ESOK, aku telah menggenapkan umurku di angka seratus tahun. Tiga angka yang menandakan sudah sekian lama aku hidup. Hidup meski dalam keadaan larat dan tubuh benar-benar mulai aus. Kedua mataku sudah tak awas, meski tesmak selalu bertengger di batang hidung. Selepas usia tujuh puluh lima tahun waktu itu, sesungguhnya aku tak menginginkan apa-apa lagi di dalam hidupku. Andai waktu itu diriku dimakan lampus, tak ada yang kusesali lagi. Kerelaanku untuk pergi telah kupersiapkan jauh-jauh hari. Tapi tampaknya Tuhan benar-benar sangat pemurah, usiaku jauh melampaui angka itu. Mungkin lantaran dalam kesungguhan pembicaraan yang hening antara aku dan Dia, aku meminta dimatikan saja saat itu, waktu di mana terakhir kali aku melepas rasa duka, doaku itu tak benar-benar membumbung ke angkasa dan tampaknya hanya tertambat di langit-langit kamar. Waktu di mana aku menginginkan terakhir kali meramu kue duka untuk kematian putra bungsuku.
Segalanya hanya keinginan, dan harapan tak harus selalu diluluskan. Lepas dari kedukaanku yang terakhir, permintaan meramu kue duka masih datang silih berganti dengan kabar duka yang kuterima dari seluruh penjuru kota. Tanganku kembali menggiling beras ketan putih dan merah. Bunyi gilingan batu akan terdengar di pagi buta selepas tiga hari upacara kematian. Tepung ketan putih akan dicampur perasan daun suji, warna hijau segar akan muncul, sedangkan isian dalamnya cacahan kacang tanah sangrai dicampur parutan halus kelapa muda yang dimasak dengan api sedang dengan tambahan gula aren. Saat mengisi kulit kue duka harus ditambahkan rajangan gula aren, haruslah gula aren, tak boleh gula lain. Ketika sudah matang, kue dibelah akan mengeluarkan lelehan gula aren laiknya lava gunung berapi.
“Tak boleh memakai gula selain gula aren. Aroma gula aren jauh lebih wangi dibanding gula merah biasa. Aroma wangi itu membuat hati orang yang memakan kue ini merasa tentram.” Ujarku satu hari tatkala mengajari putri sulungku meramu gula aren.
Tetapi, kue masakan putri sulungku kali itu tak jadi. Meski dia telah mengikuti semua resep yang kuberikan, cara mengadon dan isian yang serupa, nyatanya kue buatan Utari itu rusak. Kue-kue dalam bentuk menarik itu luruh di atas dandang kukus. Isian kue duka buatan Utari bahkan keluar dari adonan. Semua lengket di atas saringan dandang kukus.
“Mungkin hanya Mama yang diperbolehkan membuat kue ini. Nyatanya aku tak boleh membuatnya.” Keluh Utari perlahan saat melihat kue bikinannya rusak berantakan.
“Ah, mungkin saja ada yang kau lewatkan saat mengadon,” tegurku sembari mencoba mencongkel kue yang leleh di atas sarangan dandang.
Lain hari aku pun mengajari Marsinah, pembantu di rumah untuk membuat kue duka. Dengan cara serupa aku meramu. Lalu, seperti halnya ketika mengajari Utari beberapa waktu sebelumnya, kue bikinan Marsinah juga rusak. Kue bikinan Marsinah lumer seolah terlalu banyak air di dalam adonan. Padahal tak ada resep yang berbeda, semuanya sama, cara mengadon dan membuat isian pun serupa, satu hal berbeda adalah kue itu tak benar-benar langsung terlahir dari kedua tanganku.
“Hanya ibu yang diperbolehkan membuatnya.” Ujar Marsinah, seolah mengulangi apa yang diucapkan Utari.
Aku termangu-mangu mendengarnya. Benarkah hanya dari tanganku saja kue duka ini bisa dimasak. Bukankah kue semacam ini sebenarnya bisa dimasak oleh banyak orang. Di pasar pun banyak dijual kue serupa, meski kata orang citarasanya teramat berbeda, dan tentu saja nama kue serupa yang dijajakan di pasar, tak mungkin disebut dengan kue duka. Jika benar hanya dari tanganku kue duka ini bisa dimasak, aku tak bisa lagi membedakan hal itu keberuntungan atau kutukan. Mulai saat itu pula, kue duka tak pernah diracik oleh orang lain. Kue-kue itu hanya kuramu seorang diri. Dari tanganku sajalah kue-kue itu bisa dimasak dengan baik. Kue yang selalu dipesan ketika kematian datang, kue yang selalu hadir di tengah suasana dukacita. Tak memandang agama tuan rumah, kue racikanku itu selalu hadir di meja rumah duka dengan nampan bambu beralas daun pisang ditambah rajangan daun pandan.
oOo
Aku ingat betul kapan pertama kali meramu kue duka itu. Kue yang kumasak seorang diri guna meluruhkan rasa duka di dalam hati. Aku masih duduk di MULO[1] tatkala duka besar pertama kali menyergap hidupku. Pagi itu, sinar matahari begitu terik. Cahayanya menimpa daun-daun ketapang merah membuat lembar-lembar daunnya tampaknya berkilauan dari kejauhan, angin bersemilir mengiringi suara jernihnya bel sepeda di jalanan desa. Dari kejauhan, kulihat seorang anak gembala berdiri di luar pagar sekolah. Kukenali betul anak itu, seringkali kulihat dia menggembalakan kerbau di lapangan tak jauh dari sekolah. Di tangannya, dia menggenggam secarik kertas, sebuah surat untukku yang dititipkan oleh seseorang.
Begitu membukanya, aku mengenali lekuk huruf di atas kertas itu. Tak banyak yang tertulis di sana, beberapa larik kalimat saja, namun cukup tegas mengabarkan bahwa ia, pemuda yang baik itu mengajakku untuk keluar bersama di Sabtu malam nanti. Pemuda itu bernama Poetra Bagoes, kawan baik kakak sulungku, dan seseorang yang menjadikanku kekasih.
Tapi sekembalinya aku dari sekolah hari itu, tak kutemukan kabar baik dari Poetra Bagoes selain berita kematiannya. Ia dan seorang kawannya ditemukan meninggal di sungai siang itu. Dari cerita orang-orang, keduanya tengah mandi di sungai ketika air bah tiba-tiba datang. Tak menyangka akan datangnya mara bahaya, keduanya terseret alian sungai yang tiba-tiba meluap dengan arusnya yang demikian menderas. Surat darinya, terasa menikam dada. Kematiannya membawa duka yang sesungguhnya hal purba, namun demikian asing rasanya. Berhari-hari aku meratapi kematiannya. Seminggu selepas kematian mengejutkan itu, aku meracik kue duka untuk kali pertama. Pagi buta dengan wajah sembab lantaran menangis seharian, kugiling beras ketan dan mempersiapkan gula aren untuk isian. Selepas memakan kue itu, rasa dukaku lenyap separuhnya, kerelaanku akan kepergian Poetra meruap. Tangisku terhenti, waktu itulah aku mengerti, kue yang kumakan bukan sekadar kudapan, melainkan sarana meringankan rasa duka lantaran kehilangan.
Kematian selalu beriringan dengan kelahiran. Waktu berjalan maju haruslah menghentikan waktu seorang manusia. Setelah kue duka untuk kekasihku yang malang itu, kue duka selanjutnya untuk mendiang ayahku. Lalu, orang-orang mulai ingin mencobanya. Mereka ingin melenyapkan sebagian rasa duka selepas kehilangan, dengan cara yang sama seperti kulakukan. Ratusan kue buatanku menyelinap di antara rasa duka, terus begitu hingga akhirnya aku memiliki suami dan anak-anak.
Orang-orang mengatakan kue daun suji itu mampu mengusir separuh rasa duka. Kue duka itu juga mengiringi kepergian ibuku, kemudian dua tahun setelah ibu, kue racikanku itu mengiringi kepergian suamiku. Aku dan kedua anakku memakannya dengan air mata yang meleleh, namun kedukaan di dalam dadaku, seolah sebagian terangkat, terlebih manakala ketika aku memandangi wajah kedua anakku. Mata anak bungsuku tampak berbinar sore itu, tatkala sebuah kue duka hangat menjadi jamuannya. Ia tampaknya agak lupa bahwa dua hari yang lalu tangisnya meledak-ledak saat mengantarkan jasad ayahnya ke liang lahat.
Aku selalu meramu kue duka itu untuk siapa saja yang memintanya. Tak pernah terlalu banyak membuatnya, cukup dibagikan untuk keluarga ditinggalkan. Setidaknya hanya senampan. Kecuali di hari itu, bertahun-tahun setelah aku kehilangan suamiku, tak lain kematian putri sulungku. Utari mengalami kecelakaan mobil bersama suami dan anak semata wayangnya. Ketiganya meninggal di rumah sakit. Selepas mengalami kehilangan-kehilangan dalam hidupku, aku merasa bahwa hari itu tak ubahnya puncak dari segala rasa kesakitan.
Tiga hari selepas upacara kematian ketiganya, bunyi gilingan batu di dapur rumah terdengar kembali. Aku harus meramu kue duka. Rasa sakit menikam-nikam dadaku lantaran kehilangan itu seolah menyiksaku berkali-kali. Tapi adonan seperti biasa tak menyurutkan rasa dukacita di dalam dadaku. Sebak menyiksa dada, air mataku selalu jatuh jika mengingatnya. Adonan demi adonan kue duka kuracik. Ratusan bahkan ribuan kue duka kubuat selama berhari-hari, tapi rasa duka lantaran kehilangan ketiga kesayangan dalam hidupku hanya mampu pergi sedikit saja. Kue duka seakan membanjir untuk sanak saudara dan tetangga, tapi dukaku harus dituntaskan, rasa yang menikam di dada haruslah disembuhkan.
Kemanjuran kue duka lantas mulai kuragukan, tapi mengikhlaskan kepergian putri sulungku tetaplah harus dilakukan. Meski begitu, pesanan kue duka tetap datang silih berganti. Awal selepas kematian putriku waktu itu, aku menolak pesanan. Tetapi seorang wanita muda datang ke rumah, ia baru saja melepas kematian kekasihnya.
“Ada kanker di kepalanya. Kekasih saya baru saja pergi dua hari lalu.” Ujarnya dengan suara parau.
Seolah mengingat diriku bertahun lalu, aku meracik kue duka untuknya. Kuminta dia menikmati racikan kue itu guna mengurai duka di dada. Sesama manusia yang baru saja mengalami kehilangan, kami haruslah berbagi rasa. Betapa menyiksanya kehilangan tanpa adanya pertolongan untuk meringankannya.
Di usiaku yang menginjak tujuh puluh lima tahun, duka terakhir menyergap hidupku. Putra bungsuku, dia meninggal lantaran terkena serangan jantung. Persis seperti apa yang menimpa ayahnya. Selama hidup, anak laki-laki baik itu mengalami banyak hal. Ia sangat mencintai seorang perempuan, kemudian menikah, namun tak lama setelahnya bercerai. Selepas perceraian itu, dia memutuskan tak menikah lagi. Dia menghabiskan waktu untuk bekerja di sebuah bank negara, lalu di usianya yang baru menginjak lima puluh tahun sore itu, dirinya terjerembab jatuh tak sadarkan diri. Serangan jantung, lantas pergi tak meninggalkan pesan sedikit pun.
oOo
Manusia selalu meminta umur panjang, dulu aku pun begitu. Doaku tampaknya dikabulkan, hanya saja dulu mungkin kulupakan bahwa hidupku yang panjang janganlah diisi kekosongan, lantas setia ditemani kesepian. Kini di usiaku yang merangkak seratus tahun ini, keinginanku hanyalah bertemu keluargaku. Hidup telah lama kujalani, kini segalanya terasa demikian membosankan meski Marsinah masih demikian setia. Malam ini di atas balai-balai, kaki ringkihku dipijatnya dengan lembut. Telingaku masih menangkap cerita dari bibirnya. Pandang mataku yang dibantu tesmak hanya menatap foto keluarga dan Marsinah silih berganti.
“Jika aku meninggal nanti, Inah. Kau tak perlu repot membuat kue duka. Aku tak ingin ada kue duka selepas kematianku.” Ucapku perlahan.
Marsinah tak menjawab, dia hanya tertegun. Aku sendiri kembali mengawasi foto keluarga, seakan di sanalah suami dan anak-anakku terpenjara dalam pigura. Aku menginginkan mereka melompat dari sana, keluar membawaku pergi. Pergi jauh. Jauh sekali.[]
*
[1] Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah setara SMP saat zaman Hindia-Belanda
=========
Artie Ahmad lahir di Salatiga, 21 November 1994. Saat ini tinggal di Salatiga. Dia menulis cerita pendek dan novel. Beberapa cerita pendeknya dimuat media massa, buku terbarunya ‘Manusia-Manusia Teluk’ terbit 2020 oleh Penerbit Buku Mojok, novel ‘Sebuah Surau’ diterbitkan Penerbit Divapress, dan novel ‘Persekutuan Perempuan-Perempuan Lajang’ diterbitkan Penerbit Langgam Pustaka.