Badru dan Zaman yang Dihadapinya

TAK ada yang bisa menghentikannya untuk pergi ke langgar. Meski hujan deras mengguyur, angin menerjang dan guntur menggelegar, Badru akan tetap membawa tubuh ringkihnya ke bangunan tua yang jaraknya seratus meter itu. Tentu saja anak dan menantunya selalu mencegah ia jika lelaki itu nekat pergi ketika hujan deras. Namun, Badru tak pernah menggubrisnya. Baginya langgar adalah tempat ternyaman yang ia temukan seumur hidupnya. Tempat di mana ia menggantungkan doa-doa dan menabur investasi besar untuk kehidupan abadinya kelak.

“Pak, sekali saja dengarkan kata Ipah,” protes menantunya.

“Aku selalu mendengarmu. Menuruti apa yang kaupintai selama itu masih bisa kuterima. Tapi untuk urusan ke langgar, jangan kau biarkan aku melewatkan pertemuan indahku dengan-Nya.”

“Salat kan bisa di rumah.”

“Bagaimana dengan nasib anak-anak yang akan mengaji? Sudahlah,  Ipah. Aku pamit dulu. Anak-anak pasti sudah menungguku.”

“Saya yakin, tak ada yang pergi ke langgar hujan-hujan begini.”

Alih-alih menanggapi menantunya, Badru justru pamit lagi dan menutup pintu usai mengucap salam. Ia membuka payung lipat usangnya, melipat celana panjang hingga bawah lutut, lalu melangkah pasti menerjang hujan deras di sore itu.

Percikan air yang menimpa bumi, terciprat mengenai mata kaki dan betis kecil Badru, menciptakan bintik-bintik coklat tanah di kakinya. Badru menghirup udara begitu pelan, memejamkan matanya sejenak, menikmati aroma pertikor yang menguar. Saat membuka mata, diperhatikannya rumput-rumput hijau yang basah. Hatinya bergumam,  fa bi ayyi a laa i ribbikuma tukadzibaan.[1]

Tiba-tiba saja Badru jadi teringat akan guru mengajinya semasa ia kecil dulu. Abah Syamsul namanya. Lelaki paruh baya yang selalu menebarkan semangat menuntut ilmu agama, sabar mengajarinya mengaji dan bahkan secara tidak langsung menjadi sosok ayah ke dua bagi semua muridnya.

“Badru, bangun, Nak. Ayo siap-siap salat subuh.” Suara lembut Abah Syamsul tak pernah menggagalkannya dari terjaga dan bersiap. Mengalahkan panggilan ibu yang kerap membuat ia malas bangun.

Ia kenakan sarung, lalu berwudu. Pamit pada Mak yang selalu sendiri di rumah. Ia mengikuti langkah sang guru menuju rumah lain. Membawakan obor untuk sang guru sebagaimana pinta Maknya.

Bila waktu asar tiba, Abah Syamsul akan melakukan hal yang sama seperti subuh. Mengetuk setiap pintu rumah untuk menjemput murid-muridnya. Bahkan bila hujan deras mengguyur, lelaki paruh baya itu tetap menjemput anak-anak agar tetap ke langgar. Orang tua mereka begitu ramah menyambut kedatangan sang guru mengaji. Tak sedikit dari mereka yang memberi Abah Syamsul makanan sepulang dari mengaji. Apabila anak-anak enggan pergi, maka mereka memelototi anaknya.

“Mualim, maaf anak saya memang bandel.” Sang ibu mencubit lengan si anak agar lekas pergi mengikuti gurunya.

Abah terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Dia masih anak-anak. Lama-lama juga akan terbiasa.” Selalu seperti itu jawaban dari Abah Syamsul.

Waktu terus berlalu. Badru meneruskan langkah gurunya. Menerangi langgar dengan menyiarkan ilmu agama pada bocah-bocah yang masih polos dan belum mengetahui banyak hal tentang Islam. Ia juga tak pernah alpa menyerukan salat berjamaah pada warga.

Namun yang dihadapi Badru dengan Abah beda. Orang-orang di zamannya kini tak serupa dengan orang semasa ia kecil. Mereka selalu menghindari ajakan Badru, seakan mengaji di langgar hanya membuang waktu. Ketika lelaki itu mengetuk setiap pintu rumah, tak jarang mendapat penolakan. Orang tua mereka muncul dengan ekspresi kasihan, bahkan ada yang memasang wajah masam. Berbagai alasan diberikan agar anaknya selamat dari ajakan Badru.

“Anak saya baru pulang sekolah. Ada les tambahan dari guru matematikanya. Jadi hari ini tidak mengaji. Kasihan, takut kecapian dan mentalnya jadi rusak.”

“Maaf, Tad, anakku sakit. Kemarin ia kehujanan saat mau ke langgar.”

Badru hanya mengangguk paham. Di zamannya dulu, Emak tidak pernah mengizinkannya bolos mengaji. Apalagi hanya pilek. Begitu pula dengan teman-teman yang lain, yang selalu kesulitan mendapat alasan untuk bolos mengaji.

Lain rumah lain lagi jawabannya. Bahkan ia pernah mengetuk pintu rumah, dengan banyak orang di dalamnya, namun tak satu pun dari mereka yang keluar untuk sekadar menjawab salamnya. Seakan Badru adalah makhluk tak terlihat.

Setelah berkali-kali mendapat penolakan di setiap hari, Badru memutuskan tidak lagi mengajak mereka. Apalagi pernah ada warga yang menyinggungnya dengan perkataan menyakitkan. Bahwa Badru ingin menjadi sesepuh agar dihormati dan terlalu memaksakan kehendaknya pada orang lain. Ia hanya menunggu di langgar sembari mendaras Al-Quran. Jika ada satu atau dua anak yang datang mengaji, barulah lelaki itu berhenti dan mulai mengajar. Jika tak satu pun datang, ia akan terus mendaras hingga waktu magrib tiba. Ia kumandangkan azan dan menunggu warga datang berjemaah. Bila tak ada yang datang untuk mencapai pahala dua puluh tujuh, Badru salat sendiri dan berzikir hingga Isya tiba.

Ia tidak pernah mengutuk orang-orang yang malas mengunjungi langgar. Ia juga tak menyalahkan kecintaan mereka pada duniawi yang mengalahkan kesadaran akan akhirat. Sikap mereka hanya ia ingkari dalam hati, sebagaimana yang diajarkan gurunya, ketika menghadapi orang-orang mungkar yang bebal. Memang zaman yang dihadapinya terlalu gila. Terkadang ia juga merenungkan kondisi kini dengan dosa-dosanya di masa lalu. Seakan hari ini adalah ganjaran atas perbuatan celanya dulu.

Emaknya mengisahkan, Abah Syamsul datang menjemput Badru ketika ia tak di rumah. Saat itu hujan deras.  Tanpa menyilakan masuk karena takut terjadi fitnah, janda itu hanya membuka pintu dan mengatakan anaknya sudah pergi sedari tadi bersama temannya.

“Sedari tadi saya di langgar menunggu mereka. Tidak ada satu pun yang datang. Maka dari itu, saya kemari menjemput. Takutnya mereka mengira di langgar kosong,” kata Abah Syamsul cemas.

“Mungkin mereka ada di rumah salah satu temannya, Mualim. Biar saya susul. Mualim tunggu saja di langgar,” kata perempuan itu, bersiap pergi dengan perasaan tak enak.

“Tidak apa-apa. Biar saya yang mencari. Sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai guru mereka.”

Abah Syamsul pamit dengan wajah tenangnya. Ia melangkah hati-hati di bawah guyuran hujan, menerjang angin kencang yang meniup tubuhnya. Tak ada yang mengira bahwa sore itu Abah menjeput mereka untuk yang terakhir.

Sepulang dari menonton organ tunggal yang diadakan desa sebelah, kepulangan Badru disambut Mak dengan sabetan rotan. Mata Mak sembab, bahkan masih mengurai air mata ketika memukuli dan memaki anaknya malam itu. Ia benar-benar kecewa dan malu.

“Rasakanlah nanti. Bagaimana sakitnya memiliki anak didik seperti kau!”

Malam itu Badru meringkuk di kamar tanpa makan malam. Ia kesal pada Abah. Jika saja sore itu Abah Syamsul tidak datang mencarinya, Mak tidak akan marah sampai memukuli dengan rotan. Teman-teman yang lain pun pasti bernasib sama sepertinya. Badru berharap tidak lagi mengaji pada Abah. Harapan itu terkabul begitu saja di malam itu juga, beriringan dengan pengumuman kematian Abah Syamsul dari pengeras suara.

Badru mematung di hadapan jasad gurunya yang telah dikafani. Istrinya, Umi Zainab mengatakan betapa sang suami selalu menceritakan murid-muridnya. Terutama Badru.

“Katanya Badru itu cerdas. Bahkan beliau selalu berharap agar Badru menjadi penerusnya kelak.”

Pecah tangis Badru saat itu. Doanya malam tadi dikabulkan Tuhan. Ia merasa bersalah dan berdosa atas kenakalan dan harapannya sendiri. Jika saja ia dan temannya tidak bolos dan berbohong pada orang tua mereka, barangkali Abah tak akan mencarinya di tengah guyuran hujan yang mengakibatkannya terpeleset dan jatuh dengan kepala membentur batu. Setelah ini, tidak akan ada lagi yang menjemputnya.

Waktu terus berlalu. Badru tumbuh menjadi seorang pria dewasa, lulusan pesantren salaf yang direkomendasikan Umi Zainab. Badru menjadi guru mengaji di langgar tempat ia belajar dulu. Harapan guru dan serapah Mak seakan terwujud seiring berubahnya zaman dan generasi.

Hujan kian deras. Di langgar itu ia masih sendiri. Dengan tubuh ringkihnya, Badru bangkit untuk menyalakan lampu. Setelahnya ia kembali mendaras sembari menunggu muridnya datang. Dari arah jendela, ia mendengar seseorang berbisik padanya.

“Kau tidak salah. Kau tidak akan celaka. Pulanglah, Nak. Aku menunggumu.”

Badru diam sejenak. Darahnya berdesir. Air mata menetes membasahi sarung usangnya. Ia yakin suara itu adalah suara Abah.

—Selesai—



[1] Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Surah Ar-Rahman

Bagikan:

Penulis →

Bia R.

lahir dan tinggal di Sukabumi. Beberapa cerpennya dibukukan dalam antologi bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *