Duhai Hati yang Bergegas

Maqam Tuan

Bila kau sedih, Tuan
Langit mengulur jalan
Sebab suluh harus terbagi
Hingga jauh ke batas degup

Degup yang terus menua
Yang tandanya engkau perikan
Hingga kami mengenalnya
Menjadi bagiannya   

Bila kau sedih, Tuan
Ada jalan menuju asal
Asal segala yang tampak
Juga segala yang berkelindan
di balik tabir wasangka.

Maka turunlah ia yang diutus
Sebagai dulu menjumpaimu
Di ceruk, tempat ia menanam
pesan pertama: bacalah

Maka, setelah tetas
Segala tabik
Ia pun mengajakmu
Sebagaimana isi titah

Engkau, Tuan,
jika kesedihanmu
adalah pintu menatap Dia
Setinggi apakah, semurni apakah.

(2023)




Rengkuhan


Tidak, Tuan
Akulah yang mendapat
Engkau banyak jauh memberi
Lidahku asal berkata
Selalu luput mengenang engkau

Hatiku kembara warna 
Dunia kilau  

Dunia kilau di mana-mana
Dadaku, Tuan, dada melata

Merayapi apa saja
Menanjaki segala yang suluh

Sedang padamu
Bisa tabirku kosong
Hilang sebab engkau
Yang datang awal

Dan yang terus memikul tangis
“Amat berat
bagimu nestapa kami”.

Tidak, Tuan, akulah yang
mendapat, sepuluh dapatan
paling murni, seratus dapatan
paling murni, seribu….

Engkau memberi jauh, Tuan
Engkau memberi lipat.

Dalam ruang di balik ruang
Dalam hening di luar hening
Dalam pandang di balik pandang
Engkau bahkan merengkuh aku!

(2023)





Wanita yang Membakar Kebun


Duhai wanita yang membakar
Segala kebun
Agar kekasih luas jalannya
Hutang kami kepadamu
Hutang tak terbayar

Bila kami melihat langit
Langit mengenang   
namamu
Bila kami mengucap cinta
Cinta menunjuk parasmu

Yang tersembunyi
Jauh di balik segala nur
Duhai pemilik gema terompah
Duhai hati yang bergegas
membawa selimut
pada subuh yang menakutkan

Bila kami menawarkan
cinta pada kekasih
Tangan kami gemetar pohon
Gempa cintamu itu
Dahsyat tak terbilang

Hutang kami kepadamu, Ibu,
hutang tak terbayar. Tak
akan pernah terbayar.

(2023)





Hikayat Tali


Lalu ia adalah cahaya
Dan gerimis dibikin
Berjatuhan  
Sebagai kami yang lekas lupa

Kami menatap dinding purba
Tetapi di kedalaman ada juga
Gelombang memanggil-manggil
Rindu yang tak mengerti wujudnya

Hingga sampailah kami
pada sebuah malam
Dan kota tua dibangunkan oleh
Baju cahaya di atas langit

Ia pun memakai badan dan nama
Seperti yang telah dikisahkan
Dalam halaman-halaman perjanjian
Lalu disangkal dan kepadanya
Diacungkan segala lidah juga pedang

Kami yang jauh
Demi kami yang jauh.

(2023)





Segala Terang


Pada yang berlari di hutan entah
Ia berikan juga ingatan
Rumah yang sejak dulu ada
Bagi segala luput

Luput yang melesat dari tangan Wahsyi
Hingga terbelah dada syuhada 
Luput yang melesat dari kandang
Domba ingusan ingin mencintai bara

Pulang, ia memanggil pulang
Dengan luka sembarang gaman
Ia saja membentuk waktu
Mengisi ulang kering perigi
Dalam hati pecundang ini

Ia memeluk yang tak kuasa melihat
Luka sendiri betapa amis
Di depan cermin tiada aku
Hanya degup ingin berserah
Ingin berpeluk detak cahaya
Engkau pagi. Engkau malam.
Segala waktu adalah terang.

(2023)




Lembing Wahsyi


Matanya tak lagi menatap ia
Kekasih yang berpaling
Sebab jejak memikul luka
Wangi napas yang pernah tumpah

Di atas tubuhnya aku melesat
Membuat percik di atas waktu
Memanjang bagai malam 
Yang berbaris

Tirai segala jumpa
Dengan hati muasal kata
Badan bagi segala kun
Kun yang engkau. Kun yang aku

Mata itu tak pernah lupa
Kepada tiba yang mengakhiri
Pun kepada akhir yang kelak tiba
Di bagian entah danau kekasih
Di bagian entah memeluk ampun.

(2023)


Bagikan:

Penulis →

Didik Wahyudi

Lahir di Surabaya, Jawa Timur. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen dimuat di berbagai media lokal dan nasional di antaranya Majalah Kidung, Majalah Sastra Kalimas, Majalah Karas Balai Bahasa Jawa Tengah, Republika, Detik.com, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Kompas. Buku puisinya berjudul “Pelajaran Bertahan” (2019). Ia aktif di komunitas “Keluarga Padusan”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *