“KAMU adalah perempuan masa silamku!” cetusnya membuat aku terkesima. Belum habis kekagetanku dia sudah menyambungnya dengan intonasi yang cukup landai. “Kau ingat dimana pertama kali kita bertemu?”
Aku tak segera menjawab. Ingatanku melayang pada pertama kali bertemu dengannya. Di sebuah bukit yang sangat indah dengan beberapa ornament yang dibuat instagramable untuk spot selfi para pendaki yang rata-rata remaja. Bukit itu menyerupai gunung kecil yang menyajikan pemandangan indah berupa lautan kabut yang terhampar di bawah bukit, diatas pepohonan pinus. Hamparan kabut itu begitu rata, tebal dan yang terlihat hanya putih.
“Di Kawah kabut bukan?” Dia menjawab pertanyaannya sendiri saat melihatku terdiam.
Aku mengangguk.
“Kita bertemu di sana karena itu adalah tempat kita kembali ke masa silam. Di situ kita dipertemukan kembali setelah melalui ribuan masa dan berganti alam…” terangnya.
Aku mengerutkan kening. Sungguh, hal itu tak kupahami dalam keyakinanku.
“Maksudmu? Kita tadinya dari alam yang berbeda? Begitu? Memangnya aku dulu hantu atau jin yang berubah jadi manusia?” sanggahku dicampuri guyon.
Dia hanya tertawa. Tak bersuara. Lelaki itu lebih muda dariku. Tak banyak bicara. Sikapnya seperti lubuk sungai, tenang tanpa riak namun dalam. Tatap matanya pun tak jauh beda, kontradiktif dengan tatapan yang menghunjam tajam namun teduh.
Dika bukan sosok aneh. Dia cukup rendah hati dan selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap kemunculannya di komunitas atau lingkungan manapun. Kami bertemu dalam satu program kemanusiaan. Urusan manusia, alam sampai makhluk goib kami bereskan. Pertemuan dan kedekatan yang intens membuat aku dan Dika akrab. Hingga akhirnya, kami berada di satu momen spesial tatkala hati kami makin membulat dalam kenyamanan yang kami rasa. Aku menganggap sebagai ketertarikan biasa tapi Dika menamakannya Sir.
Banyak kesamaan di antara kami. Sama-sama konsen dalam urusan sosial kemasyarakatan, sama-sama punya kecintaan dan senang berkorban apapun itu untuk sesama, aku yakin juga hati kami memiliki cinta kasih yang berlebih. Yang membedakannya adalah Dika seorang yang sangat mempercayai dan pelaku spiritual sedangkan aku perempuan kekinian yang lebih mengedepankan logika. Jadi aku tertawa saja menganggap omongan Dika sesuatu yang nyeleneh dan tak umum.
Aku dan Dika juga memiliki perbedaan yang sangat kontradiktif. Seperti langit dan bumi atau siang dan malam. Dika terlalu spiritual dan aku terlalu logis dan realistis. Dika seorang yang sangat pendiam, simple namun tegas. Aku perempuan yang lincah, aktif dan ekpresif. Meski dalam urusan rasa, kami sama-sama pasif, tapi jika bersama dia, sudah pasti aku jadi lebih agresif untuk membangun sisi romantis saat berdua.
Meski aku menganggap berhubungan dengannya adalah hadiah terindah dari Tuhan, tapi aku tetap tak memahami tentang ada segi perjalanan spiritual antara aku dengannya.
“Kamu perempuan di masa laluku, kini baru aku temukan lagi. Kita terikat perjalanan karma yang menuntut penyelesaian di masa sekarang…” dia selalu memberi penjelasan. Semua itu semakin tak aku mengerti.
“Pelan-pelan kau akan paham, Tyas. Kamu juga akan mengerti tentang siapa kamu di masa lalu. Kehidupan manusia itu siklusnya terus berputar. Tidak di mulai atau berhenti di satu masa saja” lanjutnya.
Entahlah Aku yang mulai terkena doktrin ataukah memang ini merupakan awal dari petunjuk tentang perjalanan hidupku yang memang aneh dan beda, suatu malam aku bermimpi hal yang tak biasa.
Dalam mimpiku, Aku dan Dika, dalam pakaian yang seperti jaman antah berantah, berjalan bersisian. Tiba-tiba kulihat ada kerusuhan, Dika berlari ke arena, berbaur dengan orang-orang yang sedang bertempur. Aku menjerit melihat Dika dikepung, tubuhnya berdarah-darah. Lelaki itu mental entah kemana. Lalu kulihat suasana yang sunyi, tak ada sesiapa. Aku menangis dengan raga terpuruk. Kurasakan kehampaan, sunyi yang mencekam dan merasa ditinggalkan.
Tiba-tiba ada yang menepuk punggungku dari belakang. Saat kutoleh, lelaki itu tengah tersenyum dan manggut. Pakaiannya putih bersih, wajahnya bersinar hangat seperti mentari pagi. Dia mengulurkan tangannya, lalu merangkul pundakku sambil berbisik lembut.
“Jangan menangis lagi, sayang, Aku ada di sini…”
Mimpi yang aneh. Sampai beberapa waktu aku teringat akan mimpi itu. Apa artinya ini? Biasanya mimpi yang datang tak pernah aku pikirkan. Bahkan kuanggap bunga tidur yang tak berarti, lewat begitu saja. Tapi kali ini aku seperti selalu dibayangi tanda tanya tentang takwil dari mimpi tersebut.
“Itu karena hati kamu sedang dipenuhi bunga-bunga bucin dengan si Dika itu. Jadinya terbawa-bawa mimpi!” tanggapan Sita yang sangat logis membuat tak puas hati.
Mimpi itu kuceritakan pada Dika. Apa tanggapan lelaki itu? Dia hanya tersenyum, mengusap kepalaku lembut.
“Kau telah aku temukan, dalam kehidupan sekarang. Apapun kondisinya, aku tak akan meninggalkanmu,” katanya.
Aku tercenung. Bagaimana bisa ia memiliki keyakinan seperti itu?
Aku merasakan ada ketakberesan dalam diriku. Kenapa setelah itu, dalam setiap aksi dan pergerakan kami, selalu saja di mulai atau dibarengi mimpi. Pun saat aku tengah berselisih dengan Dika. Aku tak bisa menyembunyikan hal apapun dari lelaki itu.
“Siapa aku di kehidupan masa silam itu, Dika? Jika iya kehidupan masa silam itu ada dan bersambung dengan kita, bagaimana mulanya? Ini sungguh membingungkanku…”
“Seharusnya kau sudah tahu, kita ini beda, Tyas. Tapi pada intinya, kita terlahir kembali untuk melanjutkan perjalanan kita yang dulu dan menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda…”
“Tugas?”
“Iya, tugas-tugas kehidupan. Buka suatu kebetulan kamu bekerja menjadi jurnalis, aktipis, itu karena blue scrintmu menyesuaikan dengan jalur kamu yang dahulu. Kamu penggerak dan juga pencatat, apa-apa yang menjadi tugasmu dan harus diselesaikan…” banyak lagi omongan Dika yang membuat aku merenung. Ada yang bisa kucerna karena masuk dalam logikaku.
Aku lulusan S1 Ekonomi. Seharusnya pekerjaanku tak jauh dari jalur studiku. Tapi duduk di belakang meja dengan rutinitas kerja yang monoton dari dulu tidak aku sukai. Aku memilih menjadi jurnalis karena kerjanya bebas dan hampir setiap hari berada di lapangan dengan rutinitas yang berbeda. Aku senang bersosialisasi dan bertemu orang-orang baru. Padahal jadi jurnalis freelance tidak menjamin penghasilan yang tetap setiap bulannya. Tapi aku bahagia dan mensyukuri sekecil apapun hasil yang kudapat.
Bersama Dika yang aktipis tulen, aku dibawa semakin dalam pada keadaan yang diharuskan untuk act out. Banyak menyelesaikan masalah, ikut mengkritisi dan mengawasi program apapun dan terlibat menjadi pelaku yang bersifat relawan. Aku senang membantu dan bergerak dalam bidang kemasyarakatan.
Sebagai perempuan dewasa dengan status single mom, harapanku ketika dekat dengan seorang lelaki secara emosional tentu saja ada pengharapan yang lebih serius. Tapi hingga hubungan kami berlangsung berganti tahun dan begitu banyak hal yang telah dilalui dan diselesaikan dalam kebersamaan kami, dia selalu mengulur-ulur waktu untuk mewujudkan janjinya. Selalu saja ada alasan jika kutanyakan tentang kapan akan menikahiku.
“Jika tak serius, aku memberi pilihan untuk mundur saja, Ka. Aku sudah tua, butuh yang pasti-pasti saja!” tandasku.
Dika sesaat diam. Sebelum akhirnya…
“Kita ini sudah bersatu, Tyas. Bahkan jwa raga kita sudah tak terpisah lagi. Seandainyapun raga kita berjauhan, jiwamu selalu aku bawa begitupun dengan kamu, ada jiwaku yang selalu mengikuti kamu. Kita ini sudah bertemu dari perpisahan yang lama melintasi ruang dimensi dan waktu. Pertemuan kali ini tak akan membuat kita terpisah lagi. Kamu jangan khawatir…” terangnya. Bagiku itu absurd.
“Konsep apa itu, Ka?” aku menggeleng.
Terdiam. Lama kutatap wajahnya yang hanya menunduk tenang, menghisap filter. Seyakin itu dia di depanku. Tapi jika dia berlalu, banyak kabar kudengar dan dia seperti terlena.
Tiba-tiba ada yang melintas di otakku…
“Hati-hati dengan apa yang terjadi sekarang. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Jika kau mempercayai sejarah silam, bukan berarti kau yakin bahwa itu yang sebenarnya. Bisa jadi cerita itu terbalik…”
Dika tengadah.
“Maksudmu?”
“Aku tahu aku yang dulu dalam versimu. Bahkan endingnya aku tahu. Di kehidupanmu sekarang, kamu merasa pasangan sahmu adalah perempuan lain yang kini kamu temukan di belakangku. Kau lebih serius dengannya bukan? Karena menurutmu dialah kekasih dan permaisurimu di masa lalu. Tapi, bagaimana jika sejarah itu terbalik?”
Kulihat riak wajah Dika berubah. Aku tahu, doktrinku mulai merasuki pikirannya. Ada senyum baur yang sembunyi.
***