TEPAT ketika Ibeng Samson mengusap wajahnya dengan kedua tangan setelah berdoa pada malam yang hening, sebuah ledakan terdengar begitu dahsyat hingga meja, lemari, dan lantai tempat ia bersila terasa bergetar.
Sebelum ledakan itu, Ibeng Samson memejamkan mata sembari mulutnya lirih berdoa. Melalui kelopak matanya yang sedikit tertutup, ia melihat secercah cahaya terang yang sekejap masuk dari celah jendela yang sedikit terbuka, diikuti suara gelegar yang merambat memenuhi udara malam.
Ibeng Samson melangkah menuju ruang tamu kemudian membuka pintu depan. Di luar langit gelap. Bintang-bintang terlihat lebih cemerlang. Pertanda tak ada mendung ataupun hujan. Tak mungkin suara dentuman yang barusan didengarnya adalah guntur.
Ibeng Samson menutup pintu ketika angin dingin mengelus kulitnya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidur agar tidak terlambat salat subuh. Akan tetapi, ia tak dapat memejamkan mata. Pikirannya masih menuntut penjelasan akan suara ledakan itu.
Mau tak mau, Ibeng Samson harus menuntaskan penasarannya saat itu juga. Ia keluar saat sebelumnya mengenakan jaket, mengambil senter dan sebilah parang. Ia melangkah menuju bagian belakang rumah, asal suara ledakan itu. Setelah sekitar dua puluh langkah, kakinya berhenti tepat di depan pohon akasia. Sebuah lubang berukuran lubang kelinci terlihat saat ia menyorot permukaan tanah dengan cahaya senter. Ibeng Samson menyorot senter lebih dalam hingga ke dasar lubang. Matanya menangkap sebuah benda berwarna abu-abu gelap, seperti warna ujung pensil. Bongkahan batu itu sedikit berkilau terkena sinar senter.
Ibeng Samson memang telah lama meninggalkan bangku sekolah. Bahkan, ia tidak sempat menamatkan pendidikan SMP. Namun, otaknya masih menyimpan sebiji zarrah ilmu dari gurunya yang mengajarkan tentang astronomi. Ia menyimpulkan, bongkahan yang tertanam seukuran kepala bayi baru lahir itu adalah meteor–walaupun kata yang benar adalah meteorit.
Setelah berhasil mengangkat meteorit itu, Ibeng Samson membungkusnya dengan sarung lalu membawanya ke dalam rumah, dan menyimpannya dalam lemari.
Ibeng Samson tak pernah menyangka akan mengalami peristiwa seperti ini. Juga tak pernah ia memprediksi jalan hidupnya akan berubah drastis, dari seorang preman hingga menjadi seorang dengan pribadi yang sebaliknya.
“Samson” julukan yang disematkan orang-orang pasar dan semua orang yang bergelut dalam dunia kelam kepada Ibeng. Sepak terjangnya sebagai penguasa Pasar Jumat berakhir saat dirinya diringkus polisi setelah membunuh anak muda yang menantangnya—mencoba menggeser posisinya. Sang Alfa berhasil mempertahankan kedudukan. Namun, kekuasaannya harus berakhir dalam penjara. Delapan tahun vonis kurungan ia terima.
Tepat pada tahun keenam, Ibeng Samson mendapatkan hidayah melalui tausiah-tausiah yang ia dengar dari seorang sipir sekaligus ustad di lembaga pemasyarakatan. Setelah mendapat remisi pada tahun ketujuh, ia bebas dan memulai hidup baru.
Tak mudah bagi Ibeng Samson menjalani hidup sebagai mantan preman. Tentu tak ada yang ingin hidup berdampingan dengannya. Bahkan, tak ada yang sudi tinggal sekampung dengannya. Hingga akhirnya, kepala desa mengizinkan Ibeng Samson tinggal di perbatasan kampung dan menggarap lahan tidur di belakang rumah.
Istri Ibeng Samson menikah dengan seorang makelar pada bulan ketujuh setelah Ibeng Samson masuk penjara. Kini, Ibeng Samson tinggal bersama Ribo, anak semata wayang yang berhasil ia bujuk dari nenek yang merawatnya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab; bahwa ia telah berubah. Ribo yang mengidap down syndrome hanya bisa pasrah.
Setelah beberapa hari, rumor tentang meteorit yang jatuh di belakang rumah Ibeng Samson santer terdengar. Orang-orang berdatangan setiap hari untuk melihat meteroit itu.
Mereka takjub melihat batu langka itu. Sebagian meragukan keasliannya, sebagian malah merasa prihatin melihat keadaan Ribo. Ibeng Samson tetap sabar dan tenang meladeni keinginan warga yang datang hampir setiap hari.
Berita tentang meteorit milik Ibeng Samson menjadi viral. Selentingan terdengar bahwa seseorang ingin membeli meteorit itu dengan harga yang fantastis. Ibeng Samson mendengar dari beberapa warga bahwa seorang pengusaha dari Amerika ingin bernegosisasi dengannya.
“Bang Samson, tidak usah mendengar kata orang lain. Bahkan Kepala Desa sekalipun. Orang ini bonafid, Bang. Dari Amrik. Nanti dia akan hubungi Abang lewat saya.” Seorang yang mengaku sebagai sahabat menawarkan bisnis kepada Ibeng Samson.
Ibeng Samson tidak menolak, tidak juga mengiyakan. Ia hanya diam sambil menatap meteorit di atas meja. Benda angkasa itu seolah memiliki energi untuk menghipnotisnya. Mungkin batu itu mampu menenangkan pikirannya yang riuh akan berita tentangnya.
“Ini HP untuk Abang. Nanti kita bisa ngobrol lagi. Mister Nicola akan menghubungi lewat video call. Tenang, Bang. Nanti saya temani.” Seseorang yang mengaku-ngaku sebagai sahabat itu menyerahkan HP android keluaran terbaru kepada Ibeng Samson.
Dari seseorang yang mengaku-ngaku itu, Ibeng Samson mendengar bahwa Tuan Nicola berani membayar seharga mobil Pajero seri terbaru untuk batu langka itu.
Ibeng Samson awalnya tidak terlalu yakin dengan nominal yang ditawarkan. Mungkin ia masih terkejut dengan apa yang terjadi dengan kehidupannya. Terutama pasca ia memutuskan diri untuk meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan dunia hitam. Akan tetapi, Ibeng Samson merasa ini adalah jawaban dari doa yang ia panjatkan setiap malam. Terutama demi biaya pengobatan anak semata wayangnya.
Tepat sehari sebelum Tuan Nicola akan menghubungi Ibeng Samson, seseorang bernama Dous datang.
“Pak Samson jangan terburu-buru menjual meteor itu. Sebenarnya, saya yang lebih berhak memiliki batu itu!” kata Pak Dous dengan suara keras.
“Apa maksud Bapak?” Seseorang yang mengaku-ngaku sahabat terkejut. Ia tampak marah.
Ibeng Samson hanya diam.
“Meteor itu jatuh di atas tanah milikku!”
“Kalau mau ambil bagian, jangan begini caranya, dong. Apa buktinya tanah di belakang rumah Bang Samson itu milik Bapak?” sergah seseorang yang mengaku-ngaku sahabat Ibeng Samson.
“Pak Kades berutang sama saya selama masa kampanye dan menggadaikan tanahnya. Sekarang, setelah terpilih, dia belum melunasi utangnya,” kata Pak Dous sembari memperlihatkan beberapa lembar kertas bertuliskan akta tanah.
“Ah. Bisa saja Bapak palsukan surat-surat itu. Saya sudah dengar sendiri dari Pak Kades kalau ada yang mengaku-ngaku dan membawa-bawa nama Pak Kades, jangan diladeni!”
“Memangnya kau siapa, hah?” Pak Dous menggeprak meja.
Suara tangisan Ribo terdengar dari dalam kamar. Ibeng Samson menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya keras mengepal. Ia memejamkan mata.
Dengan gerakan yang tidak dapat diprediksi, Ibeng Samson menyambar sebilah parang di dinding. Pak Dous dan seseorang yang mengaku sahabat terlambat menghindar. Dua kali tebasan di leher Pak Dous, cukup untuk merobohkannya. Seseorang yang “mengaku-ngaku” merangkak setelah parang mengoyak dadanya.
Peristiwa tragis itu niscaya terjadi seandainya bayangan sang ustad—sipir penjara–tidak hadir dalam benaknya. Juga latihan mengelola emosi yang telah dipelajarinya.
Ibeng Samson membuka mata. Bibirnya masih komat-kamit; melafalkan zikir dan ayat suci. Mantan preman itu melangkah menuju samping rumah tempat keran air, kemudian berwudu.
Ibeng Samson menutup pintu rumah setelah mempersilakan kedua tamunya pulang. Sungguh, ia ingin menenangkan diri untuk beberapa hari.
Pada sepertiga malam, Ibeng Samson melaksanakan salat. Malam itu begitu hening, seolah seluruh kehidupan berhenti. Di luar, langit malam bagai kanvas hitam yang ditaburi permata.
Dengan mata terpejam, Ibeng Samson meresapi kedamaian yang aneh dalam dirinya. Begitu sunyi. Namun, ada sesuatu. Entah apa itu. Dalam batinnya, ia seperti memasuki fase yang lain dari kesadarannya. Sebuah ketenangan yang menghanyutkan. Ia merasa seolah-olah melayang. Dalam “pandangannya”, ia melihat Ribo tersenyum kemudian berjalan meninggalkannya—menjauh; istrinya menangis, bersimpuh di kaki seseorang yang mengaku-ngaku sahabat; Pak Dous dan Pak Kepala Desa bergandengan tangan.
Pagi, ketika Ibeng Samson membuka mata, ia merasa menjadi manusia baru. Ia tak lagi diserang kekhawatiran-kekhawatiran yang mencuri kedamaian hatinya. Bahkan, ketika ia membuka lemari dan menyadari bahwa meteorit yang ia bungkus dengan kain sarung telah raib, ia tak terlalu memikirkannya. Atau ketika ia membuka pintu kamar, tak ada Ribo di sana; tidak jua ia temukan walau telah mencari ke seluruh sudut rumah. Tak ia dengar riuh rendah orang-orang yang ingin melihat meteorit di depan atau di dalam rumahnya, juga yang ingin berbisnis dengannya. Tak ada.
Ibeng Samson duduk. Mulutnya berzikir. Dipandanginya dinding di dapur. Tak ada parang tergantung di situ.
Gorontalo, 2022