Penangkapan Penari Sema


PAGI
hari Akila meninggalkan Istambul. Gadis itu pulang ke Konya. Telah enam bulan Akila menjalani hidup sebagai pramugari yang tangkas dan ramah di maskapai penerbangan internasional. Ia memperoleh libur setelah menjalankan tugas penerbangan enam hari berturut-turut. Ia ingin memastikan kabar buruk mengenai Anka, kakak lelakinya. Anka menembak Saad, seorang imigran gelap Suriah, tetapi peluru melesat menembus bahu kanan Orhan Fatih.  

Menurut cerita Baba 1), Orhan Fatih menengok Saad ke Konya. Empat jam perjalanan dari Ankara, Orhan Fatih menyetir sedan kesayangannya. Akila memikirkan persaudaraan yang aneh antara Orhan Fatih dan Saad. Orhan Fatih seorang lelaki setengah baya keturunan Ottoman. Leluhurnya diusir meninggalkan Turki pada zaman kekuasaan Ataturk. Leluhur Orhan Fatih memilih tinggal di Damaskus. Turun-temurun. Ketika pemerintah Turki memperkenankan keturunan Ottoman kembali ke tanah leluhur, Orhan Fatih memutuskan tinggal di Ankara, mendirikan toko roti. Para pekerja toko roti itu kebanyakan dari imigran gelap Suriah, di antaranya Saad.

Keluarga Akila pernah tinggal di Ankara. Baba berdinas sebagai polisi. Ketika malam itu terjadi kerusuhan anak-anak muda membakar toko roti Orhan Fatih dan menghajar para imigran gelap Suriah – termasuk Saad – Anka turut terlibat. Saad terluka dan dirawat di rumah sakit. Toko roti Orhan Fatih kembali dibangun, dan dibuka dengan pelanggan yang jauh lebih banyak.

Baba pensiun dari dinas kepolisian. Keluarga Akila pindah ke Konya. Akila selalu melihat Baba ziarah ke makam Rumi dan belajar menari sema. Bila Sabtu malam, Baba mementaskan tari sema di Mevlana Cultural Centre. Yang tak pernah diduga Akila, Baba tinggal seorang diri di apartemen. Anne kabur meninggalkan keluarga, menempati lahan pertanian dekat kota tua Hierapolis, mengolah ladang gandum bersama seorang lelaki setengah baya. Anka meninggalkan Konya, bekerja sebagai pemandu wisata di Istambul. Akila juga menentukan pilihan hidup di Istambul, sebagai pramugari. Akila sempat mendengar cerita Baba mencari Saad ke Ankara, dan memintanya pindah ke Konya, bekerja sebagai tenaga kebersihan di Mevlana Museum, dan belajar menari sema. Saad mengikuti jejak Baba. Menari sema di Mevlana Cultural Centre tiap Sabtu malam. 

Sabtu malam itu Orhan Fatih mengunjungi Konya. Ia menonton pergelaran tari sema yang diperagakan Baba dan Saad. Ia berjalan berdampingan dengan Saad di pelataran Mevlana Cultural Centre.  Anka yang berlibur di Konya, mengikuti kepergiaan Saad dan Orhan Fatih. Ia menembak Saad dengan senapan berburu. Tembakan itu tak mengenai sasaran. Bahu kanan Orhan Fatih tertembus peluru, tergeletak berlumur darah. Anka ditangkap polisi, diadili, dan dipenjara.

                                                             ***

MENINGGALKAN Istambul Grand Airport, Akila menuju Konya.  Tiba di Konya Airport, ia menumpang taksi, dan sempat mampir membeli etli ekmek, roti daging mirip pizza, kesukaan Baba. Alangkah takjub Baba memandangi putrinya yang kini bekerja sebagai pramugari penerbangan internasional. Penampilan Akila anggun. Baba yang selama ini tinggal seorang diri di apartemen, gugup menerima kedatangan Akila.

“Ayo, kita tengok Anka ke penjara!” ajak Akila pada Baba.   

“Dia akan senang sekali menerima kedatanganmu,” kata Baba.  

Di penjara itu Anka tampak kuyu dan tersiksa. Ia merasa tak kerasan, tertekan, dan menggerutu. Ia tercengang memandangi Akila, yang tampak cantik, tangkas, dan ceria.

“Terimakasih, mau menengokku. Aku tak pernah berpikir akan mengalami nasib seburuk ini. Hidup di penjara karena menembak seseorang. Beruntung Orhan Fatih tak mati. Ia selamat.”

“Kenapa kamu bertindak tanpa nalar?” Akila menggugat kakaknya.

“Kebencianku pada Saad membutakan hati.”

Sejak Baba masih bertugas sebagai polisi di Ankara, Anka membenci Saad. Anka senantiasa mengancam keselamatan Saad. Ia membakar toko roti Orhan Fatih, yang banyak mempekerjakan imigran gelap dari Suriah. Ketika pindah ke Konya, kebencian Anka masih membakar dadanya. Begitu juga ketika tinggal di Istambul sebagai pemandu wisata, kebenciannya itu memberangus jiwa. Ia membeli senapan berburu. Mendengar Saad pindah ke Konya, bekerja di Mevlana Museum dan menjadi penari sema di Mevlana Cultural Centre, ia merencanakan pembunuhan dengan senapan berburu. Malam setelah menari sema di Mevlana Cultural Centre, Anka menembak Saad. Tetapi yang tertembak Orhan Fatih, yang berjalan di sisi Saad.  

Sepasang mata Anka berbinar memandangi Akila, dan meredup kembali. “Betapa bodoh aku. Tetapi aku sungguh merasa tertolong dengan situasi ketika menembak Saad. Aku tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. Bagaimana mungkin Saad keluar gedung pertunjukan masih menampakkan diri sebagai penari sema? Dalam pandanganku, ia berjubah putih panjang, mengenakan topi menjulang. Ketika kuarahkan laras senapan ke kepalanya, ia tampak sedang menari sema, berputar, menjelma sembilan orang, yang terus berzikir, dan memancarkan cahaya. Tanganku bergetar. Pandanganku digelapkan pusaran cahaya yang menyelubungi sembilan penari sema. Dalam pandangan yang silau cahaya itu, aku menembak. Aku tak menduga, bila yang roboh Orhan Fatih, Beruntung ia tak mati.”

Akila menatap ke pusat hitam mata kakaknya. “Apa kau masih membenci Saad?”

Memandangi Akila, Anka menukas, tak terduga,“Aku tak bisa menipu diri. Kebencianku padanya belum lenyap.”

                                                                           ***

MATAHARI menyilaukan di langit barat, meski hari beranjak malam. Baba mengajak Akila   menonton tarian sema. Baba mengemudikan mobil sedan tua kesayangannya, meninggalkan apartemen. Wajahnya berseri-seri. Mereka menuju Mevlana Cultural Centre. Akila sempat bertemu Saad yang baru pulang dari kota tua Hierapolis. Berbincang-bincang. Tampak sekali pemuda itu gugup, tak seperti dulu ketika ditemuinya di toko roti Orhan Fatih. Gemar menggoda.

Akila menanti pertunjukan tari sema, dalam hening di jajaran kursi penonton. Ia duduk di antara turis-turis asing yang datang ke kota kecil ini untuk menyaksikan tarian peninggalan Rumi.

Ketika para penari sema berjubah panjang dan bertopi menjulang mulai muncul di tengah arena, dengan iringan musik tabla 2), baglama 3), dan flute, para penonton menegakkan punggung. Semua pandangan terarah pada para penari sema. Akila tak lagi dapat mengenali Baba dan  Saad di antara para penari yang mulai berputar berlawanan dengan arah jarum jam.

Menjelang pulang, Akila menunggu Baba di tempat parkir. Ketika Baba menghampiri Akila, empat polisi menyergap dan menangkapnya.

“Mengapa kalian menangkapku?” tanya Baba, tersentak. Kaget.  

“Kau telah menembak kekasih istrimu di ladang gandum Hierapolis siang tadi!”

Baba tak meninggalkan apartemen seharian ini,” kata Akila, tenang. “Aku selalu bersamanya.”

“Kau telah membuang senapan berburu setelah menembak kekasih istrimu!” tuduh polisi pada Baba.

“Siapa saksi yang melihatku menembak dengan senapan berburu?”

Empat polisi itu surut. Saling pandang. Ketika itulah datang Saad, yang mengejutkan empat polisi dan Baba. Akila juga terkejut mendengar kata-kata Saad yang disampaikan dengan gugup, “Aku yang menembak lelaki itu di ladang gandum. Telah lama aku merencakan perbuatan ini.”

“Kenapa kaulakukan itu?” tanya Baba tak percaya.

“Aku tak tega melihatmu hidup seorang diri di apartemen. Membiarkan istrimu dibawa pergi lelaki dengan begitu saja.”

“Mestinya kau belajar mengendalikan kebencianmu.”

“Aku tak bisa melihatmu dikhianati begitu rupa,” balas Saad. “Aku ingin istrimu kembali.”

Malam itu Akila melihat Saad – yang pernah mau dibunuh Anka dengan senapan berburu – juga melakukan penembakan yang serupa pada lelaki yang membawa pergi Anne 4). Ia telah membunuh kekasih Anne, dan seperti menyerahkan jiwanya untuk diadili dan dipenjara. Akila tak habis mengerti, bagaimana Saad melakukan perjalanan ke kota tua Hierapolis, mencari lelaki setengah baya yang membawa pergi Anne di ladang gandum, dan menembaknya tanpa perasaan berdosa.

“Aku tak pernah menduga kalau Saad akan melakukan perbuatan senekad ini,” kata Baba dalam perjalanan pulang dari Mevlana Cultural Centre ke apartemen, Akila merasakan kesunyian yang menyakitkan. Ia tak pernah membayangkan, bagaimana seorang imigran gelap berani melakukan penembakan dengan senapan berburu, demi kebahagiaan Baba, yang selama ini ditinggal Anne begitu saja.

Dalam pikiran Akila berkembang suatu kesangsian, akankah Anne kembali ke apartemen di Konya, hidup bersama Baba? Anne telah memutuskan untuk meninggalkan Baba, menjalani hidup sebagai petani ladang gandum di kawasan kota tua Hierapolis yang penuh ketenangan.

“Apa Baba pernah meminta Saad untuk membunuh kekasih Anne?” tanya Akila menyelidik. Baru kali ini Akila melihat wajah ayahnya gusar.

“Tak pernah. Aku sudah melupakan ibumu,” tukas Baba. Tampak wajahnya menahan sedih dan gugup. Akila melihat empat polisi itu memborgol Saad dan membawanya ke Pamukkale.

                                                                         Konya, Turki, Juli 2022, Pandana Merdeka, Januari 2023


Keterangan:

  1. baba      = ayah
  2. tabla     =  instrumen musik perkusi tradisional
  3. baglama = alat musik senar yang dipetik, serupa kecapi                             
  4. anne      = ibu

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *