Kematian
kematian adalah mengumpulkan rasa sedih setiap orang dalam satu ruang untuk merelakan kepergian
kematian membiarkan roh-roh menjadi angin-angin yang melewati pintu-pintumu, jendela-jendela rumahmu, dan bunga-bunga di pekaranganmu
kau akan tumbuh bersama kesedihan, duka, dan luka yang menyayatmu saat berita duka itu datang menghampiri
kematian pun akan kembali padamu, lalu menghisap seluruh sendi-sendimu
mungkin akan sakit bagai sengat suntikan atau sesakit kulit-kulitmu melepaskan dirinya, mungkin juga tidak–tidak sesakit apapun
kematian mungkin tidak memburumu, namun ia akan selalu mengintaimu
kematian adalah harapan besar untuk menuju kekekalan
Kepulangan Orang Mati
nenek dan kebayanya adalah tubuh yang tak mampu memisahkan diri
dari kulit-kulit keriput yang berjibaku menyerangnya di masa tua
setiap malam kulihat nenek dalam bayang-bayang kuning–menjelma menjadi hitam dan hendak membuka kelambuku di tengah malam itu
namun tiba-tiba ia menari dan membacakan elong-elong di depan mesin jahitnya
ia duduk disana,
disisirnya rambutnya yang panjang pekat,
sepanjang menyentuh lantai papan rumah
ia menyeru-nyeruku, namun tak bersuara
membuatku terjaga sepanjang malam
agar kubukakan pintu untuknya
Kabar Duka
aku teringat ketika kakek memanggil-manggilku sebelum kepulangannya
di malam hari, beliau menyebut-nyebut namaku,
namun tak ada yang tampak di bawah lampu
bagai angin yang menembus tengkuk
seakan ingin memberitahuku tentang ketiadaannya sesegera mungkin
ah, bukan!
bukan dia yang bersuara
halusinasilah yang sedang melandaku dalam insomnia yang menyerang
ketika ia berselimut dalam kelambunya yang menerawang,
saat ku hendak ke sekolah pagi itu
tak ada salaman
tak ada kecupan
tak ada senyuman
tak ada salam perpisahan
aku meninggalkannya dengan kekhawatiran yang kubawa di dalam tas sekolahku
sepulangku ada kabar duka membahana
Wanita Penunggu
paman berkata ada yang menungguku di belakang rumah
ingin diceritakannya suatu cerita padaku
namun aku tak sudi
“Perempuan berbaju merahkah?” tanyaku
hanya senyum—mencekam
menjelang fajar
kuberanikan diri menemuinya
ia tampak sakit, pucat, seperti dihampiri kelam setiap malam
saat ia mendekat dengan tergopoh-gopoh,
tanpa sadar ada sesuatu yang direnggut dariku
kemudian hari, aku jatuh sakit
Kematian Bapak
kematian Bapak yang tiba-tiba
membuatku terhenyak dalam pete-pete—saat hendak ke kampus
pagi itu tak mendung,
namun mataku berbinar-binar
ingin meluluh-lantahkan hujan
aku dan Bapak laksana air yang tak mampu berkawan dengan minyak
yang bahkan bila dimasukkan dalam kulkas pun—hanya dingin dan beku
tak ada percakapan di setiap pagi hari,
namun kata-kataku seakan-akan ingin meledak-ledakkan dirinya
ketika berita itu datang menjemput di waktu fajar
kata-katanya tak pernah menampakkan dirinya
namun aku rindu dengan suaranya yang bagai angin
kesalahan-kesalahannya menghilang bersama rohnya
yang damai pergi dari rumah
melewati jendela-jendela ruang tamu
kawan-kawan bertanya, ‘mengapa kau tak terisak-isak?’
aku hanya diam, sebab hatiku sudah terlalu sakit
Kuburan Kakek
aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya
air dalam cerek kami bawa dari perjalanan kota menuju kampung ini; Enrekeng
anak-anak sebayaku sudah mulai sibuk dengan handphone di genggamannya, sibuk mengurus istri dan anaknya, selebihnya keluar massompe entah dimana
aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya
menyiram setiap ujung-ujung usianya yang mulai layu dan semakin tua
ingin kuceritakan setiap detik yang kulalui di hidupku bahwa aku melewati banyak hal untuk bertumbuh
sedang dia tak mampu menceritakan padaku soal alam baka dan siksa kubur itu
aku pulang untuk memungut setiap taburan rinduku yang tersisa di setiap perjalanan pulang menuju ke sekolahku
hari itu aku mengunjugi kakek di rumahnya; di kuburannya
Glosarium
Elong : puisi dalam kesusastraan suku Bugis
Pete-pete : angkutan umum
Puang Matoa : Ketua para Bissu
Bissu : semacam pendeta kerohanian yang bersifat feminim dalam tradisi suku Bugis
Massompe’ : merantau