Ada sesuatu yang membuatku tertekan. Aku terus memikirkan mimpi itu.
Anna, aku memikirkanmu tempo hari. Pikiran itu ada baiknya berulang dan terus ada. Kamu baik dan murah hati; orang-orang selalu mengira bahwa kita bersaudara. Yang kusukai mengenai kita adalah pertukarannya, percakapan, dan saling pengertian. Aku punya banyak teman di Prancis, tetapi tidak ada yang sepertimu.
Kemarin, aku menemukan foto album lama. Kamu akan terkesan oleh sejumlah foto itu… foto perjalanan kita. Kita pernah muda dan menarik; kita pernah punya rambut bagus; milikku gelap, kamu cokelat. Jika kamu kemari, kita akan bersama melewati hari-hari; kita berupaya mengenali wajah; bisa jadi kamu akan melihat wajah yang mengingatkanmu pada wajahku… tentang diriku dulu.
Apakah waktu ada? Hilang, begitu cepat berlalu.
Kenangan membawaku ke tempat-tempat yang membuatku tercengang, belum pernah diceritakan.
Anna, aku memikirkanmu tempo hari… Sewaktu aku ke Saidia; berkendara, berpikir, melamun. Tuhan, aku benci Saidia! Aku ingat betapa kamu dengan penuh semangat dan rindu ingin datang ke kotaku, menjelajah wilayah Timur: Tafoughalt, Zagzal, Ain Almou, Ras Alma, Saidia. Nyatanya, kamu tidak pernah melakukan itu. Tapi jangan khawatir; Saidia adalah sebuah kota yang buruk, penuh dengan bangunan-bangunan beton yang belum selesai dan kehilangan corak alamiahnya. Laut hampir tidak tampak. Ruh kota terhapus ketika mereka secara besar-besaran melenyapkan hutan kuno dan memulai proyek Marina. Belum lagi saat musim panas, jalan semakin lebar dengan wisatawan dari segala penjuru Maroko dan bahkan dari beberapa negara luar. Orang-orang sepertinya tidak punya perhatian terhadap sabotase yang begitu besar, mengubah kota menjadi gemerlap, dipenuhi dengan energi, menjadi omong kosong, tempat tak berjiwa.
Aku memutuskan untuk melupakanmu, juga melupakanku… Anna. Itu sudah sangat lama. Aku tidak pernah dapat melupakanmu, tapi aku sudah melupakan diri sendiri. Oh, Tuhan, sudah bertahun-tahun! Kapan kita terakhir bertemu? Bagaimana kita bisa terpisah?
Kamu punya wajah yang menyenangkan. Kamu seperti seseorang yang bersiap melakukan hal baik kepada orang lain. Ketika pertama kali aku melihatmu di Universitas Paris 3, aku bisa memastikan bahwa kamu adalah seseorang yang bisa dipercaya. Aku masih asing, dan kamu, bersiap menyelamatkanku dari kesepianku sepanjang tahun-tahun studi pascasarjanaku. Kamu memperkenalkanku kepada Picasso. Kita menggunakan perahu pesiar untuk menjelajahi kota dan menyaksikan aliran air yang cepat serta berubah-ubah warnanya seperti angin yang mendorong awan melintas di langit. Kamu adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Tapi apa arti “teman terbaik” itu?
Aku lelah: pekerjaan, stres yang tidak terbayangkan, cuaca, orang-orang… Obat obatan menjadi teman baruku. Aku lupa komposisi rahasianya—bahwa hal itu membantu orang-orang untuk bahagia atau setidaknya puas dengan keadaan mereka. Aku mencari hal itu dari tahun ke tahun. Tapi seperti perenang yang mencari permatanya di lautan, aku pun mencari sebagian dari diriku yang tidak bisa aku lihat.
Beberapa hal di dunia ini adalah berlebihan, seperti tahun-tahun yang kuhabiskan di Prancis. Buku, gambar, dan musik menghiburku. Musik memiliki daya pikat terhadap diriku. Musik membawa warna ke dalam kepalaku; tempat berlindungku dari masalah-masalah sulit yang mengerumuni hidupku. Masalahnya aku ini cepat bosan, dan aku harus menemukan cara bagaimana terbebas dari rasa ngeri. Aku berpindah dari proyek ke proyek, berharap itu bisa mengisi pikiranku dan melarikan diri dari sengsara yang menjadi hal biasa.
Aku telah kembali ke Maroko, kamu menetap di Prancis. Aku tidak tahu apakah aku bahagia di Prancis. Aku tidak pernah merasa kalau Paris menjadi tempat tinggalku; Rasanya hanya seperti tempat berlindung, atau sebuah pelarian. Tidak pernah ada perasaan terikat bersama dengan penduduk kota meski aku telah terpikat dengan museum, galeri, perpustakaan, terpesona oleh lukisan dan patung-patung.
Aku tidak merasa kalau aku juga milik Oujda. Aku tidak tahan dengan stereotip perempuan, budaya tradisional laki-laki, kekerasan sosial terhadap perempuan. Kamu pernah bilang, seorang wanita muda harus bepergian, menderita, dan menjelajah. Tahun-tahun yang kuhabiskan di Perancis mengubah caraku memandang dunia. Aku menghabiskan sepuluh tahun di perancis dan belum bisa memahami tempat itu.
Kembali ke Oujda, aku bingung dengan orang Maroko. Aku sulit mengurai teka-teki masyarakat Maroko. Aku mulai memahami bahwa gelar doktor yang susah payah kuperoleh itu tidak punya tempat untuk menjawab pertanyaan mendalam kehidupan.
Anna, aku masih memikirkanmu. Aku sekarang hidup nyaman. Aku punya mobil, pekerjaan, gaji. Aku tinggal bersama orangtuaku di villa di lingkungan yang elok. Cuacanya hangat. Kamu pernah bilang, pasti luar biasa jadi profesor muda perempuan di universitas; mempunyai penggemar dan menjadi penyair. Aku bukan siapa-siapa! Aku seperti putri yang terkurung di menara. Aku tentu bukan seorang puteri, tapi aku terkurung.
Oh, mimpi! Seseorang tenggelam dalam mimpi!
Kolegaku adalah orang-orang yang menawan; Ya… aku sangat menyukai mereka. Suatu hari, aku bertemu seorang kolega di supermarket. Dia berbicara tentang anak laki-lakinya, memuji kepintarannya. Betapa semua guru-gurunya senang dia ada di kelas mereka dan berpikir kalau mereka tidak akan pernah lagi punya seorang anak yang cerdas dan brilian seperti dia. Kemudian dia berbicara tentang perjalanan dia ke Spanyol dengan istri dan anaknya. Dia menggambarkan bagaimana mereka berkunjung ke semua monumen penting, pergi ke restoran-restoran terbaik, membeli pakaian paling mahal. Kepala keluarga yang sungguh-sungguh mencintai keluarganya. Kemudian teleponnya berdering, dan aku akhirnya dibebaskan dari beban kepura-puraan dan kesombongan.
Aku senang telah kembali ke Oujda. Aku suka di sini, aku suka memyusuri liku-liku jalan yang ada sebagaimana di Madinah. Aku tidak tergoda untuk berbicara dengan seseorang; tapi menyenangkan menyaksikan mereka.
Mimpiku mengiringiku, seperti biasa. Kamu tahu kan, aku seperti seorang penghayal! Aku melakukan sesuatu dengan bebas, sesuka hati, serampangan… begitu menyenangkannya melamun; aku merasa aman dari rasa takut. Kadang-kadang ketika kita berjalan di Taman Mantsouris, kamu akan bilang, “Kamu sedang bermimpi, ayolah, jangan lakukan itu saat aku bersamamu!” kamu akan meletakkan tanganmu di saku mantel dan suka berjalan dengan cepat. Apa yang saya sukai dari Oujda adalah tembok abad pertengahannya yang besar, labirin Medina dengan lorong-lorong sempit, kekacauan di pasarnya…. Saya suka kota tua; bagian kota ini penuh dengan vitalitas, sejarah, dan budaya.
Dulu, aku gelisah dengan kemiskinan yang melanda di belakang jalan Assania. Bagaimana kita menempatkan kota di tengah perselisihan? Bagaimana kita mendamaikan cinta kita untuk kota dan semua yang diwakilinya dengan rasa sakit berdampingan hidup kita yang sumpek? Aku tertarik dengan rumah-rumah tua yang hancur dan kehidupan yang malang disembunyikan di balik dinding mereka. Tapi kemudian aku sadar bahwa hidupku sekaya Medinah, sesedih dindingnya yang suram.
Pemandangan lingkungan miskin di medina memicu kemurunganku sendiri. Saya turun ke jalan-jalan kota tua setiap kali kesedihan menimpa saya. Potret kemiskinan di lingkungan sekitar Madinah memicu kemurunganku. Aku turun ke jalan jalan kota tua setiap kali kesedihan memberat di benakku.
Saat ini Subuh; Sebuah hari baru, tapi aku melewati separuh hari dengan tidur.
Anna, di mana kamu? Aku mencarimu via online, tapi tidak kutemukan. Aku telah pergi ke pameran di suatu kesempatan di Galerie Moulay Alhassan. Ya; kita punya pameran… Aku ingin kamu bersamaku. Bagaimana denganmu? Apakah kamu mendapatkan PhD-mu? Apakah kamu tetap menikah dengan Laurent? Apakah kamu bahagia? Apakah ingin punya anak? Apakah kamu mengingat kapan aku pertama kali mengikutimu ke ruang kampus? Aku bahagia dengan masakanmu. Aku siapkan ayam tagine dengan kentang dan zaitun hijau. Itu pertama kali aku pernah memasak dengan siapapun. Kamu mengundangku dengan kejutan daging; kol parut. Aku tidak akan pernah mendengar sebelumnya, dan kamu tidak paham aku tidak bisa makan babi.
Kemarin, aku diajari muridku membaca puisi Sylvia Plath “kaca”. Aku suka puisinya; seolah-olah Plath menulis untukku. Tahun demi tahun berjalan cepat pada waktuku… bisakah kita menentang kematian dan penuaan? Bisakah kita menentang waktu yang berjalan?
Pada kebingungan pertama kali aku sebagai guru di universitas, aku punya sedikit waktu luang untuk diri sendiri. Aku menghabiskan tahun-tahun pertamaku setelah datang ke Maroko dengan semua kenangan lengkap.
Aku memaksa diri sendiri pergi bekerja setiap hari. Aku tidak yakin aku suka pekerjaanku, mengajar… rekan kerjaku kurang rasa ingin tahu—aku bermaksud, ingin tahu intelektual.
Mimpi itu! Itu orang yang mati tenggelam! Tujuh malam berturut-turut, aku punya mimpi yang sama.
Aku suka diam berjam-jam pada malam hari. Tapi aku juga takut kesunyian, ketika dunia muncul dalam ketelanjangan yang tak tertahankan… itu sebabnya aku mempunyai dan mengisinya dengan kata-kata.
Tapi ketika di hari mendatang, aku juga lelah mengingat malamku—recana-rencana. Kabut mengisi kepalaku. Sakit kepala yang sangat menjadi satu-satunya duniaku. Jadi, aku menggunakan waktu berjam-jam menonton sinetron Mesir, seolah-olah aku tidak punya kehidupan sama sekali. Kemalasan membuatku cemas… kecemasan menjadikan kembali intens di malam hari. Kebingungan bercampur dengan gairah dan kesedihan merobekku. Aku benci merasakan dunia itu, duniaku, adalah terulang kembali.
Amina, seorang kolega, telah menjadi teman. Dia mengundangku ke rumahnya. Ini rancangan yang elegan; lebih besar dibanding yang kupikirkan, dengan berbagai ruang keluarga, TV satu set, rak buku. Begitulah kita riang persahabatan telah lahir. Begitulah aku dibebaskan dari kesendirian akademikku. Aku mencoba menjadi jujur dan ceria, sebagai teman yang baik.
Apakah kamu mengingat ketika kita pergie ke La Brioche Doree, kita meneguk kopi, kita makan kue tart raspberry, dan berbicara mengenai mimpi-mimpi pada masa kecil kita? Aku bilang aku ingin menjadi akrobat ketika aku masih kecil; kamu bilang kamu ingin menjadi pelukis.
Anna, di mana kamu? Apakah masih hidup? Orang yang tenggelam di dalam mimpiku mirip kamu. Tapi itu bukan kamu. Ketidakhadiranmu dan kesunyian yang tak tertahankan. Ketika aku berbohong di tempat tidur kemarin pagi, mencoba mencari semacam motivasi kuat untuk membuatku beranjak dari ranjang, telepon berbunyi. Aku pikir aku telah mematikannya. Itu menjadi suatu rahasia. Aku ragu-ragu, lalu menjawab. Aku bisa mendengar napas seseorang, lalu suara yang aneh….
Aku tinggal di rumah, dengan keluarga. Orangtuaku baik… terkadang mereka mengobrol satu sama lain seperti pasangan kekasih.
Aku mungkin juga hidup di Gurun Sahara. Sedikit melakukan aku pernah berpikir aku akan menghabiskan sisa hidupku di Oujda dengan orangtua yang lanjut usia. Aku tidak pernah menangis, kecuali ketika hatiku sumpek. Aku berdoa, aku berdoa, aku berdoa… aku tidak sendiri ketika berdoa. Ini merupakan pelipur laraku. Aku mengambil kenyamanan pada gagasan, bahwa Tuhan akan mendengarkan ucapanku. Apakah kamu mengingat ketika kamu kuberitahu soal perasaan yang baik terhadap kekuasaan Tuhan? Kita pernah jalan-jalan di Taman Montsouri. Aku tidak tahu kalau kemudian, tapi aku senang. Aku mencoba mengubahmu ke Islam; aku mencintaimu aku tidak mau kamu pergi ke neraka! Betapa konyol. Terkadang aku bangun di tengah malam dengan kepala yang nyeri.
Ada beban seberat batu di kepalaku—tak terlihat
Namun sakit.
Aku pergi ke pesta ulang tahun dengan kolega rumah. Sebuah meja berisi piring-piring pastille, daging panggang, kue tradisional afrika utara, dan beragam variasi buah-buahan. Para tamu berbicara: kehidupan, anak-anak, suami-suami dan istri-istri. Aku bergabung ke percakapan tapi terpisah dengan jiwaku yang pendiam dan mengisolasi diri di hati dari kerumunan.
Beberapa rekan saya sangat religius, tetapi satu-satunya klaim mereka terhadap agama adalah diam. Mereka tidak memiliki ketegasan, mereka patuh pada angin yang bergerak.
Terlalu banyak lelaki di Universitas, bermasalah; dan wanita paling menjaga diri mereka sendiri.
Gairahku dan antusias hebat yang tak terbayangkan; mereka menyebabkanku punya banyak masalah. Aku cemas, bingung, bimbang, dan takut… aku berdoa, aku rindu dengan kehidupan yang berbeda. Aku tidak totalitas sama sekali! Apa yang paling menyakitkan bagiku adalah cinta yang menyeretku ke arah maut, dan tidak ke arah suatu hidup yang baru. Aku menghabiskan separuh hidupku bermimpi tentang menemukan cinta dan hal lainnya dengan separuh sengsara dari cinta yang tak terbalas. Aku jatuh cinta seratus kali, tapi aku tahu cinta tidak membutuhkan mekanika. Selama bertahun-tahun, aku menemukan cara jatuh cinta tanpa pernah mempunyai relasi nyata dengan imajinasi yang ada dalam pecinta imajinasi.
Di benak, liar, lari
Hati terus-menerus mabuk air tersuspensi
Aku tidak pernah memperoleh peluang cinta dalam hidup; aku berusaha menyembunyikan semuanya. Cinta hanyalah kesepian biasa. Oh, mimpi itu!
Aku berjuang memberi variasi kepada kehidupan yang bukan pilihanku! Rumahku tidak benar-benar mempunyai suasana yang hangat—tapi aku jarang meninggalkannya, kecuali pergi untuk bekerja, atau ke supermarket. Anna, aku jelas melihatmu dalam mimpiku. Aku ingin menulis surat untukmu. Aku memiliki banyak hal untuk kusampaikan padamu, tapi yang kuucapkan tidak akan pernah didengar. Hujan beruntun saat menonton Jane Eyre di Odeon, apakah kamu mengingatnya? Pergi ke bioskop adalah hal baru bagiku. Ya Tuhan, aku suka film itu. Aku belum pernah melihat yang seindah itu! Aku merasa seperti Jane Eyre, membangkang, keras kepala, dan lembut. Apakah yang kamu ucapkan mengenai itu? Kamu berkata, “Aku sudah memperoleh dosis percintaanku untuk satu malam,” dan kemudian kita berjalan kembali ke Le Crous, cekikikan, dan berceloteh… Kita masih sangat muda. Aku masih muda.
Muda dan masih gadis di Paris… Kita begitu bersemangat, begitu berjiwa, kita tertawa-tawa, kita tidak padam. Aku tidak padam. Aku lulus sebagai siswa yang menertawai masa depan.
Apakah kamu ingat hari-hari kita di Le Louvre? Bagaimana kita menjelajahi Paris dan semua museum serta setiap sudut kota tua? Aku merindukan hari-hari itu. Oujda tidak seperti itu.
Lagi hujan? Di Oujda, hujan turun di akhir September. Aku suka menyaksikan daun kering mengapung di atas air, aku suka hujan deras di musim gugur; hujan mengaburkan lampu yang terpancar dari mobil-mobil, mengaburkan penglihatan…
Apakah kamu mengenaliku jika kamu melihatku? Aku tidak mengenali orang asing yang menatapku di cermin. Aku masih pemalu dan sangat tertutup seperti Charlotte Brontë. Tidak ada apa-apa yang terjadi padaku, aku tidak ke mana-mana. Orang-orang mengira aku kuat, tapi aku hanya perlu dorongan. Aku aktris yang baik. Aku daya yang palsu; bekerja separuh waktu. Dibutuhkan persepsi untuk melihat lapisan atau bagian yang menyembunyikan kerentananku. Aku sadar sekarang bahwa kamulah yang memberiku pengaruh unik, tanpa ada keinginan untuk mempengaruhiku.
Kita berbagi sesuatu. Ada celah dalam diriku dan aku tidak bisa mengisinya. Mimpi yang menyedihkan! Aku berpikir orang yang tenggelam adalah aku… tidak, aku tidak tenggelam. Atau mungkin juga iya.
Mengapa kita jarang bertemu setelah aku pindah ke Antony? Apakah kita masih dekat? Tentu lucu bahwa kita adalah teman akrab, bukan? Dan lihatlah, tidak mampu menjangkaumu. Aku tidak tahu nama keluargamu. Lucu sekali!
Aku masih mencari di hatiku tentang makna kehidupanku. Beberapa orang mencari sepanjang hidup mereka dan tidak pernah menemukannya. Aku terus berjalan, mencari sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang sangat berharga… jika tak kutemukan, aku tidak akan pernah menjadi utuh. Aku ingin keluar dari diriku sendiri. Aku ingin menyingkirkan orang asing ini yang tinggal di dalam diriku dan berpura-pura menjadi aku. Aku kehilangan kemampuan untuk menyenangi apa pun. Ketika aku kembali ke Oujda, aku sadar bahwa dunia lebih membingungkan dan tidak dapat diakses daripada yang pernah kubayangkan. Ketika aku berada di Prancis, film yang bagus, drama, pameran, perjalanan atau pertemuan dengan teman bisa membuatku bahagia. Kembali ke Oujda, aku hanya bisa sejenak menghindar. Kebahagiaan bagiku adalah dunia yang tumbuh semakin jauh setiap tahun.
Seringkali kita membicarakan tentang masa depan. Kamu berucap, “Salma, kamu akan menyelesaikan studimu, menjadi guru di Prancis, dan membangun keluarga di sana.”
Tidak terlintas dalam pikiranku untuk menghubungimu ketika pertama kali aku kembali dari Perancis. Kursus yang kupersiapkan, proyek yang sedang berjalan, kehidupan baru di rumah, membuatku melupakanmu untuk sementara waktu. Demikianlah, kehidupanku penuh dengan buku-buku, kelas-kelas; penelitian … banyak hal, tetapi beberapa hal hilang. Anna, bagaimana seseorang bisa “menjadi” dalam kehidupan yang tidak bahagia dan penuh sesak? Mimpi! Tidak ada sesuatupun di duniaku yang masuk akal. Adakah kemungkinan takdir akan berbeda?
==========
Chourouq Nasri adalah seorang profesor di Departemen Studi Bahasa Inggris di Universitas Mohamed 1 di Oujda, Maroko. Dia memiliki kurang lebih 295 tulisan dan banyak dipublikasikan, dengan topik yang berkaitan dengan sastra, media, dan budaya visual. Dia menjadi co-editor Wanita Afrika Utara setelah Musim Semi Arab: Di Mata Badai (Palgrave Macmillan, 2017). Diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris berjudul, “Anna” yang terhimpun pada antologi ID New Short Fiction From Africa (Short Story Day Afrika 2018).
==========
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bekerja di baleristan.co.id (media pemerhati sekolah vokasi dan kejuruan). Bermukim di Bantul, Yogyakarta.