“Aku berhasil mengantongi coklat, minuman sachet, dan sabun batang. Lumayan kan, Lih? Hehehe….”
“Aku mengambil Tip-Ex.”
“Hah? Buat apa?”
“Buat cucuku. Dia butuh untuk keperluan sekolah.”
“Oala. Tapi kamu cuma mengambil satu macam barang saja, Lih? Aku lho, bisa mengantongi tiga jenis barang.”
“Aku takut ketahuan, Sih.”
“Ah, selama ini kan kita tidak pernah ketahuan, Lih.”
Marlih mendesah. Akhir-akhir ini hatinya merasa tidak nyaman kalau mencuri di toko swalayan. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun. Setiap hari Minggu rajin beribadah di gereja pula. Malu rasanya rutin hadir di rumah Tuhan, berdoa dan mengumandangkan pujian-pujian, tapi tangan tua renta ini masih suka mengutil di supermarket.
Wanita tua yang tubuhnya sudah agak bungkuk dan jalannya tertatih-tatih itu sebenarnya sudah lama ingin berhenti melakukan perbuatan tak terpuji itu. Malu pada Tuhan, dirinya sendiri, dan anak cucunya kalau sampai ketahuan. Tapi kakak kembar Marsih itu tak kuasa menolak ajakan adiknya setiap kali pergi ke supermarket.
“Ayolah, Lih. Kita ini sudah melakukannya selama puluhan tahun dan tak pernah ketahuan. Apa yang kamu takutkan? Siapa yang akan menyangka dua nenek tua yang rambutnya sudah memutih dan berjalan pelan-pelan ini ternyata mengambil barang di supermarket? Pakai taktik yang biasanya kan jitu sekali, Lih. Beberapa barang kita bayar di kasir. Takkan ada yang menyangka di dalam saku celana ini ada barang lain.”
“Kita ini kan sudah tua, Sih. Dan hidup berkecukupan pula. Tuhan sudah sangat memberkati hidup kita meskipun beberapa kali sempat terjadi pasang surut. Aku merasa malu masih mencuri di supermarket.”
“Hush! Siapa bilang kita mencuri. Tak ada yang dirugikan dalam hal ini. Kita tetap membeli barang-barang supermarket. Terus kita ambil sedikit barang lainnya. Jadi mereka tidak rugi. Cuma keuntungannya berkurang saja. Ayolah, Marlih. Masa sih, kamu tak ingin merasakan petualangan seperti waktu kita masih muda dulu? Rasa kemenangannya itu lho, kan menyenangkan sekali. Meskipun kita sebenarnya mampu membeli barang-barang itu, tapi kalau berhasil mengakali pegawai toko kan rasanya hepi.”
Marlih galau. Ada kalanya dia tak menyukai saudara kembarnya ini. Sepertinya Marsih tak pernah puas mengakali orang lain. Padahal belum tentu barang-barang yang diambilnya tanpa sepengetahuan pegawai toko itu akan dipakainya sendiri. Tak jarang malah diberikan pada orang lain yang dipikirnya membutuhkan.
Marsih sebenarnya kerap tak membutuhkan barang-barang yang dicurinya. Hatinya saja yang sering tergoda mengambil benda-benda yang bukan miliknya. Perasaannya diliputi kemenangan yang membuat hidup lebih bergairah karena berhasil mengibuli orang lain.
Marlih sebenarnya juga menikmati petualangan-petualangan jailnya bersama Marsih. Mereka adalah saudara kembar, punya ikatan batin yang kuat. Kalau salah seorang di antara mereka sakit, yang lainnya akan merasa tidak enak badan juga. Demikian pula kalau ada yang dilanda kesedihan luar biasa, yang lain akan merasa hatinya tidak nyaman.
Mereka juga sahabat baik. Marsih yang tomboy sejak mudasering mengajak Marlih melakukan perbuatan nekat. Misalnya menghadiri jamuan perkawinan, padahal mereka sama sekali tak mengenal pasangan yang menikah. Dengan penuh percaya diri, sepasang saudara kembar itu berdandan secantik mungkin dan berpura-pura sebagai tamu yang diundang di jamuan tersebut.
Keberhasilan pertama membuat kedua perempuan itu ketagihan melakukannya secara terus-menerus. Hingga akhirnya Marlih menikah, kebiasaan itu terhenti. Dia tak bisa sembarangan keluar di malam hari tanpa suami. Lalu Marsih tiba-tiba punya ide untuk mengajak kakak kembarnya itu mencari tantangan lain, yaitu mencuri barang-barang kecil di supermarket.
Marlih yang nyalinya kurang besar semula tak berani melakukannya. Tapi kemudian Marsih berkali-kali melakukannya di depan Marlih, dan tak pernah ketahuan orang lain. Akhirnya Marlih berani mengikuti jejak adik kembarnya melakukan perbuatan yang tak terpuji itu.
Tapi seiring dengan berjalannya waktu, apalagi dengan kondisinya yang telah menjadi nenek-nenek sekarang, Marlih merasa malu mencuri lagi. Dia mau berhenti. Ingin hidup tenang di masa tua dengan tidak melakukan perbuatan yang tercela di mata Tuhan.
“Marsih, aku mau berhenti mencuri,” kata Marlih tegas. Sorot matanya bersungguh-sungguh. Marsih menatap kakaknya tak suka.
“Sok suci kamu, Lih.”
“Terserah apa katamu, Sih. Yang jelas ini terakhir kali aku mengambil barang yang bukan milikku.”
Marsih tersenyum sinis. “Jadi Tip-Ex itu tetap akan kamu berikan pada cucumu?”
Marlih mengiyakan. “Kan sudah telanjur kuambil.”
“Kamu tidak malu memberi cucumu barang curian?”
Emosi Marlih menggelegak. “Marsih, aku tahu kamu tidak senang aku mau berhenti mencuri. Tapi itu bukan berarti kamu bisa seenaknya menyindirku seperti itu.”
Marsih semakin menjadi-jadi. “Cuih, katanya mau berhenti, tapi barang yang sudah diambil tetap diberikan pada cucu tercinta!”
Marlih marah sekali. “Pergi kamu dari sini!” teriak wanita tua itu mengusir adiknya. “Dan jangan berani-berani muncul di depan pintu rumahku lagi kalau masih menyindir-nyindirku seperti itu!”
Marsih geram sekali. Dia langsung angkat kaki dari rumah saudaranya. Marlih membanting pintu rumah. Dia tak ingin bertemu Marsih lagi.
***
“Ibu meninggal dalam tidur, Tante,” kata Rudi, putra Marsih, di telepon. “Kata dokter penyebabnya serangan jantung.”
Pecahlah isak tangis Marlih. Sudah satu minggu dia tak bertemu dengan adik kembarnya. Telepon dari Marsih selalu ditolaknya. Marlih langsung menekan logo telepon merah setiap kali sang adik meneleponnya. Dia ingin menenangkan diri dulu. Daripada nanti bertengkar dengan Marsih yang sering berakibat dia susah tidur hingga akhirnya tidak enak badan.
“Marsih, adikku,” rintih Marlih pilu. “Tega sekali kamu meninggalkanku seorang diri di dunia ini. Kamu jahat, Marsih. Jahat….”
Air mata wanita tua itu jatuh bercucuran. Belahan jiwanya sudah tiada. Marlih sangat kehilangan.
***
“Total semuanya lima puluh tiga ribu, Bu,” kata kasir supermarket sopan.
Marlih menyodorkan selembar uang seratus ribuan. Kasir menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Setelah mendapatkan uang kembalian, Marlih membawa kantong belanjaannya keluar dari supermarket.
Bibir wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Dia berhasil memasukkan minuman sachet rasa jeruk dalam kantong celananya tanpa ketahuan. Itu minuman kesukaan mendiang Marsih, adik kembar yang sangat dirindukannya.
***
“Maafkan saya, Bu Shinta. Saya terpaksa menunjukkan video CCTV ini karena tidak berani menegur Bu Marlih sendiri. Saya takut salah bicara dan menyinggung perasaan beliau.”
Shinta, putri bungsu Marlih, merasa dunia seperti mau runtuh. Pegawai toko swalayan dekat rumahnya ini melaporkan perilaku Marlih yang mengutil sebatang coklat di tempat dia bekerja. Shinta yang semula hampir naik darah karena tuduhan itu jadi tak mampu berkata apa-apa setelah melihat dengan mata kepala sendiri kelakuan ibunya melalui rekaman CCTV pada ponsel si kasir supermarket.
Wanita berusia empat puluh enam tahun itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya. “Ini untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh ibu saya. Saya minta maaf, Mbak. Kelihatannya Ibu sudah mulai pikun.”
“Uang ini terlalu banyak, Bu Shinta. Bu Marlih kan cuma mengambil sebatang coklat,” elak si Mbak sungkan.
“Tidak apa-apa, Mbak. Terima kasih sudah memberitahu saya dan tidak menegur Ibu.”
Shinta beranjak meninggalkan sudut supermarket tempatnya diajak bicara diam-diam oleh pegawai toko itu. Dia mau pulang untuk menemui ibunya. Amarahnya menggelegak. Bagaimana mungkin ibu kandungnya bisa mengutil di supermarket seakan-akan dia tak mampu membelinya?
***
Marlih memandangi tiga kardus air mineral di dalam kamarnya. Kardus-kardus itu terbuka lebar. Terpampang dengan jelas isinya yang terdiri dari berbagai jenis permen, coklat, wafer, minuman sachet, sabun batang, sampo sachet, sikat gigi, dan lain-lain. Benda-benda dari berbagai kategori itu mempunyai persamaan, yaitu ukurannya kecil sehingga mudah dimasukkan ke dalam saku celana tanpa kentara.
“Marsih, benda-benda ini adalah favoritmu setiap kali mengutil di supermarket,” ucap Marlih lirih. “Sekarang aku yang melakukannya untukmu, Dik. Supaya kamu tenang di surga.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Marlih terkejut. Dilihatnya Shinta muncul dengan wajah merah padam.
Marlih panik. Dia tak sempat menyembunyikan harta kesayangannya. Kardus-kardus itu terpampang nyata di hadapan putrinya. Tapi kenapa Shinta tiba-tiba pulang lagi? Bukankah dia tadi sudah pamit mau berangkat ke kantor?
“Ya Tuhan, Ibu!” seru Shinta tak percaya. “Apa artinya semua ini? Kenapa ada banyak sekali barang-barang di kardus-kardus ini? Inikah hasil curian Ibu selama ini di supermarket?”
Marlih ketakutan. Wanita tua itu langsung membela diri.
“Bukan aku yang mencuri! Jangan sembarangan menuduh. Aku ini ibumu sendiri, Shinta!” teriak Marlih tidak terima.
“Lalu siapa yang mengambil semua barang ini, Bu?” tanya Shinta semakin menyudutkan.
“Marsih!”
Shinta melongo. Dilihatnya sang ibu seolah-olah berbicara pada seseorang di sampingnya. “Mengakulah, Marsih. Selama ini kamu yang selalu mengajakku mengutil di supermarket. Katamu menyenangkan sekali bisa membodohi orang lain. Tapi sekarang perbuatanmu sudah ketahuan. Mengakulah, Marsih. Mengakulah!”
Shinta terduduk lemas. Dia merasa ibunya sudah terkena gangguan jiwa akibat kehilangan saudara kembarnya. Shinta jatuh iba. Dipeluknya sang ibu erat-erat sembari menghibur, “Tante Marsih sudah tiada, Bu. Ikhlaskanlah beliau. Ibu masih punya Shinta.”
Dielus-elusnya punggung Marlih penuh kasih sayang. Shinta tak menyadari sudut bibir ibunya tersenyum lega. Lega karena aktingnya barusan berhasil mengibuli Shinta. Ternyata benar kata Marsih. Berhasil membodohi orang lain itu ternyata menyenangkan sekali.
TAMAT