SAMPAI kapan manusia akan benar-benar bosan? Hingga kini tetap tidak ada yang tahu kapan pastinya. Ada sebagian orang yang dapat merasakan bosan itu dalam hitungan detik. Adapun sebagian yang lain tetap menjalani jalan Tuhan itu dengan bahagia. Dan percayakah kalian tentang anggapan seseorang yang jatuh cinta setiap harinya. Naif benar, memang.
Namun begitulah Toha, 60 tahun. Seorang pria paruh baya yang sangat mencintai kehidupan sederhananya. Tak peduli jika seluruh hidupnya dihabiskan di pulau kecil itu. Tidak pernah keluar sama sekali. Ia penganut setia kepercayaan jatuh cinta setiap hari. Begitulah katanya, ia jatuh hati setiap harinya kepada istrinya yang juga sudah tua, serta pekerjaan sederhananya, seorang tukang pos.
Lebih dari empat puluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai pria pengantar surat ataupun paket dari pulau seberang, tak pernah terniat baginya untuk berhenti. Meski tidak pernah mengalami kenaikan pangkat, Toha tetap semangat empat lima. Lagipula ia tidak memiliki kompetensi untuk duduk di balik meja kayu itu. Ia mencintai pekerjaannya lebih dari pekerjaan apapun. Pernah ada yang menyarankannya untuk berhenti dan pindah ke pulau lebih besar untuk membahagiakan istrinya tapi ia menolak. Lalu jika ada yang bertanya, kenapa bukan seseorang yang lebih muda saja megerjakan pekerjaan tersebut? Semua orang tahu jika satu pulau itu mencintai tukang pos tersebut, dan belum ada seseorang yang layak untuk menggantikannya.
“Aku tak terbayang saja bagaimana jika masyarakat di pulau ini tidak dapat surat dari handai taulannya lagi.”
Begitupun kepada Nurmiati, empat puluh tiga tahun ia hidup bersama wanita itu, tidak sekalipun ia merasa bosan. Empat puluh tiga tahun hanya hidup berdua tetap ia jalani dengan bahagia. Toha selalu bangga kepada istrinya, begitupun sebaliknya.
Pulau kecil itu tidak seprimitif yang kalian pikirkan. Tentu sudah banyak kantor berdiri di sana. Kontor camat, kantor lurah, kantor pos, kantor gadai, bahkan ada bank kecil untuk perkreditan rakyat. Jangan lupa dengan beberapa sekolah yang sudah ada di sana. Toko perabotan, toko kelontong, kedai-kedai yang menjual makanan, ataupun kedai yang hanya menyediakan kopi ataupun sarapan pagi.
Jika beberapa orang sudah merasa bosan bertahan di pulau itu dalam hitungan jam, maka Tohalah kebalikannya, tak pernah ia menemukan celah. Pulau itu adalah sesempurna anugerah Tuhan kepadanya. Maka setiap pagi dengan semangat ia mengengkol motor bututnya semua menjalankan pekerjaan mulianya. Tentu saja ditemai dengan secangkir teh manis dan goreng pisang buatan istrinya.
“Paket Pak Abdul kemarin sudah kau antarkan, Pak? Bisa panik dia kalau tanggal segini masih belum dapat paketan dari anaknya,” ujar Nurmi.
“Tentu sudah, Mi. Tak baik menyimpan amanah orang berlama-lama. Setiap surat dan paket harus diberikan kepada pemiliknya.”
“Oh iya, Pak. Sampaikan surat ini kepada Mira,” Nurmi mengeluarkan surat yang ditulisnya semalam. Surat untuk teman lamanya di seberang sana.
“Beruntung sekali temanmu ini, setiap bulan mendapat surat. Aku yang sudah lebih empat puluh tahun bekerja ini tidak pernah mendapat surat untuk diriku sendiri.”
“Hahaha, siapa yang akan mengirimimu surat, Pak? Makanya carilah teman penamu, Pak.”
“Ah, sudahlah. Melihat orang-orang bahagia menerima suratnya pun aku sudah bahagia.”
“Kebahagiaan ketika menerima surat itu sangat luar biasa, Pak. Mungkin Tuhan pikir kau belum cukup kuat untuk itu,” Nurmi memang senang menggoda suaminya itu. Toha iya-iya saja, ia maklum dengan istrinya yang hobi berkelakar itu.
Pagi itu begitu indah hingga tak sadar jika esoknya satu dari bahagia Toha terenggut. Esoknya Nurmi tidak lagi bisa mengantarkan Toha ke depan pintu bersamaan dengan kelakarnya. Esok harinya ia terbaring lemas di atas ranjang. Dan dengan sekuat tenaga ia menampilkan senyumnya untuk mengantar suaminya pergi bekerja. Kali pertama Toha merasa was-was ketika bekerja.
Dan siapa sangka malapetaka itu datang berbondong-bondong. Nurmi tak kunjung sembuh. Tak ada yang tahu apa penyakitnya. Ia pun semakin lemah. Namun tetap saja ia mengusahakan senyumannya untuk mengatakan suaminya yang ingin melakukan tugas mulianya. Sore itu ketika hampir genap satu tahun penyakit menyambanginya, ketika langit mulai jingga, Nurmi pergi. Lebih dahulu dijemput Sang Pencipta, dan benar-benar meninggalkan Toha.
Dengan sekuat tenaga Toha mengantarkan surat terakhirnya itu setelah mendapatkan kabar istrinya telah tiada. Pun ia menghaturkan banyak maaf karena harus segera pulang karena istrinya sudah menunggu di rumah. Sore itu seluruh kebahagiaan Toha meluruh.
Tak pernah ia menyangka akan seperti ini rasanya kehilangan separuh jiwanya. Berhari-hari setelah kembali dari pemakaman istrinya Toha mengurung diri di rumah seorang diri. Pertama kalinya ia benar-benar tidak memiliki minat akan pekerjaannya lagi. Bukan, ia tidak bosan sama sekali. Hanya saja ia merasa hampa hingga tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Kembalilah, Pak Cik,” ujar Mira ketika berkunjung. Namun Toha diam saja. Ia tak tahu harus berbuat apa setelah Nurmi pergi tanpa pamit kepadanya.
Untuk pertama kalinya masyarakat di pulau itu tak lagi menerima surat atau paket seminggu penuh. Semua orang benar-benar kehilangan Pak Pos itu. Berhari-hari tiada surat yang diantarkan. Berhari-hari tak ada paket yang diantarkan. Hingga di hari keempat belas, Mira pun memasang iklanDibuka lowongan tukang pos di kaca kantor pos tempat ia bekerja.
Tepat setelah Mira menempel iklan tersebut Toha datang lengkap dengan seragam tukang posnya beserta jaket parasut yang beberapa tahun lalu diberikan Nurmi untuknya dan tak tinggal motor tua butut yang masih menguatkan diri menemaninya mengirimkan surat beserta paket untuk orang-orang. Oh, jangan lupa senyumnya yang tak pernah luntur selama ia bekerja di sana. Tukang pos itu kembali. Segera Mira mencabut pengumuman yang baru saja ia tempel. Ia bahagia sekali.
Sambil membendung air matanya Mira memberikan tas besar yang berisi surat dan paket yang selalu dibawa Toha selama ini.
“Selamat datang, Pak Cik.”
Toha tersenyum. Setelah ia menghela napas, menguatkan diri. Ia kembali menjadi Toha si tukang pos. Ia memandang surat pertama yang harus ia antarkan. Bersamaan dengan senyumnya ia kembali.
Hari itu para penduduk bersuka cita karena Pak Pos yang mereka cintai telah kembali. Tidak asal lagi surat-surat yang terbengkalai. Tidak ada lagi paket yang bermenung di kantor pos karena tak kunjung diantarkan kepada pemiliknya. Semua amanah telah dikirimkan.
Ibu-ibu berurai air mata, bahagia mendapat kabar dari anaknya yang berkuliah di pulau Jawa. Nenek dan kakek tersenyum senang karena akhirnya mendapatkan cucu gembul lagi. Bapak pun tak kalah senang, untuk kesekian kalinya puteranya mengirimkan duit kepadanya. Hari itu Toha ikut bahagia karena orang-orang bahagia mendapat surat dari orang yang dicintanya.
Setelah semua surat dan paket ia kirimkan, Toha membawa tas hitam yang sudah kosong itu kepada Mira. Ia berharap masih banyak surat yang dapat ia kirimkan besok.
“Tunggu, Pak Cik! Ini ada surat buat Pak Cik,” Mira mengulurkan sebuah amplop.
“Siapa pula yang hendak mengirimkan surat untukku, Mir? Kau pastikan lagi namanya.”
“Benar. Ini surat buat Pak Cik.”
Dengan hati-hati Toha membaca nama yang tertera di amplop. Benar, itu benar surat untuknya. Sebuah rasa menyelinap. Debar jantungnya bertambah cepat membawa hormon bahagianya yang kian membuncah. Tangannya bergetar hebat sampai-sampai ia harus meninggalkan motor bututnya agar nanti tidak nyungsep selokan karena saking bergetar hebat tangannya.
Nurmi benar, ia tidak cukup kuat untuk rasa bahagia yang amat luar biasa itu.
Hingga setelah menutup rapat pintu rumahnya, barulah Toha membuka amplop tersebut. Sekali lagi ia memperhatikan nama yang tertera di sana, ia sangat benci surat yang salah kirim. Benar. Surat ini benar untuknya.
Setelah membuka segel amplop tersebut, Toha memandang sepucuk surat di dalam sana. Jantungnya kembali berdebar. Perlahan ia membuka lipatan surat tersebut.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatu.
Semoga engkau baik-baik saja, Pak. Aku harap engkau bahagia karena akhirnya ada yang mengirimimu surat. Aku ikut bahagia. Biar kutebak, pasti tanganmu tak berhenti bergetar sedari tadi.
Maafkan aku, Pak. Puluhan tahun hidup bersama aku tak kunjung memberikan bahagia untukmu. Tak pernah sekalipun kita mendapat kabar perihal putera-puteri lucu untuk teman hidup kita. Maafkan aku yang tetap membuat hidupmu sepi, Pak. Maafkan aku jika selama ini hanya menjadi beban, bukan wanita kuat yang mampu menjadi sandaran. Maafkan segala kelemahanku.
Tahukah engkau, Pak. Kesalahan pengiriman surat yang terjadi dahulu adalah kejadian yang paling kusyukuri. Karena itu, kita bisa bertemu dua kali. Andai saja kau tidak salah mengirimkan surat saat itu, mungkin tidak akan ada pertemuan selanjutnya, mungkin kita tidak akan bersama.
Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan dengan pria luar biasa sepertimu. Aku sungguh bersyukur kepada Allah karena memberikan puluhan tahunku bersamamu. Tak pernah kusesali hidupku barang sehari.
Aku bukanlah perempuan yang pandai membuat surat cinta. Tapi kuharap engkau bahagia. Kuharap engkau selalu bahagia.
Teruslah semangat mengantarkan surat kepada mereka di luar sana. Engkau Pak Pos terbaik dunia.
Semangat, Pak Pos.
Wassalamu’alaikum
Yang terkasih dan selalu mencintaimu tiada henti
Nurmiati
Toha terisak hebat. Sore itu langit jingga menjadi saksi mengapa tak seharusnya tukang pos juga mendapat sepucuk surat.