yang sebelumnya tampak ceria itu tiba-tiba seperti keluarga duka. Ratapan Jo makin menjadi-jadi. Bahkan lelaki tua itu menangis. Gelna yang mulanya berusaha menenangkan suaminya, justru ikut-ikutan menangis. Orkestra tangisan itu membuatku menimbang-nimbang apa yang sebaiknya aku lakukan. Ketika aku hendak menghampiri mereka, sekadar memberi penghiburan dengan melemparkan kata-kata kosong semisal “Pedrik pasti baik-baik saja” atau “Ia pasti merindukan orang tuanya”, Gelna menggeleng dan menepis niat baikku. Aku membopong istriku yang pingsan ke dalam rumah. Kuciprati mukanya dengan air dari dalam gelas. Ia terbangun seperti orang yang baru selesai melewati mimpi buruk. “Aku ada di mana? Apa aku masih hidup? Apa peluru itu menembus dadaku?”
“Kau baik-baik saja, Sayang. Tenangkan dulu dirimu.”
Dari sofa Alena berpindah ke tempat tidur di kamar. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia memejamkan mata. Sebelum tidur ia memintaku untuk memberitahu apa saja yang telah dikatakan pasangan tua itu. Kuceritakan pada Alena apa yang Jo dan Gelna katakan. Istriku mengangguk, mengecup keningku, dan tidur.
Ia tidur begitu nyenyak. Selama Alena tertidur, aku menonton televisi dan menyaksikan tayangan ulang pertandingan sepak bola antara Wayang United vs FFV FC. Itu pertandingan yang membosankan karena kedua tim seperti tak tahu cara menyerang. Mereka hanya oper-operan seperti sekelompok pemain yang sudah kehilangan gairah mencetak gol. Aku mengganti kanal dan mendapati seorang motivator berkepala botak dan berkacamata yang selalu membentangkan senyum saban seperempat menit menyemburkan kata-kata bijak. Kata-katanya kelewat bijak sampai-sampai aku mual mendengarnya. Apalagi telah jadi rahasia umum bahwa ia terlibat skandal dengan menantunya sendiri dan ia diduga melakukan penipuan terhadap kliennya. Aku heran mengapa stasiun televisi masih memberikannya ruang.
Siang itu aku berkeliling kompleks menggunakan sepeda lipat. Tak ada bedanya hari biasa dengan hari libur di kompleks ini. Kompleks tetap sepi. Hanya sesekali saja kulihat orang atau kendaraan melintas. Pohon-pohon mangga dan jambu bertebaran di sepanjang jalan. Sebagian pohon-pohon itu daun-daunnya menggantung begitu rendah sehingga gampang bagi siapa pun menjangkaunya. Aku pernah iseng mengutip sebongkah jambu air. Ketika kumakan jambu air itu asam sekali. Aku tidak tahu apakah jambu itu betul-betul asam ataukah ulahku yang mengambil tanpa minta izin ke pemiliknya yang membuat jambu itu terasa asam. Sewaktu aku kecil ayahku cerita bahwa ia pernah mencuri pisang saat masih kanak-kanak. Pisang itu sangat bagus dan mengkal. Tapi saat ia makan rasanya asam dan agak aneh, seperti buah yang sudah busuk. Ketika tetangga pemilik kebun pisang memergokinya makan itu, ia buru-buru minta maaf dan pemilik pisang membolehkannya untuk memakan pisang itu. Ajaib, ketika ayahku melanjutkan makan pisang itu rasanya berubah manis dan lezat. Selepas menceritakan itu, ayahku bilang, “Janganlah sekali-kali kamu mencuri, karena akibat dari mencuri tidak pernah baik adanya.”
Aku tumbuh dengan kisah-kisah semacam itu. Setelah bersepeda selama sekitar dua jam dan tak sengaja menggilas seekor kucing hitam yang tiba-tiba melintas di jalan, pikiranku terbang menuju cerita lain yang pernah ayahku tuturkan. Cerita itu berkisah tentang seseorang yang sisa hidupnya penuh kutukan dan kesialan selepas mobilnya melindas kucing hitam. Aku bergegas menuju rumah dan berharap tak ada kesialan yang menimpaku. Toh, aku tidak sengaja menggilas kucing itu. Dan aku juga sudah sudah menguburkannya di salah satu tanah kosong di ujung jalan dengan menjadikan kaos yang kupakai sebagai kafan.
Ketika aku tiba di rumah, Alena sudah bangun. Ia bertanya-tanya kenapa aku telanjang baju. Kujelaskan soal kucing hitam dan kematiannya. Ia terperanjat dan andai saja tak cepat-cepat kupeluk, ia pasti bakal jatuh pingsan seperti tadi pagi. Alena seorang penyuka kucing. Ia meneriakkan “Oh, kucing yang malang!” berkali-kali seperti seorang penyanyi yang malang. Aku hendak membawanya ke dalam rumah ketika tetangga kami memanggil-manggil, “Hoi, ada apa dengan kalian?” Itu suara Jo. Kali ini tampaknya ia sudah terbebas dari kesedihan mengenang putranya. Gelna yang berada di sampingnya menambahkan, “Ada yang bisa kami bantu?” Aku bilang tidak ada apa-apa. Namun, bukannya menyingkir, mereka mendekatiku.
Seperti tadi pagi, keduanya menggenggam sepucuk pistol. Rasanya benda itu memang memiliki nilai khusus bagi mereka. Mungkin dengan memegang pistol setiap saat mereka dapat merasakan sensasi kebahagiaan saat mereka menjuarai berbagai turnamen menembak semasa muda. Orang-orang tua memang memiliki kebiasaan-kebiasaan tak lazim dan sudah semestinyalah aku memakluminya.
Melihat sepasang orang tua itu, Alena mendekap bahuku. Ia bersembunyi di belakangku. Barangkali ia masih menyimpan ketakutan kepada pasangan tua itu. Kubisikkan padanya bahwa Jo dan Gelna bukan pasangan yang membahayakan, mereka hanya orang tua yang selalu terseret arus sungai masa silam yang ada di kepala mereka. Alena tetap tidak menghiraukanku. Ia masih mendekapku dari belakang sambil memandangi pasangan tua itu dengan waspada.
Aku bilang kepada Jo dan Gelna aku harus masuk ke rumah dulu untuk mengenakan pakaian. Mereka buru-buru berkata, “Tidak perlu, tidak perlu!” sambil menggoyang-goyangkan telunjuk mereka, seperti isyarat larangan orang tua kepada anaknya. Aku menurut dan menunggu apa yang selanjutnya mereka lakukan.
“Lihat pertunjukan kami,” seru Jo.
“Kami akan membuktikan bahwa kami adalah penembak yang hebat.”
Pasangan tua itu mengangkat pelan-pelan pistol mereka sampai tegak lurus. Mereka sedang menghadap pohon mangga dan di dahan mangga tampak seekor burung gereja bertengger.
“Tembakan kami tidak akan meleset,” ucap Jo.
“Karena kami seorang penembak yang andal.”
Tak lama terdengar bunyi tembakan yang memekakkan telinga. Burung gereja jatuh dari pohon dengan jasad penuh darah. Pasangan tua itu berbohong. Pistol mereka bukan pistol mainan, tapi pistol sungguhan.
“Kami hebat, kan?” tanya mereka serentak. Mereka memandangiku dan mengarahkan pistolnya kepadaku. Sesaat berselang, tembakan meletus. Istriku berteriak. Pasangan tua itu tertawa-tawa. (*)
Tambun Selatan, 17 April 2020