Bilal


SUARA bisik-bisik tetangga itu mulai terdengar nyaring. Gosip itu kini bersuara lantang seperti suara Bilal saat mengumandangkan adzan. Orang-orang semuanya berbicara, baik seiman ataupun tidak. Berita itu menjadi hidangan yang lezat yang diperebutkan warga dari lidah-lidah mereka.

Ini mengenai Bilal. Dia adalah temanku yang biasanya mengumandangkan adzan di masjid yang berada di lingkungan kami. Masjid itu berada di bukit sedang pemukiman kami rumah-rumahnya tersusun rapi dari dataran rendah di pinggir pantai hingga gunung. Masjid berada di atas ketinggian sehingga saat Bilal mengumandangkan adzan, suaranya bak petir yang mengisi segala penjuru. Begitulah orang-orang menggosip bahwa suara Bilal terlalu nyaring dan menyakiti telinga mereka.

Dari awal aku sudah mendengar kabar ini. Aku adalah seorang yang bergaul bebas dengan warga baik yang seiman ataupun tidak. Orang-orang yang seimanpun mengeluhkan hal ini. Entahlah. Apakah Bilal mendengar gosip tentang suaranya yang mengganggu atau tidak, ia terlihat biasa dan terus melaksanakan tugasnya itu. Aku tahu bahwa Bilal adalah seorang pendiam dan pengurung diri. Ia jarang bergaul dan jarang hidup bersosial. Satu-satunya teman yang paling akrab dengannya adalah aku.

Siapa yang berani pergi menemui Bilal dan mengatakan bahwa suaranya terlalu nyaring. Itu sama saja mencari masalah. Di masjid ada segolongan orang yang sangat fanatik terhadap agamanya sehingga teguran seperti itu merupakan sebuah penghinaan dan penjajahan atas kebebasan beragama yang diatur negara ini. Tapi aku yakin bahwa bila Bilal diberitahu tentang permasalahan ini ia akan mengerti dan memperbaikinya. Hanya saja bagaimana membayangkan wajah Bilal saat diberitahu soal itu. Menjadi bilal adalah cita-citanya sejak kecil. Untuk itu ia telah berlatih dengan sangat keras. Ini bukan soal menghafal lirik adzan itu dan mengumandangkanya. Ini soal lidahnya yang sangat susah berkata kata dalam bicara. Kadang kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti penyumbat untuk nafasnya sendiri. Kata-kata itu tidak terdengar seutuhnya. Dan seperti orang yang kecapean dalam lari ia akan merasa lega bila ia terdiam. Satu-satunya kalimat yang terucap terang di telinga orang-orang adalah lafaz adzan itu. itu adalah sebuah usaha sendiri darinya untuk menjadi seorang bilal.

Bukan hanya itu saja. Ia harus berkelahi dengan dirinya sendiri saat memutuskan untuk tampil di depan. ia adalah seorang pendiam, pengurung, dan pemalu. Tampil di depan banyak orang adalah kekakuan baginya. Ini seperti ada gangguan psikologi pada dirinya. Namun karena cita-cita itu ia berusaha dengan sangat keras, memaksa dirinya sendiri untuk maju dan adzan. Pada awalnya, suaranya sedikit bergetar lalu di kemudian hari ia terbiasa mengumandangkan adzan dengan rasa senang dan lepas. Aku merasa sangat tega bila aku mengatakan soal ini, namun membiarkannya juga adalah tindakan yang tidak peduli. Aku berencana setelah selesai shalat ashar aku akan mengajaknya berbicara di tempat biasa.

*

Tempat itu adalah tempat yang paling istimewa untuk aku dan Bilal. Tempat yang tidak jauh dari pemukiman kami. Kami hanya perlu berjalan menghindari keramaian ke arah timur dan mendapati padang ilalang yang terbentang luas dan ada sebuah pohon akasia yang berdiri di tengahnya. Seperti sebuah payung di samudera hujan kami berlindung di bawahnya, menghabiskan waktu saat sore ataupun saat hari libur.

Di tempat itu kami berceritera banyak hal. Tentang masalah dalam keluarga masing-masing, tentang tingkah laku anak-anak di pemukiman kami yang biasa berkumpul dan mabuk-mabukan hingga tentang segala permasalahan dunia ini yang begitu gamblang terpampang di media sosial. Kadang kami berdiskusi tentang masalah keagamaan dan topik mengenai suara adzan adalah topik baru yang ingin aku utarakan padanya. Seberat apapun itu perasaan aku dan tanggapannya, aku harus mengungkapkan hal ini.

Sembari tatapan kami yang terjun bebas ke dataran rendah dan lautan di bawah kami, aku berusaha menata perasaanku yang mulai kaku saat hendak bicara. Angin sepoi berhembus mengipas-ngipas kegugupan dan lidahku mulai terasa sedikit lentur untuk berkata:

“Apa kau sudah mendengar bisik-bisik tetangga yang sedang viral saat ini?” Ketika aku melepas kata-kata itu ke udara bebas, seperti ada penyesalan dan aku ingin segera menariknya kembali. Namun aku biarkan saja dengan bertingkah cuek dan biasa. Tidak ingin melihat ekspresi wajahnya, aku sengaja menatap jauh ke arah lautan melihat perahu-perahu nelayan yang terlihat kecil di atas lautan yang terbentang luas.

Desiran sepoi angin kembali membelaiku seakan berbisik agar aku tetap bertingkah biasa. Aku mendengar tarikan napasnya lalu ia menjawab:

“Ia, aku sudah mendengarnya,” katanya. Aku sedikit terkejut dan tidak tahu harus berbicara apa.

“Ahmad, Adul dan Rahim yang memberi tahu aku seminggu yang lalu saat mereka mabuk dengan anak-anak lainnya di depan masjid. Mereka menghampiri aku dengan sempoyongan dan mengatakan bahwa orang-orang tidak suka mendengar suara adzanku. Aku berpikir mungkin mereka dalam keadaan mabuk sehingga sembarangan bicara namun secara diam-diam aku mencari tahu dan ternyata benar. Oang-orang memang tidak suka mendengar suaraku,” katanya polos. Mendengar itu aku merasa iba dan sangat prihatin. Seharusnya anak-anak itu memahami perasaan Bilal sebelum mereka bicara. Jantungku berdegup kencang karena marah. Ini sudah keterlaluan. Aku saja yang dekat dengan Bilal seperti saudara kandung namun berpikir seribu kali untuk bicara soal ini.

“Jadi, bagaimana menurutmu?” Suara Bilal membuyarkan perasaan marahku yang meledak-ledak.

“Apa kau juga merasa terganggu dengan suaraku?” Bilal balik bertanya dan pertanyaan itu seperti menekanku ke lembah yang sempit hingga aku sulit bergerak dan sulit bernapas.

“Menurutku, tidak ada yang tidak baik dari suaramu. Suara adzan adalah suara panggilan untuk shalat jadi suara itu harus keras hingga menjangkau warga yang di pelosok kampung. Menurutku mungkin kita harus belajar mengatur irama lagu,” kataku perlahan dan hati-hati berusaha menjaga perasaannya.

“Aku juga merasa begitu. Aku pernah merekam suara adzanku di handphone dan aku merasa risih sendiri dengan suaraku. Aku seperti berteriak-teriak tanpa irama,” kata Bilal jujur.

Mendengar perkataannya aku merasa tidak apa-apa bila mendiskusikan tentang hal ini lebih jauh. Apa yang di katakan Bilal benar-benar merontokkan kekakuan yang mengikatku saat berbicara tentang suaranya yang mengganggu warga. Kejujuran dan keterbukaan akan menyelesaikan segala halang rintang dan mendatangkan kemudahan-kemudahan.

Ketika mentari hendak tenggelam kami akhirnya pulang menuju magrib dengan satu solusi bahwa aku akan melatihnya mengumandangkan adzan dengan suara merdu. Untuk sementara aku yang akan menggantikannya saat waktu adzan datang. Namun masalah yang terjadi kemudian adalah para imam dan jamaah masjid lainnya bertanya tentang Bilal padaku. Selama ini dia tidak pernah alpa dalam tugasnya. Kenapa beberapa hari terakhir ia datang terlambat. Sesuai kesepakatan kami berdua, aku memberi alasan kepada para imam dan jamaah bahwa Bilal sedang sibuk mengurusi saudaranya yang hendak kawin sehingga dia selalu terlambat datang ke masjid, mungkin dalam seminggu ini. Kami merasa berbohong demi kebaikan bukanlah perbuatan dosa.

**

Dan tempat biasa itu menjadi saksi bagaimana kami melati irama dalam mengumandangkan adzan.

Segala nada kami coba. Dari nada tinggi hingga nada rendah disertai irama adzan yang biasa di kumandangkan para Bilal seantero dunia. Namun Bilal tidak memiliki suara semerdu mereka. Jadi sangat susah dalam mengikuti apalagi menyerupai suara indah mereka.

Aku melihat ada aroma putus asa dari raut wajahnya. Ia mengatakan bahwa latihan ini lebih sulit dari awal ia berlatih hanya sekedar menghafal dan mengucapkan secara benar ayat-ayat panggilan itu. Aku melihat ada kemerosotan dari tubuhnya menjadi kecil kembali. Ia merasa tidak layak lagi untuk tampil di depan.

Aku merasa prihatin soal ini dan terus menyemangatinya. Agar tidak terlalu membuatnya terbebani, aku mengajarinya lagu-lagu tradisional. Ia mengenal lagu-lagu itu dan kamipun bernyanyi bersama.

Aku berceritera padanya bahwa orang Jawa biasanya mengumandangkan adzan dengan mengikuti nada-nada lagu keroncong. Di kampungku irama suara adzan mengikuti nada irama lagu tradisional Lego-lego (tarian khas alor dengan syair-syairnya). Bahkan dalam nyanyian-nyanyian syair dongeng budaya nada-nadanya sering digunakan dalam mengiramakan ayat-ayat suci alquran. Di lingkungan kami kebanyakan adalah orang-orang Alor dan Flores yang muslim sehingga mungkin mereka menyukai nada-nada tradisional itu. Aku memberi beberapa contoh nada adzan tradisional dari kampung yang terdengar seperti ratapan kesedihan dan Bilal mengikutinya dengan serius. Sepertinya ia sangat tertarik dengan irama itu.

Seminggu lamanya kami berlatih dan seminggu itu suara Bilal tidak pernah terdengar. Kembali terdengar bisik bisik tetangga yang menanyakan kenapa suara Bilal itu tidak terdengar lagi. Aku membiarkan pertanyaan itu mengambang terus dan terjawab oleh mereka sendiri dengan segala kemungkinan.

***

Ketika hari H itu tiba, Bilal benar-benar berani turun gunung. Pada awalnya ia gentar namun aku memberinya solusi untuk pergi ke masjid di saat subuh. Subuh adalah waktu yang sangat sepi untuk orang-orang datang sholat. Dan benar adanya. Saat itu aku sengaja mengulur langkah ke masjid karena aku tahu sudah saatnya Bilal yang harus mengumandangkan adzan jadi aku telah bersiap-siap di rumah sambil menunggu suara itu. Jantungku berdetak kencang dan seperti tidak sabar dan gelisah. Aku terus melihat jam dan mondar-mandir mengelilingi rumah. Lalu tiba-tiba terdengar suara itu. Suara yang tidak lantang seperti petir tetapi berirama biola. Sebuah rintihan. Sebuah ratapan akan kerinduan anak-anak terbuang yang harus pulang kembali untuk berkumpul. Sebuah kerinduan akan orang yang merasa kehilangan untuk dipertemukan kembali. Sebuah kerinduan tentang anak-anak yatim yang berharap dapat memeluk orang tuanya. Sebuah kerinduan anak perantau terhadap kampung halamannya. Sebuah kerinduan dari seorang mahluk pendosa terhadap Tuhannya. Suara Bilal itu adalah suara yang merdu dan sendu berisi kerinduan untuk kembali pulang pada jalan Tuhan yang lurus.

Tanpa sadar aku menyeka airmataku. Dadaku berdegup kencang karena terharu. Kakiku tidak sabar lagi untuk segera melangkah cepat ke masjid memenuhi naluri kerinduan itu. Di tengah jalan semua pintu rumah telah terbuka. Subuh ini terasa berbeda. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid sedang mereka berbicara tentang kerinduan. Ketika suasana terang menjelang ada beberapa keluarga yang bersiap-siap pulang bersilaturahmi ke kampung halaman karena rindu. Kata mereka Bilal telah mengingatkan mereka yang lupa. Ada beberapa keluarga yang tercerai berai dalam memperebutkan dunia kembali berdamai dan bersatu. Kata mereka Bilal telah mengingatkan mereka pada pesan leluhur dan anak anak pemabuk di kampung itu mulai sedikit demi sedikit berubah. Tidak ada lagi gosip mengenai suara Bilal yang mengganggu. Yang ada hanyalah keharmonisan yang lahir dari suara Bilal.

Bilal mengubah benci menjadi cinta. Bilal memanggil mereka kembali pada fitrah manusia yang telah dibangun oleh leluhur dalam budaya mereka yang mungkin kemarin lalu tergerus jaman.






========
Hadi amasae adalah seorang penulis kelahiran Alor, NTT, 12 desember 1985. Berpendidikan Akademi Maritim Makassar. Kini menetap di Kupang dan berwirasawasta. Cerpen pertamanya terbit di magrib id.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *