TIDAK ada yang lebih memuaskanku selain melihat anak-anak di sini bermain bebas tanpa airmata lagi. Tampak seperti tanah di belahan dunia yang baru ditumpangi, kemarau meretakkan bekas jatuhan tempatku bertempias.
“Kamu mau kemana, Aleena?”
Di dunia entah apa namanya ini, begitu luas, berbentuk setengah lingkaran yang di dalamnya dipenuhi kerlipan cahaya, seperti langit, tapi cahayanya bisa digapai bahkan beberapa pelayan bilang bisa dimakan. Aleena, teman sebayanya dan beberapa orang lainnya, berkumpul. Perasaan mereka seluas kediamannya saat ini. Kediaman kini tidak kalah bagus dari pantai Al-Deira yang terletak di Beit Lahia, Gaza sebelah utara. Sebab di sini tumbuh aneka buah. Mereka tak akan kelaparan lagi dan kehausan sebagaimana air minum yang syukur jika bisa dinikmati sekali sehari.
“Apa kalian tidak mendengar keributan di balik pintu?”
“Aku tahu. Tapi kita tidak perlu membukanya. Itu pasti tembakan-tembakan para tentara.”
Aleena bersikeras. Ia tetap saja melangkahkan kakinya, bahkan sedikit lagi sampai di pintu.
“Jangan, Aleena. Atau kau ingin kami mati, begitu?”
“Itu bukan tembakan. Itu suara orang.”
“Benarkah?”
“Dia ingin masuk. Jika di luar, justru mereka disusul tembakan.”
“Buka, buka!” dua orang berseru, sedang yang lain masih berpikir beda.
“Lebih baik tidak. Lebih baik mencegah.”
Ada suara manusia yang dihafal Aleena. Suara tanpa kata-kata, melainkan tawa anak bayi ketika digelitik. Aleena sangat yakin, itu suara orang. Jelas tak ada suara dentuman. Keinginan Aleena sama kuatnya teriakan teman-temannya mencegah. Di samping Aleena, dua temannya mendukung. Semakin mendekat, semakin jelas suara apa itu.
“Adikku.”
Aleena meraih tubuh kecil yang baru saja lahir seminggu sebelum ia masuk ke Hiper Raksasa ini. Teman-teman Aleena berhambur dan memeluk bayi itu. Setelah bayi itu, bayi bayi lain berdatangan bersama ibu mereka. Semua berhambur mencari keluarga masing-masing. Aleena menanyai adik bayinya, ”Mana ayah dan ibu?”
Suasana mendadak hening. Semua pandangan tertuju kepada Aleena yang suaranya tiba-tiba meninggi. Aleena sedih melihat beberapa temannya hangat dirangkul orang tua mereka.
“Katakan, di mana mereka?” teriak Aleena kepada adik bayinya. Bayi itu menangis sejadi-jadinya, merasakan tubuhnya dicengkeram kuat-kuat. Teman-teman Aleena mendekat dan mengambil bayi itu. Ada luka memar bekas kuku Aleena yang sudah dua minggu tidak dipotong. Kuku panjang yang sampai di dunia baru ini enggan dihinggapi kotoran. Di sini tak ada debu, apalagi sampah. Yang ada hanyalah sejenisku, tembok Gedung juga plafon yang terpaksa menimpahi tubuh mereka dan beberapa dari kami terikut karena menancap tubuh tak berdosa itu. Hingga beginilah kami ikut menikmati dunia mereka yang baru.
“Alenaa, tidakkah kau berpikir, orang tuamu akan baik-baik saja?”
“Bagaimana mungkin. Aku mengikuti mereka berlari. Tidak lama, aku kehilangan wujudnya. Lalu aku jatuh, dan bangun sudah ada di sini.”
Aku menjatuhkan diriku dan kepingan-kepingan lain. Mereka paham maksudku. Aku akan mengajak mereka berkembara lagi. Cahaya yang akan kami tuju mulai bergerak. Gawat, sudah kuduga kalau aku akan terlambat. Sebagian cahaya itu sudah menjelma kabut. Pantas sekali kakiku jadi dingin. Tapi tunggu, aku bisa memastikan cahaya itu tidak hilang seluruhnya. Aku mendarat dan menerbangkan diriku, juga membawa kepingan lainnya.
“Haap!”
Aleena maju melihat satu lubang kecil dari lapisan gua. Tidak apa-apa, kecuali sinar matahari yang menusuk mata Aleena. Teman-temannya yang semakin banyak itu berebut ingin melihat. Mereka seperti saja manusia musim hujan yang merindukan matahari.
Salah seorang melihat orang yang sama seperti dirinya. Dia melihat sepersis dirinya. Oh, iya, itu kembarannya. Di balik cahaya kembarannya itu tengah memperbaiki reruntuhan sisa bangunan. Ia berdiri lalu berjalanan meski sedikit luka di dagu.
“Aleena, Aleena, itu ibumu.”
Alena menutup satu mata kanannya dan membelalakkan satunya. Dia melihat dunia luas yang tengah perak poranda, seperti rumah anak kecil yang berhamburan mainan. Di sudut kanan jangkauan matanya, ibunya sedang membereskan keranda mayat. Sisa ingatan Nyonya Fatimah atas Aleena dan bayinya yang belum bernama. Dunia itu tengah senyap dan sengat bau bom yang mengudara dan sisa gas air mata. Nyonya Fatimah berjalan sedikit pincang dan sesekali terseok.
Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tangisan di mana-mana. Menangisi kematian keluarga, pun menangisi ketidakpercayaan kalau ia bisa menginjak tanah. Syukur yang sujudkan lamat-lamat. Tangisan itu dirasakan Aleena hingga dengan mata yang kehabisan air. Di dunia ini awalnya mereka mengira kalau ada larangan menangis. Ia baru menyadari tatkala Aleena ingin menangis namun tak bisa. Stok kesedihan berakhir saat siapa saja memasuki gua. Perasaan selalu jadi gembira. Ingatan luka menjelma syukur. Tak ada sedih, apalagi marah.
Aleena bahagia melihat ibu dan ayahnya selamat. Ayahnya yang berusaha menahan kakinya dari puing bangunan dan berjalanan ke arah ibunya. Aleena tahu bagaimana setiap orang akan merayakan kebahagiaan. Cinta mereka senasib perjuangan melawan awas dari serangan musuh. Sebagaimana cahaya yang di dunia yang jauh di bawahnya mulai redup. Senja datang dengan dingin paling gigil. Anak-anak membungkus diri dengan pelukan para ibu. Mereka kehilangan banyak pakaian, termasuk selimut. Belum lagi subuh hari. Mereka yang sedang hangat-hangatnya, tapi perasaan tetap berjaga-jaga kalau saja ada serangan tiba-tiba. Istirahat yang bahkan dalam tidur masih menjaga-jaga.
Di kampung pengungsi Jabalia itu, malam menuju subuh tanpa listrik. Para ibu meraba anaknya sekadar mastikan kalau padamnya listrik tidak pula memadamkan nyawa anak-anaknya. Mereka bersyukur Tuhan masih menghendaki harapan itu. Sampai tatkala pagi sudah mulai memberi cahaya yang muncul dari atap rumah. Atap rumah yang memperlihatkan belahan ketika diporak-porandakan dari serangan yang mengudara. Pengeboman pagi itu bersamaan pula dengan gencatan senjata artileri. Beberapa orang berlarian mencari tempat sembunyi. Beberapa lainnya juga memilih diam menyiapkan khusuk dalam zikir.
Serangan itu dilanjutnya kedatangan pemimpin politik dan tentara militer Israel yang bergegas dari stasiun kereta api Philadephia. Hentakan kaki puluhan orang itu datang atas perlawanan pagi sekali. Di perbatasan Rafah saat itu penuh keributan. Orang-orang bahkan sudah pasrah. Tidak ada pilihan selain tetap tinggal di pengungsian meski lapar melanda hari-hari mereka. Delapan pasukan tantara Israel tewas karena bom bunuh diri yang didatangkan Hamas. Mereka pimpinan terkuat. Kedatangan tank-tank Israel dari kota ditandai dengan dengungan drone militer dan melakukan operasi pedang besi. Kelemahan lawan saat itu melumpuhkan kekuatan militer para tantara. Hampir semuanya berjatuhan dan diangkut pengawal untuk pemulihan.
Para pejuang Palestina menyeberang dari Lebanon hendak ke Israel utara dengan pesawat layang gantung. Belum sampai ke Israel, serangan udara kembali menjatuhi langit Gaza di pengungsian Jabalia. Ledakan bom sama besarnya ledakan tangis warga. Tangisan yang terus bercucuran dan kian membanjiri tanah itu, menenggelamkan banyak perempuan. Mereka tergeletak tak beraturan, juga beberapa yang bernasib sama diruntuhi puing bangunan. Kawananku tidak lama bertambah lagi.
Di dunia ini tak seorang pun bisa menangis. Hanya kegembiraan yang ada. Baru saja Aleena dan teman-temannya ingin menyiapkan jamuan penyambutan. Tapi di dunia baru itu mereka tidak tahu mencari kemana. Tak ada pasar. Para pelayan di taman, tepatnya di sisi kebun, sudah menata dengan karpet permadani yang ditengahi meja lesehan emas dan di atasnya sudah siap ratusan potong semangka besar. Sedang di sebelahnya macam-macam buah tumbuh ranum.
“Mau ke mana?”
“Cepat-cepat. Di sana ada kebun semangka yang buahnya banyak sekali.”
Aleena lari kegirangan. Dari semua pilihan buah, semangkalah yang paling disukainya. Semangka memulihkan dahaga sekaligus membuatnya kenyang.
Ia teringat cerita ayahnya. Waktu itu Tuan Zein membonceng Nyonya Fatimah yang masih jadi pengantin baru, sepulang dari membeli kain yang akan dibuat baju. Dari depan sisi kiri, satu motor dengan boncengan karung penuh, melaju kencang dan menyerempet motor Tuan Zein. Kedua motor itu jatuh. Dari motor pengendara tadi berjatuhan karung yang berisi penuh semangka. Satu buah semangka bergelinding dan mengenai ban motor depan milik Tuan Zein. Untung saja ia dan istrinya tidak jatuh keras. Semangka yang sudah pecah itu sedikit mengganjal ban motor Tuan Zein. Tidak seperti lawannya yang menggesek aspal bergerigi.
Nyonya Fatimah tidak bisa bohong kalau sebenarnya ia ketakutan. Ia takut kena marah, apalagi jika ganti rugi. Wajahnya terus menegang, berpikir biaya kerugian.
“Hus!”
“Siapa tahu saja, kan.”
Setelah keduanya membangunkan motor dan pengendara tadi mengumpulkan semangka, pemilik semangka memberikan dua biji semangka kepada Nyonya Fatimah.
“Nyonya tidak apa-apa?” pengendara itu ingin memastikan dengan melihat dari atas kepala hingga kaki. Ia menyadari kesalahannya karena tahu di pos polisi ada kamera pengawas.
“Baik-baik saja,” Nyonya Fatimah menjawab gugup.
“Apa betul tidak ada luka sedikit pun?”
“Tidak ada sama sekali.”
“Bagaimana dengan Tuan?”
Nyonya Fatimah menjawab keadaan suaminya dan tak ingin melihat suaminya sedikit meringis menahan sakit di kaki.
”Ambillah semangka ini. Ambil saja. Semoga rasanya manis. Ambillah sebagai permohonan maaf saya karena tidak punya uang membayar kerugian.”
Nyonya Fatimah sebetulnya tidak ingin mengambilnya. Ia merasa tidak perlu mengambil untung dari penabraknya, tapi Tuan Zein dengan cepat meletakkan semangka itu di motor depan meskipun ia juga tidak menyukai semangka.
Setiba di rumah, mereka berpikir akan diapakan semangka pemberian itu. Sayang sekali kalau sampai dibuang. Nyonya Fatimah berpikir untuk memberikannya ke tetangga saja. Tapi Tuan Zein mengusulkan bagaimana kalau mereka mencobanya. Sebelum mencoba Nyonya Fatimah sudah membayangkan memakan buah dengan tekstur berpasir dan berair dengan jumlah biji yang tidak sedikit.
Di rumah Aleena sebelumnya hampir setiap hari ada semangka. Ibunya selalu membeli sebiji untuk dihabiskan dalam dua hari. Aleena sangat menyukai semangka. Ia bisa makan hanya dengan semangka tanpa menyentuh roti.
Saat serangan bencana itu, ia sedang memakan satu irisan semangka. Ia mengambil seiris lalu seiris. Ibunya sama, seiris, lalu seiris…
— SELESAI —