YUJI menuruni anak tangga menuju lantai satu rumahnya, bergegas pergi ke suatu tempat. Aroma roti yang baru matang menggoda indera penciumannya, sedetik kemudian Yuji mengubah langkah menuju meja makan, hendak menyambar dua buah roti yang baru saja dipanggang oleh ibu. Tangan Yuji dengan cepat menyambar dua buah roti dan memasukkannya pada sebuah plastik, lalu plastik berisi roti itu dimasukkan ke tasnya.
“Ayah, Ibu, aku berangkat!” Yuji menggendong tasnya dengan semangat. Sebelum membuka pintu depan, terlebih dahulu Yuji merapikan setelan hitamnya.
“Hati-hati!” jawab ibu.
Sudah tiga bulan ini Yuji pulang ke kampung halaman setelah bertahun-tahun mencoba mengadu nasib di kota. Dia merasa hanya menghabiskan uang saku yang diberikan oleh ayah dengan sia-sia karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Padahal saat hendak merantau dulu, Yuji memiliki tekad yang sangat kuat, ayah dan ibu yang melarangnya pergi ke kota bahkan tak bisa mencegah anak semata wayang mereka itu pergi mengejar impian. Sekarang cita-cita Yuji untuk menjadi orang modern dan memiliki pekerjaan paling bergengsi di kota telah kandas, menyisakan rasa kecewa pada diri sendiri dan malu pada orang tua yang telah tersakiti karena keegoisannya dulu.
Yuji bersyukur, ketika dirinya muncul di depan pintu rumah dalam keadaan basah kuyup malam-malam, orang tuanya langsung berhamburan mencari handuk dan baju ganti, bukannya menampar atau mengusir Yuji. Semenjak pulang, rutinitas Yuji setiap pagi adalah membantu ayah merawat kebun mangga milik keluarga seluas dua hektar. Ketika siang datang, Yuji pulang ke rumah untuk makan dan tidur siang. Sorenya, Yuji berangkat ke pinggir danau di desa sebelah yang matahari terbenamnya sangat indah. Yuji baru akan pulang ketika sinar matahari telah benar-benar menghilang, digantikan langit hitam penuh bintang.
Tentu saja selama tiga bulan ini Yuji tak tinggal diam, dia terus berkeliling ke desa-desa sebelah untuk mencari pekerjaan. Beberapa hari yang lalu ketika sedang melakukan aktivitas favoritnya menikmati matahari terbenam di sebuah danau di desa sebelah, Yuji tiba-tiba mendapatkan pesan berantai yang berisi, “Kami mencari tenaga kerja sebanyak 5 orang untuk bekerja di bawah perusahaan kami. Syaratnya dapat tertidur dengan cepat, tidak mudah terbangun, dan tidak mengorok. Gaji di atas 10 juta, bisa dibicarakan. Apabila berminat, hubungi kami di nomor ini xxxxxxxxxxxx.”
Yuji terbelalak saat membacanya. Sejenak, rasanya jiwa Yuji terbelah menjadi dua, satu ingin menerima tawaran itu karena gajinya yang tinggi, satunya lagi berpikir logis takut pesan itu adalah penipuan yang nantinya akan mendatangkan bahaya. Yuji bingung, tapi kalau mengingat perjuangan mencari pekerjaan sesulit ini, rasanya menerima segala tawaran tak buruk juga. Waktu itu Yuji segera mengetik pesan balasan pada nomor yang tertera, berharap setidaknya dia dapat diterima meski hanya untuk magang.
Sudah seminggu ini Yuji bekerja sebagai model di sebuah perusahaan produksi ranjang. Dia hanya ditugaskan untuk tidur di atas ranjang keluaran terbaru mereka untuk membuktikan pada pelanggan bahwa ranjang itu sangat nyaman. Yuji tak perlu susah-payah mengeluarkan tenaganya, atau berpikir tentang administrasi perusahaan. Dia hanya datang, menaruh tas di loker, kemudian tidur. Gaji yang diberikan sangat besar, 10 juta banyaknya, plus diberikan setiap minggu. Jadi kalau dihitung-hitung, dalam sebulan Yuji mendapatkan 40 juta yang masuk ke rekeningnya. Membayangkan bahwa hari ini adalah hari gajiannya, Yuji merasa sangat bersemangat. Semalam, dia rela tidak tidur sama sekali agar hari ini bisa mengantuk dan tertidur pulas selama delapan jam kerja.
Yuji mengayuh sepedanya–si Stella–itu keluar dari kawasan kebun mangga, menuju jalan besar yang terhubung ke desa sebelah. Sepanjang jalan menuju kantor, Yuji sama sekali tak berpapasan dengan manusia. Memang agak menyeramkan tinggal jauh dari pemukiman, tapi hawa sejuk dan jalanan rindang selalu berhasil membuat keluarganya betah. Begitu mendekati gerbang selamat datang desa sebelah, Yuji berhenti, turun, dan memutuskan mendorong Stella. Di depan ada sepasang kakek-nenek yang sedang duduk berdua, tak sopan rasanya jika Yuji terus mengayuh Stella sampai tempatnya biasa parkir.
Yuji tersenyum menyapa pasangan itu. Sementara si kakek balas tersenyum, istrinya menatap Yuji dengan aneh. Meskipun begitu, Yuji tak ambil pusing, dia kembali mendorong Stella menuju pohon paling besar di danau.
Awal-awal bekerja sebagai model untuk ranjang ini, Yuji merasakan tubuhnya menjadi aneh karena terus-terusan tidur. Berbagai cara dia coba agar ketika tidur di kantornya, Yuji tidak merasakan pegal atau kaku di leher. Jam tidur Yuji pun berubah seiring berjalannya waktu, dulu dia tidur pada malam hari dan beraktivitas di siang hari, sekarang terbalik, Yuji tidur di kantornya pada siang hari dan malamnya dia mengajukan diri untuk berkeliling kebun mangga menjadi satpam. Semalam pun begitu, dengan berbekal senter, tongkat bisbol, dan larutan pengusir nyamuk, Yuji meronda dari pukul sembilan malam sampai matahari terbit esoknya.
Ternyata kegiatan meronda tidak cukup untuk bisa membuat Yuji mengantuk. Rasa senang karena akan mendapatkan gaji membuat Yuji jadi tidak bisa tidur dengan cepat. Namun, Yuji tak kehilangan akal, dia melakukan relaksasi yang dipelajarinya dua hari lalu, teknik tidur dengan cepat dalam beberapa menit. Yuji menenangkan diri, melemaskan otot-otot, mengatur pernapasan, dan mulai membayangkan tertidur di pinggir danau favoritnya. Beberapa menit kemudian, Yuji telah kehilangan kesadaran.
***
Wajah Yuji tampak sangat bahagia, seminggu telah berlalu semenjak dia pertama kali masuk kerja. Yuji berdoa, semoga saja dirinya dapat bertahan lama di perusahaan itu, dia juga ingin membelikan ibu tas dan baju baru, lalu membelikan pupuk untuk ayahnya. Pasti mereka sangat senang, pikir Yuji. Sesampainya di pekarangan rumah, Yuji memarkirkan Stella di tempat biasa, bersandar pada pohon mangga paling besar yang menjadi awal mula keluarganya memutuskan menjadi petani. Langkah Yuji ringan memasuki rumah.
Ibu yang sedang membungkusi permen di meja makan, menoleh pada anaknya yang baru saja datang. “Selamat datang.” Ibu Yuji menaikkan sebelah alisnya. “Yuji, Ibu selalu penasaran, kenapa setiap hari kamu selalu pulang dalam keadaan basah kuyup begitu?”
Yuji menatap setelan hitamnya yang meneteskan air menuju lantai rumah. “Oh, astaga. Ketika aku pulang, hujan selalu turun, sudah begitu aku selalu lupa membawa payung dan mantel. Maaf, aku mengotori rumah lagi, Bu.” Yuji kebingungan, air yang menetes dari bajunya tidak dapat dikendalikan.
“Ya sudah, lain kali bawalah payung dan mantel di tasmu. Sana bersih-bersih, kalau tidak segera mandi kamu akan terkena flu.”
“Iya, maaf,” jawab Yuji. Kemudian dia segera pergi ke kamarnya di lantai dua.
“Yuji?” Baru setengah jalan, ibu Yuji kembali memanggilnya. “Obatmu diminum setiap hari, ‘kan?” tanya ibu dengan nada khawatir.
Mampus! Obat yang selalu disediakan ibunya di atas kulkas itu tidak pernah Yuji minum lagi selama bekerja. Dia hanya mengambil obat itu dan memasukkannya ke dalam tas, tak disentuh sama sekali sampai menumpuk cukup banyak. Jangan-jangan ibunya tahu kalau Yuji hanya menyimpan obatnya, tidak diminum sekali saja. “Ah … obat … aku meminumnya, kok. Jangan khawatir!”
Ibu Yuji menampakkan wajah tak percaya. “Kamu harus rutin meminum obat itu.”
Yuji tersenyum dan mengangguk, kemudian kembali berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ketika sudah memasuki kamar, Yuji menutup dan mengunci pintu pelan-pelan, tidak mau gelagatnya ketahuan oleh ibu. Selepas mandi, Yuji tidur-tiduran di ranjang sambil memeriksa kotak pesan di ponsel. Sebuah pesan dari bank membuat Yuji terbelalak, gaji sebanyak 10 juta benar-benar telah masuk ke rekeningnya. Hal itu sontak membuat Yuji hampir kelepasan berteriak senang, begitu sadar teriakannya akan mengganggu ayah yang selalu tidur lebih awal, Yuji menutup mulut. Sebagai ganti teriakan gembira, Yuji menendang-nendang udara, rasa senang menguasai dirinya. Yuji menyimpan ponsel dalam saku, memilih untuk melamun membayangkan berbagai barang yang akan dibeli untuk ayah dan ibu nanti.
***
Suara langkah kaki Yuji menggema di seluruh penjuru rumah, suasana hatinya senang kalau sudah hari gajian. Untuk minggu ini, gaji 10 juta yang akan Yuji terima diserahkan dalam bentuk tunai, makanya Yuji membawa tas ransel yang bisa menyimpan lebih banyak barang di dalamnya. Ketika sampai di lantai satu, Yuji langsung berbelok ke dapur, hendak mengambil obat di atas kulkas dan berpamitan pada ibunya. Namun, tak ada siapapun di sana. Yuji menoleh ke ruang tamu tempat ayah biasa menikmati kopi sambil menonton acara televisi, tapi ayah juga tak ada. Ah, mungkin sedang berada di kebun, pikir Yuji. Tak mempermasalahkan itu, Yuji segera mengambil dan memasukkan dua plastik kecil obatnya ke dalam tas dan berlari keluar rumah, menuju Stella yang sudah siap.
Selama di perjalanan bersama Stella, Yuji terus kepikiran dengan semua obat yang dia simpan di dalam tas. Sudah dua minggu ini obat itu terus menumpuk, Yuji sama sekali tak meminumnya. Yuji mulai memutar otak, mungkin cara terbaik adalah membuang obat-obat itu ke tempat sampah, tapi sayang dengan uang yang ayah dan ibu habiskan untuk membeli obat itu. Kalau disimpan terus, suatu saat ibu pasti akan mengetahui kelakuan buruk Yuji yang tidak patuh pada orang tua itu. Sebenarnya Yuji tak mau menjadi anak pembohong pada ayah dan ibu, tapi kondisi sekarang tak memungkinkan untuk meminum obat itu secara rutin lagi.
Dulu, tepat setahun sebelum kepulangan Yuji ke kampung halamannya, Yuji tiba-tiba mengalami kecelakaan di sebuah persimpangan jalan. Waktu itu dia masih giat-giatnya mencari pekerjaan dengan melempar CV kesana-kemari, lalu nasib berkata buruk, seorang pengendara mobil menabrak Yuji dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Seakan lebam yang memenuhi tubuh dan dua gigi copot tidak cukup, dokter mengatakan pada keluarganya bahwa Yuji menderita sebuah penyakit spesial dan mengharuskannya meminum obat yang diresepkan setiap hari sepanjang hidup. Yuji tak diberitahu apa penyakit itu sampai sekarang.
Yuji tak masalah dengan kebiasaan hidupnya yang baru, hanya saja, dia tidak suka dengan efek samping yang ditimbulkan oleh obat itu. Awal-awal mengonsumsi, Yuji tak merasakan apapun, kemudian setelah beberapa bulan meminumnya, Yuji mulai merasakan hal-hal aneh terjadi di tubuhnya. Mulai dari tremor, yang membuat Yuji harus beristirahat sejenak setelah minum obat. Kemudian baru-baru ini, efek samping itu bertambah, yakni membuat pandangan Yuji memburam. Akibatnya, Yuji jadi kesulitan mencari jalan pulang. Ketika aktivitasnya masih membantu ayah di kebun, Yuji tak masalah rutin meminum obat itu, karena dia bisa kapan saja sejenak beristirahat di rumah. Sekarang ketika sudah bekerja, apalagi lokasinya yang jauh, membuat Yuji tidak mau meminum obat itu lagi. Dia takut tidak bisa pulang.
Stella dibelokkan menuju gerbang selamat datang desa sebelah. Laju Stella diperlambat, harus awas dengan anak-anak kecil yang sering berkeliaran di jalan. Setelah seratus meter, Stella berbelok ke kiri dan mulai menanjaki jalan terjal menuju wisata danau. Yuji terus mengayuh Stella, sampai akhirnya tiba di pohon paling besar dan memarkirkan sepeda kesayangannya itu di sana. Tas ransel yang Yuji bawa ditaruh begitu saja di atas onggokan kayu besar, lalu dia berjalan ke pinggir danau hingga sepatu dan celananya basah sampai tumit. Kemudian Yuji berbaring, membiarkan seluruh pakaiannya basah karena air danau. “Ah, sungguh pekerjaan yang mudah dan nyaman,” katanya.
***
Pukul enam sore Yuji tiba di rumahnya, lagi-lagi dengan baju yang basah kuyup. Ibu yang sedang mengupas bawang di meja makan menegurnya. “Astaga, Yuji, sudah berapa kali Ibu bilang untuk membawa payung dan mantelmu?”
Yuji meringis, hari ini dia ingat untuk membawa obat, tapi lupa membawa payung dan mantel untuk mencegahnya kehujanan. “Ibu, aku membawa kabar baik!” serunya mengalihkan pembicaraan. Ibu tampak tak senang dengan sikap Yuji yang mencoba kabur dari omelan itu, tapi sebagai seorang ibu, beliau tetap mendengarkan cerita anaknya.
Tas ransel yang terlihat sangat penuh dan terus meneteskan air itu Yuji taruh di atas meja makan. Tanpa ragu dia membuka resletingnya dan ditunjukkan kepada ibu. “Lihat, perusahaan tempatku bekerja menggajiku secara tunai untuk minggu ini! Banyak sekali jumlahnya, 10 juta, Bu!”
Ibu Yuji tak bisa berkata-kata melihat tumpukan sampah baik organik maupun non-organik di dalam tas yang Yuji tunjukkan. Tatapan ibu beralih ke wajah anak semata wayangnya yang sangat bahagia dan menunggu reaksi yang sama dari ibunya. Ibu terdiam sebentar, ragu akan menjawab. “Ah … iya, kamu … hebat. Iya, kamu hebat Yuji.” Ibu tertawa kikuk, diam-diam berdoa dalam hati agar anaknya tidak sakit hati karena aktingnya yang buruk. Ibu mengangguk, mengiyakan ocehan-ocehan mengenai apa yang ingin Yuji beli untuk ayah dan ibunya. “Iya, sudah sana mandi. Kamu bisa terserang flu kalau terlalu lama memakai pakaian basah.” Ibu mengusir Yuji dari dapur, membuatnya berjalan menuju kamar di lantai dua.
***
Langkah kaki Yuji ringan menuruni anak tangga dari kamar menuju lantai satu. Setelah kemarin dirinya meronda hingga tengah malam lebih sedikit, Yuji memutuskan untuk tidur di jam normal karena teringat akan janjinya untuk membawa ibu ke kota. Meskipun Yuji agak kesulitan segera tertidur karena jam tidurnya tidak bisa diubah begitu saja, tetapi Yuji akhirnya berhasil tidur sebentar sampai matahari terbit agak tinggi. Sekarang panah kecil di jam dinding di atas kulkas menunjuk angka tujuh, Yuji bisa merasakan sinar matahari yang dengan lembut meraba kulit.
“Selamat pagi, Ibu, Ayah,” sapa Yuji begitu sampai di lantai satu. Di sebelah kanan, ayahnya lagi-lagi sedang menonton acara televisi dan meminum kopi di ruang tamu, sementara ibunya sibuk memotong daging di dapur. Yuji memilih untuk menghampiri ibunya. “Ibu ingat kalau hari ini kita akan pergi ke kota, ‘kan?”
Ibu tak menjawab, masih sibuk dengan daging-daging berwarna merah di talenan. “Ibu?” panggilnya lagi, mungkin saja ibu tak mendengar karena suara rebusan air yang terlalu berisik di atas kompor. Yuji sampai melambaikan tangannya di sebelah ibu demi mendapatkan perhatian.
Kegiatan ibu memotong daging berhenti setelah menyadari anaknya berada sangat dekat. “Kamu sudah meminum obatmu, Yuji?”
Entah mengapa Yuji malah merinding mendengar pertanyaan itu. “Ah, aku baru bangun. Nanti saja setelah sarapan.”
Tiba-tiba ibu berbalik menghadap Yuji sambil mengacungkan pisau dagingnya. “Minum. Kamu mau membantah orang tua?”
“Minum obatmu, Yuji.” Ayah ikut bersuara, menatap Yuji dengan tajam.
Yuji mulai gemetar, ada yang aneh dengan kedua orang tuanya. “Aduh, ada apa ini? Aku kan tidak sedang ulang tahun. Ayolah, Ayah, Ibu, hentikan ini, aku janji akan meminum obatnya setelah sarapan, ya?” Kaki Yuji mundur sedikit demi sedikit, bersamaan dengan ayah dan ibu yang juga berjalan mendekatinya.
“Dasar tak tahu diuntung!”
Ibu melemparkan pisau dagingnya ke arah Yuji. Meleset, pisau besar dan tajam itu menancap sempurna di pintu belakang dapur yang terbuat dari kayu. Sedetik kemudian, ibu dan ayah berlari menuju Yuji, membuatnya mau tak mau kabur lewat pintu belakang dapur yang sudah ditancapi pisau daging. Tak ada jalan lain, bahkan meski harus berlari menelusuri bukit yang terjal penuh semak-semak belukar, Yuji tetap menerjangnya demi kabur dari ayah dan ibu yang tiba-tiba menjadi psikopat itu.
Yuji terus berlari menyusuri bukit, melewati pepohonan tinggi dengan akarnya yang mencuat keluar dari tanah dan membuat jalan menjadi tak rata. Di belakang, ayah membawa sapu cakar yang terbuat dari besi, Yuji bergidik, dia pernah terluka karena sapu itu dan rasanya sangat sakit. Sementara ibu agak jauh di belakang, sambil membawa pisau besar yang biasa digunakan untuk memotong kayu. Yuji semakin kencang berlari, tidak mau nyawanya melayang karena tersiksa oleh alat-alat perkebunan.
Saking ketakutannya, Yuji tak fokus dan hampir menabrak keranjang besar penuh ranting kayu. Kakinya hampir tak kuasa untuk menahan keseimbangan, mengakibatkan jarak dengan ayah semakin dekat. Yuji kembali fokus berlari, dia harus selamat bagaimanapun caranya.
Seorang kakek tua yang Yuji lewati barusan merasa terheran-heran. Menurut pandangannya, pria muda yang tampak segar bugar itu hampir menabraknya dan sama sekali tak mengucapkan maaf. Pria muda itu aneh, dia berlari terbirit-birit dengan wajah ketakutan seakan sedang dikejar oleh bahaya. Namun, si kakek tua tak melihat apapun atau siapapun setelah pria muda itu. Hampir saja marah, tapi kakek tua itu memutuskan untuk kembali berjalan, mencari buah-buah yang jatuh ke tanah dan dikumpulkannya di keranjang anyam.
Yuji terus berlari, sesekali lengannya tergores karena ranting kayu, tapi Yuji malah berteriak seakan luka yang didapatnya sangat menyakitkan. “Ayah, aku anakmu! Aku Yuji! Hentikan, kumohon, itu sakit!”
Yuji terus berteriak memohon, entah kepada siapa. Tak ada seorang pun di belakang. Sesekali Yuji berteriak kesakitan ketika ranting-ranting kayu menggores pakaian, lengan, dan pipinya. Kaki Yuji yang sama sekali tak beralas sekarang mengeluarkan jejak darah, perih sama sekali tak digubrisnya, seakan sesuatu yang dia lihat itu sangat berbahaya dan membuat Yuji mau tidak mau terus berlari meski kakinya terluka.
Mata Yuji menangkap sekelebat atap rumah yang terlihat dari kejauhan. Segeralah Yuji mengencangkan laju larinya menuju rumah itu. Yuji menengok sekilas ke belakangnya, lalu kembali berlari. Rumah itu terlihat sangat tua. Bau busuk menyiksa hidungnya, tapi Yuji tetap memasuki rumah itu. Yuji membuka pintu kayu yang hampir roboh, lalu segera masuk dan menutup kembali pintunya.
Di dalam, Yuji langsung terduduk lemas, napasnya tak beraturan. Hanya tiga detik Yuji berusaha menenangkan dirinya, sebelum kembali panik dan menyusuri rumah tua yang anehnya terlihat seperti ditinggali oleh seseorang. Yuji berkeliling mencari sesuatu dengan panik, memutar-mutar semua knop pintu yang dapat ditemui. Nihil, semua pintu yang ada tidak dapat dibuka.
Yuji kemudian bergeser pada sebuah peti kayu tua yang tergeletak di pojok ruangan. Bibirnya digigit, berpikir keras untuk memutuskan sesuatu. Yuji menggeleng, sedetik kemudian, dia membuka peti itu dan masuk, mengurung dirinya sendiri dalam peti sempit yang bahkan harus membuat Yuji menekuk lutut. “Semoga ayah dan ibu tidak bisa menemukanku di sini,” katanya.
***
Suara sirene yang berasal dari tiga mobil polisi berhenti ketika seorang polisi senior mengangkat dan melambaikan tangan. “Hentikan, dia bisa terkejut.” Perintah itu dituruti oleh polisi-polisi lain. Polisi senior itu berbalik, menghadap ke seorang wanita muda berusia sekitar 20-an yang sedang menggigiti jarinya dengan cemas. “Tenanglah, Nona, kami akan segera menemukan kakakmu. Sebelumnya, katakan padaku seperti apa wujud kakakmu itu?”
Wanita muda itu berhenti menggigiti jarinya. “Kakakku bernama Yuji, dia berusia sekitar 28 tahun. Tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Anda, rambutnya abu-abu karena memiliki uban, posturnya agak bungkuk dan kurus.”
Polisi itu bergumam, mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh si wanita muda. “Baiklah, sebaiknya Anda menunggu di sini, kita tidak tahu apa yang ada di dalam rumah tua itu. Junior-junior saya akan menemani Anda, jangan khawatir.” Kemudian polisi senior itu menyuruh tiga orang untuk menemani si wanita muda, menyuruh dua orang untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah tua, dan sisanya diminta menyebar di sekitar bukit dan danau di balik bukit ini untuk mencari pria yang telah dilaporkan hilang selama satu bulan.
Si polisi senior mulai memasuki pekarangan rumah yang dipenuhi semak belukar, tapi semak-semak yang menghalangi pintu masuk sudah diberantas, tampaknya ada seseorang yang secara rutin memasuki rumah tua ini. Knop pintu diputar dan didorong, hampir saja pintu reyot itu jatuh kalau tidak segera ditangkap oleh juniornya. Para polisi itu pun masuk ke dalam rumah, bau busuk langsung menyeruak, membuat ketiganya mual.
“Astaga, Kapten, ini bau sampah makanan yang membusuk?” tanya si polisi kurus. Memang, di dalam rumah itu penuh dengan sampah, entah plastik, organik, sampai sampah bekas makanan yang tergeletak begitu saja. Perabotnya berantakan, tapi bagian tengah kosong melompong seakan seseorang membersihkannya, mungkin untuk dijadikan tempat duduk. Namun, polisi senior itu berpikir lagi, masa iya, ada orang-orang yang mau berlama-lama di dalam rumah yang reyot dan bau busuk ini?
“Mulailah mencari.”
Ketiga polisi pun berpencar, ada yang pergi ke belakang rumah, ada yang pergi menaiki tangga dan mencari di lantai dua, sementara si polisi senior sendirian di lantai satu. Begitu banyak barang-barang tak berdebu yang berantakan. Polisi itu menduga, orang yang tinggal di dalam rumah tua ini pasti mencuri beberapa barang dan diklaim sebagai miliknya sendiri. Di antara barang-barang curian itu, si polisi menemukan sebuah ponsel lipat berwarna putih yang sama sekali tak bisa menyala. “Orang ini seperti hidup di dimensi lain,” gumam si polisi.
Bau busuk terus mengganggunya. Firasatnya mengatakan ada bau bangkai di rumah ini. Mata si polisi terus menelisik ke sudut-sudut rumah, mencari tempat yang sekiranya menjadi persembunyian bangkai itu. Kakinya melangkah mendekati bagian rumah yang sepertinya adalah dapur, dan bau busuk itu semakin tajam.
Sebuah peti tua berukuran 70 x 50 cm menarik perhatiannya, rasa penasaran mencuat karena melihat larva-larva kecil mengerubungi peti itu. Dengan sedikit ketakutan, si polisi meraih tutup peti dan mengangkatnya.
“Astaga! Hei, anak-anak, cepat panggil ambulans! Kami menemukan mayat!”
SELESAI