Suara Minangkabau dalam Catatan Demonstran yang Tak Mau Padam


SUMATERA Barat tidak pernah kehilangan tokoh yang mampu menginspirasi Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut menjadi sungai yang terus mengalirkan derasnya ilmu untuk kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satu tokoh yang berasal dari ranah minang yang menjadi arus kuat dalam membangun sastra Indonesia adalah Taufiq Ismail. Tokoh yang memiliki legasi atas karya-karya yang mewacanakan suara kritis serta eksplorasi kearifan lokal dalam karyanya. Saya membaginya menjadi dua ciri khas yang sebenarnya adalah jati diri dari Taufiq Ismail.

Berbicara tentang suara kritis, puisi-puisinya yang terus menentang hegemoni dan tiran kekuasaan yang semena-mena membuatnya harus hidup beberapa tahun di penjara. Tidak hanya satu atau dua puisi, tapi puluhan puisi telah hadir dalam dinamika sepak terjangnya melawan penindasan dan kezaliman di negeri ini. Puisi-puisi tersebut telah berubah menjadi senjata yang mengeluarkan peluru kata-kata. Puisinya menjadi simbol perlawanan penting dalam proses pasang surut politik di negeri ini. Taufiq mengemasnya dengan puisi-puisi tajam dan mengena siapapun. Ia tak mengenal suku, agama dan ras dalam menuliskan puisinya. Baginya kemanusiaan adalah terpenting di atas segalanya. Manusia yang tercipta sebagai makhluk Tuhan dan berhak mendapatkan keadilan bagi kehidupannya di dunia.

Taufiq sebagai seorang putra asli Minangkabau selalu mengaitkan puisi-puisinya dengan kearifan lokal. Ia kemas puisi dengan ornamen-ornamen kebudayaan yang hidup berabad lamanya sebagai warisan kehidupan masyarakat Minangkabau. Garis keturunan matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau secara langsung mempengaruhi puisi-puisinya. Perempuan acap kali menjadi objek puisinya. Perempuan digambarkan sebagai seorang makhluk suci yang mulia dan telah mendapatkan kodrat sebagai pengasuh anak-anak yang sukses di masa depan. Minangkabau sangat lekat dalam permainan puisi-puisinya. Kata-kata serta keindahan alam Sumatra Barat selalu masuk untuk menjadi metafora.

Puisi pertama yang perlu dibahas adalah sebuah puisi dengan judul Potret di Beranda dari Buku Tirani dan Benteng yang diterbitkan tahun 1966 oleh Yayasan Ananda Jakarta.

Potret di Beranda

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru

Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru

Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.

1963

Puisi Potret di Beranda adalah sebuah puisi kenangan tentang kampung halaman. Puisi ini hadir sebagai monumen ingatan Taufiq menyelami tanah kelahirannya. Sumatera Barat yang merupakan salah satu provinsi dengan kekayaan alam berlimpah. Provinsi satu-satunya yang pernah menjadi ibukota negara di Pulau Sumatera. Sumatera Barat adalah separuh diri dari Taufiq. Ia kerap menggenangkan air matanya mengingat tanah kelahirannya meski ia sendiri dibesarkan di Pekalongan. Potret di Beranda merupakan ingatan-ingatan masa kecil yang terus berulang hingga dewasa. Hiasan-hiasan dinding yang jadi saksi sejarah.

Pada bait pertama puisi ini mengajak pembaca untuk berangkat ke sebuah tempat. Latar tersebut digambarkan dengan sebuah nama desa Baruh. Rumah neneknya di Baruh adalah sebuah latar utama yang menjadi isi puisi. Sementara sudut pandang penulis menikmati puisi ini dari sebuah beranda. Seperti yang kita ketahui bersama, penggunaan kata beranda dalam puisi tentu menghadirkan suasana rumah yang nyaman. Beranda yang dipilih Taufiq merupakan diksi yang nyaman bagi telinga masyarakat awam. Beranda sebagai halaman muka dari berkumpulnya orang-orang membicarakan kegelisahan dan kegundahan. Beranda adalah tempat yang nyaman bagi keluarga untuk ngobrol ngalor ngidul. Namun, beranda adalah tempat paling baik untuk menerawang masa silam. Itulah agaknya yang diinginkan Taufiq untuk mengemas kenangan.

Pada bait ini juga coba menunjukkan waktu yang berjalan begitu cepat. Perjalanan 26 tahun bagi sebuah beranda rumah nenek untuk memajang foto cucunya.  Kilasan waktu yang cukup lama tersebut cukup untuk mengasosiasikan bahwa ini adalah kunjungan penulis ke rumah tersebut setelah bertahun-tahun lamanya. Apa yang telah lama tidak dikunjungi manusia sementara tempat itu menyimpan memorabilia kehidupan kita tentu sangat menyentuh hati. Begitulah empirisme Taufiq ketika menggambarkan bait pertama dengan fotonya yang tetap tergantung di beranda rumah neneknya, bersanding pula dengan hasil sulaman-sulaman Ibunya.

Bait ini juga menunjukkan Ibunya yang menjadi perempuan Baruh. Gadih Minangkabau yang pandai menyulam. Moleknya sulaman anak gadih bersanding dengan foto anaknya. Penekanan ketika ia masih perawan atau masih gadih menjadi penting bahwa kegemaran dan hobi perempuan. Di kampung, rumah-rumah selalu memajang sesuatu yang dibanggakan di dinding atau bergantung di satu tempat. Taufiq menggambarkan kerinduan neneknya terhadapnya beserta Ibunya dalam keheningan beranda.

Dalam titimangsa penulisan puisi 1963 jika ditarik ke usia Taufiq saat itu berarti bisa dikatakan saat itu beliau berusia sekitar 27 atau 28 tahun, dan benar saja usia gantungan fotonya telah 26 tahun. Pertemuan dengan neneknya pada bait kedua dijelaskan dengan diksi renta. Puisi ini terbit dengan deskripsi yang apik tentang dapur. Nenek renta dipadankan dengan dapur tempat ia bertungkus lumus memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Dapur adalah episentrum dari sebuah rumah. Dari sana mengalir energi yang mengisi tubuh anak-anaknya.

Tanduk kerbau berwarna hitam sebagai ciri orang Minangkabau disimpan rapi di dapur. Tanduk kerbau yang telah diawetkan itu jadi simbol kebudayaan. Etnografis lekat dalam puisi ini. Historikal kebudayaan masyarakatnya ditunjukkan lewat simbol kakek yang menyimpan tanduk kerbau bajaknya. Minangkabau adalah sawah yang membentang. Tergurat makna bahwa orang kampungnya, atau kebanyakan masyarakat Baruh bekerja sebagai petani. Membaca simbol-simbol dalam puisi memerlukan kedekatan emosional dengan etnografis daerah Sumatera Barat.

Kerupuk kulit atau jangek telah menjadi komoditas dagang selain bertani. Kerupuk kulit kerbau itu dijemur hingga rapuh lalu digoreng. Taufiq coba menunjukkan betapa gigih dan mulianya orang tua (baca: neneknya) yang menyekolahkan ibunya dari hasil menjual jangek. Masyarakat Minangkabau yang notabene secara turun temurun berdagang, juga diselipkan dalam puisi ini. Manggaleh adalah atribut yang lekat dengan orang Minangkabau. Tak pelak dengan kakek dan neneknya saling silang dalam berdagang. Satunya sebagai Induak Bareh sekaligus mengolah Jangek sementara kakeknya dalam kalimat perincian padi, lobak dan kentang yang disulap subur.  Kata disulap adalah metafora atas kerja keras dan mahirnya kakek bercocok tanam. Memilih kata sulap tentu berkutat dengan dimensi waktu dan bentuk. Kakek memanggul hasil ”sulap” berupa komoditas pertanian utama masyarakat Baruh untuk dijual ke pasar. Kekuatan dan keinginan kedua orang tuanya untuk menyekolahkan anaknya menjadi guru. Cita-cita mulia yang dikenalkan lewat carito lapau kalau guru adalah pekerjaan paling mula. Taufiq menyematkan profesi guru sebagai buah kerja keras semenjak ditulis pada 1963 dan bayangkan kini telah jutaan anak menjadi guru. Cita-cita mulia asal tidak seperti orang tuanya yang pergi subuh pulang petang. Taufiq mengemas cita-cita anak kampung dalam puisi ini.

Dalam larik “Dan ibuku bertemu ayahku, Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu” menunjukkan bahwa pertemuan hati yang suci justru di tempat yang suci. Istilah menyabit dari kata dasar sabit dituliskan sebagai bentuk verba subtitusi atas mengambil, memetik, atau memotong untuk diambil ilmunya. Masyarakat Minangkabau terkenal dengan sebuah jargon yaitu rantau, surau dan lapau. Penggunaan surau menunjukkan bahwa Minangkabau tegak dengan syariat islam. Masyarakatnya memiliki habit untuk ke surau. Core values dari pergi ke surau tentu menunjukkan bahwa laki-laki adalah pimpinan atau imam. Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. Sebagai seorang muslim simbol ini tentu menunjukkan wajah Minangkabau yang agamis.

Pada larik ini juga disebutkan narasi kalimat “Di ujung cangkul kakekku kukuh, Yang kembang dan berisi dalam rahmat, Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan” yang mengasosiasikan kerja keras. Repetisi terbungkuk-bungkuk menjadi menarik karena menunjukkan kerja keras seseorang untuk anaknya yang juga ingin menjadi guru. Ayah dan Ibu Taufiq menjadi guru dan punya orang tua yang memiliki etos kerja tinggi.

Paling menarik dalam puisi ini penggunaan rima akhir yang sama dalam petikan larik “Maka lahirlah kami berenam, Dalam rahman, Dalam kesayangan, Dalam kesukaran”. Rahman dalam bahasa arab berarti Maha Pemurah. Sifat yang dimiliki Tuhan dalam Asma Ul Husna atau 99 nama Allah. Begitulah kekuatan puisi ini menunjukkan sisi ketuhanan yang memiliki andil atas semua yang terjadi. Pembacaan dengan rima akhir yang sama menjadikan puisi ini semakin syahdu. Diksi kesayangan dan kesukaran pun disandingkan meski dua hal ini berbeda. Ini menunjukkan logika takdir yang mesti dijalani dengan kerendahan hati. Keluarga yang melahirkan enam anak termasuk Taufiq ini menjadi puisi yang syahdu. Puisi singkat namun punya historikal waktu kausalitas. Sebab menjadi guru hari ini bukan tanpa keringat dan kerja keras. 

Taufiq menutupnya kembali dengan mengulang seperti bait pertama namun dengan permainan mengubah posisi kata sulam menjadi buat dan sebaliknya. Penguatan pada bagian akhir puisi ini menunjukkan sebuah potret kehidupan di desa Baruh dengan titimangsa 1963. Masa dimana kota penuh dengan pergolakan serta masyarakat yang urban. Namun, kampung atau desa menjadi pemandangan yang menyejukkan. Sejatinya puisi ini adalah romansa Taufiq dalam mengenang perjuangan untuk mencapai pendidikan yang lebih  baik. Orang kampung yang terus menggesa mimpi-mimpinya lewat bunyi berisik menggoreng jangek di dapur atau keringat lelaki yang sejak subuh sudah berangkat ke pasar menggendong hasil pertaniannya. Taufiq barangkali rindu dengan suasana itu sehingga ia turun ke dalam genangan kenangan yang masih terlihat jelas.

Dalam puisi ini metafora dan simbolik menjadi kekuatan penting disamping larik-larik deskriptif yang panjang. Puisi ini memiliki makna yang cukup banyak. Ia masuk pada ranah kebudayaan, etnografis, serta ketuhanan. Andai pembaca merenungkan puisi ini, maka setiap pembaca akan langsung menerbangkan ingatannya pada kampung. Setiap manusia di kota berasal dari kampung atau desa. Kemampuan mereka berdialektika di kota adalah bentukan dari jerih payah orang-orang di desa. Sebagai daerah penyangga pangan, desa adalah tubuh dari sebuah kota. Barangkali Taufiq juga mengajak kita untuk baliak kampuang. Di sisi lain, puisi ini perlu menggarisbawahi larik “Dibuatnya tatkala masih perawan” yang ditulis pada bait awal dan akhir puisi. Sejatinya kata “Perawan” dalam puisi tetap masih dalam leksikal yang bisa dinalar, namun jika melihat titimangsa 1963 kata tersebut memang sering diucapkan dan bukanlah hal yang tabu. Namun, perkembangan kosakata dan makna jika membaca puisi ini pada tahun 2023, dimana telah berselang 60 tahun tentu kata perawan dahulu berbeda dengan sekarang. Meskipun itu memiliki makna sama namun rasa yang muncul sudah berbeda. Sejatinya seorang pembaca harus bisa secara jernih membaca sebuah puisi dengan melihat historical serta unsur ekstrinsik pada masa itu, begitulah gunanya sebuah titimangsa untuk mengetahui lebih dalam zaman lahirnya sebuah puisi.


Demonstran yang Tak Pernah Padam: Nukilan 1966

Membaca buku Tirani dan Benteng yang terbit 1966 membawa kita masuk dalam hegemoni peralihan kekuasaan dengan segala dinamikanya. Peralihan antara orde lama dengan orde baru namun penuh dengan tangis, darah dan peluru. Demonstrasi oleh mahasiswa yang menolak segala bentuk kekuasaan seumur hidup. Merebaknya isu-isu komunisme juga menjadi corong dari perlawanan mahasiswa saat itu. Taufiq ambil peran dalam momen itu. Ia menetaskan puisi-puisi perjuangan dan merekam kejadian kala itu. Mahasiswa punya peran penting dalam menumbangkan orde lama.   

Dalam Riffaterre (1978:166) berbunyi “This seesawing from one sign value to the other, this alternating appearance and dissappearance of significance, both in spite and because of unacceptable features on the plane of mimetic meaning is a kind of semiotic circularity characterizting the practice of signification known as poetry” dimana artinya mundur-maju ini, dari nilai tanda yang satu ke nilai yang lain muncul-hilangnya makna yang berganti-ganti, baik walaupun ada maupun karena ada ciri-ciri di tataran arti yang tak terterima merupakan semacam lingkaran semiotic, yang khas untuk praktik pengertian yang disebut puisi. Dalam hal ini Taufiq selalu bermain dengan tanda-tanda dalam puisinya. Puisi yang ia tuliskan mengeksplorasi makna-makna yang muncul sebagai kekuatan sebuah puisi. Nilai tanda ini

Mengutip puisi Taufiq Ismail yang dituliskan masih dalam buku yang sama yaitu Buku Tirani dan Benteng yang diterbitkan tahun 1966 oleh Yayasan Ananda Jakarta.

Dari Ibu Seorang Demonstran

“Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sesaat)

Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kauteriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul kita yang tercinta

Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini.

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).

1966

Puisi ini adalah gambaran jiwa Taufiq Ismail muda. Ia adalah demonstran yang tak pernah padam meski maut merenggut. Dalam puisi ini dengan mengalir ia sampaikan bagaimana situasi dan kondisi jiwa demonstran yang kalut untuk meninggalkan keluarga tanpa tahu akan bisa kembali pulang atau tidak. Medan demonstrasi adalah medan laga pikir dan tak menutup kemungkinan laga fisik. Demonstran yang mengeluarkan kegelisahan dan teriak susahnya kehidupan masyarakat. Mereka adalah suara rakyat yang benar-benar suci.

Dalam puisi ini tiga tokoh digambarkan sebagai bagian dari anak-anak pemberani yang ikut demonstrasi. Puisi menggambarkan sebuah kepiluan tentang bagaimana aparat keamanan dalam hal ini yang berhubungan dengan pemerintah kala itu bertindak represif.

mereka tidak menggunakan gada

Atau gas airmata

Tapi langsung peluru tajam

Pada larik ini ada sebuah banteng yang anti diinterupsi. Mereka berlindung di balik moncong senjata yang siap menembakkan peluru ke tubuh rakyatnya sendiri. Peluru yang dibeli dari pajak yang dibayar rakyatnya sendiri namun ditodongkan pula ke rakyat tersebut. Kejadian ini telah berulang dengan penegasan larik “Ayah kalian almarhum, delapan belas tahun yang lalu”. Kejadian ini seperti dejavu yang terus hadir di pikiran Ibunya. Maka larik awal dibuka dengan kata rela. Sungguh diksi “rela” adalah sesuatu yang berat untuk diikhlaskan. Rela berarti siap berkorban dan menerima segala risikonya. Membuka puisi ini dengan perasaan seorang janda yang kini merelakan anaknya untuk berangkat ke medan demonstrasi adalah sebuah spectacle pembuka puisi yang dahsyat.

Kembali perempuan dalam hal ini Ibu sebagai sudut pandang dalam menuliskan puisinya. Perasaan nadir yang dimiliki seorang Ibu dinarasikan dengan detil oleh Taufiq. Begitu pula ketika membaca larik tentang kerelaan yang kembali diulang.

Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kauteriakkan kebencian
Atau dendam kesumat

Sungguh untuk menikmati puisi ini kita harus membelah hati seorang Ibu. Melihat bagaimana luasnya samudera hati yang merelakan anaknya untuk tidak bersumpah serapah atau benci pada mereka yang andai saja menembakkan peluru ke tubuh mereka. Ibu adalah ayunan kesucian yang meninabobokkan bocahnya. Dalam mengayun anaknya ia akan selalu memberikan nasihat dan petuah. Kiranya dalam demontrasi ini Iwan, Ida dan Hadi menerima apa yang ibunya sampaikan.

Puisi ini menempatkan hati sebagai pelita paling bersinar. Lalu Taufiq menyandingkannya dengan unsur religi yang selalu menjadi ciri khas puisi-puisinya. Bagaimana keikhlasan dan kerelaan di dunia ini hanya untuk yang satu. Dalam larik “Niatkanlah menegakkan kalimah Allah” jelas bahwa ia ingin menunjukkan janganlah berpaling pada siapapun, takut pada apapun, namun hanya kepada Allah. Begitulah kekuatan puisi yang dituliskan Taufiq selalu menyelipkan amanat religius. Penting kiranya bahwa setiap gerakan dan ucapan serta tindak tanduk di dunia menjadi hal yang tak terpisahkan dari ketuhanan.

            Iwan, Ida dan Hadi merupakan simbol demonstran yang suci. Ia mendapatkan restu dan kerelaan dalam memperjuangkan suara rakyat. Puisi ini adalah bukti nyata dan konkret betapa buruknya penanganan demonstrasi di Indonesia masa itu. Mungkin bukan hanya di masa itu, hingga beberapa tahun terakhir pun masih muncul korban-korban dari adik-adik mahasiswa yang berjatuhan. Kerelaan Ibu yang lebih mementingkan tuntutan menyempurnakan kemerdekaan di negeri ini membuat ia mengalah dengan maut. Bahkan ia telah merelakan setiap yang pergi belum tentu pulang.

Taufiq membeberkan masalah yang kusut di negeri ini. Ia pantulkan cermin lewat doa seorang Ibu. Lewat kegelisahan yang datang dari raut wajahnya, nasihatnya dan gerak geriknya. Kecerdasan Taufiq menunjukkan hal ini berkesesuaian dengan teks-teks puisi sebelumnya yang juga mengangkat tentang kematian dalam demonstrasi. Banyak puisi yang termaktub dalam buku Tirani dan Benteng yang mengangkat kisah-kisah demonstrasi mahasiswa. Hal ini berkaitan dengan pendapat Culler (1975:139) yang menjelaskan “every text takes shape as a mosaic of citations, every text is the absorption and transformation of other texts” artinya setiap teks  terwujud sebagai mosaic kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain.

Teks puisi yang dibangun berdiri atas apa yang ia resap dari teks-teks lain yang berkait kelindan. Perenungan dan proses empirisme juga merupakan teks yang sahih dan diangkat menjadi sumber tulisan Taufiq. Sejatinya kekuatan itulah yang membangun puisi “Dari Ibu Seorang Demonstran” menekukkan kepala kita lalu berlinang air mata bahwa banyak fakta sejarah telah ratusan Ibu kehilangan anaknya di medan demonstrasi.

Dunia terus berjalan sementara doa Ibu terus melangit. Begitulah kiranya yang ingin Taufiq jelaskan lewat puisi ini. Sosok Iwan, Ida dan Hadi yang muncul di akhir puisi menunjukkan betapa tidak hanya anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan penanganan demonstrasi tapi juga anak perempuan. Demonstrasi adalah hak menyuarakan pendapat. Setiap warga negara merdeka berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya sesuai dengan UUD 1945 pasal 28.

Larik-larik dalam puisi ini memang sangat syahdu. Namun ada, catatan penting dalam puisi ini yang menjadi sorotan yaitu penggunaan kurung seperti sebuah petunjuk lakuan dalam drama atau kramagung. Penjelasan situasi dan kondisi ini menjadi cukup sulit dicerna namun jika dibaca terintegrasi dengan yang tidak masuk dalam tanda kurung justru akan membuat puisi ini semakin memiliki ruh. Selain itu, puisi ini menjadi sebuah puisi monumental yang mengukuhkan posisi Ibu sebagai rahim manusia. Disanalah tempat berasal dan bermula ruh itu dititipkan.

Puisi pada akhirnya adalah jalan hidup yang dipilih oleh Taufiq Ismail. Keberadaan dan kekuatannya menuliskan puisi merespon apa yang hadir dekat dengan lingkungannya. Ia berangkat dari tanah Minangkabau untuk menjadi demonstran yang tak pernah padam. Puisi baginya adalah jalan protes atas ketidakadilan, kezaliman serta kenangan-kenangan yang tak terlupakan. Ia jadikan puisi sebagai senjata kata-kata untuk menolak hegemoni yang semena-mena. Anak jati Minangkabau ini telah menjadikan puisi sebagai ruang renungnya untuk melawan praktik oligarki yang bergulir dari masa orde lama dan orde baru, bahkan hingga kini setelah reformasi. Ia adalah penyair yang hidup dari seluruh zaman selepas negeri ini merdeka. Tatapannya masih tajam, tangannya masih menulis tentang perlawanan, hatinya selalu bertaut pada Tuhan.

Dua puisi di atas merupakan arus dominan dalam tubuh penyair ini. Ia berdarah Minangkabau. Setiap langkah dan dengus nafasnya selalu berpedoman pada Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. Tidak ada yang perlu disangsikan dalam perjalanannya merongrong kekuasaan yang semena-mena, bahkan ia sempat dibui berkat konsistensinya dalam melawan tiran. Puisi-puisi di atas adalah keresahan dan kegelisahan penyair ini. Semakin ia berisi semakin ia merunduk. Semakin menua, semakin tawadduk. Begitulah Indonesia memiliki penyair yang memiliki gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Ia adalah suara Minangkabau yang tak mau padam mencari keadilan. Tabik.

Referensi
Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics. Structralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge and Kegan Paul.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press

Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda


Bagikan:

Penulis →

Rian Kurniawan

Rian Kurniawan, M.Pd. merupakan Ketua Jaringan Teater Riau (2022-2024) dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Pekanbaru (2020-2025). Buku tunggalnya Novel Kelambu Waktu (2020) dan Kumpulan Cerpen Api Rimba (2022). Menulis cerpen, puisi, naskah drama dan esai yang dimuat di koran serta situs sastra lokal dan nasional. Tahun 2023 mendapatkan penghargaan terbaik 1 (cerpen nasional umum UNS Solo), terbaik 2 (esai SCB Unilak), terbaik 2 (esai Perpusnas Riau), terbaik 3 (naskah drama FSSJ Siak), terbaik 1 (puisi umum nasional UNSRI Palembang), Harapan 2 (cerpen nasional Kamarsastra.com).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *