Senja Terakhir di Tanah Jajahan




PASAR selalu ramai menjelang siang. Hiruk-pikuk para pedagang bercampur dengan teriakan tawar-menawar, gemericik air dari pedagang ikan, serta suara kayu ditumbukkan di meja penjual daging. Di antara itu semua, Suhita berdiri di lapak ayahnya, menyusun karung-karung beras dengan cekatan. Ia bukan gadis yang mudah menyerah pada nasib. Meski hidup sederhana, ia menolak menjadi perempuan yang sekadar menunggu garis takdir. Saat tangannya sibuk menakar beras, matanya sesekali mencuri waktu membaca lembaran-lembaran buku tua yang ia simpan di sudut lapak.

Ayahnya, Pak Darma, adalah seorang penjual beras yang jujur dan disegani. Sementara ibunya, Mirah, bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang Belanda kaya. Suhita membenci pekerjaan ibunya. Baginya, menjadi pelayan bagi kaum penjajah adalah penghinaan. Namun Mirah selalu berkata, “Nak, hidup ini seperti air sungai. Kita harus mengalir, mencari celah untuk bertahan.”

Namun, Suhita tidak ingin sekadar bertahan. Ia ingin berjuang. Ingin sekolah, ingin berdiri setara dengan lelaki-lelaki yang mendapat pendidikan. Baginya, buku adalah senjata, dan pengetahuan adalah bentuk perlawanan.

Hari itu, pasar yang biasa ramai mendadak berubah menjadi neraka. Pasukan Belanda datang dengan sepatu-sepatu keras yang menginjak tanah tanpa belas kasihan. Mereka menuntut pajak lebih tinggi. Para pedagang menolak. Dalam hitungan detik, pasar berubah menjadi ladang perlawanan. Teriakan menggema, barang-barang berserakan. Suhita, yang baru saja menutup buku bacaannya, berdiri di tengah kekacauan.

“Cukup!” teriaknya, suaranya lantang menembus gemuruh. “Kami sudah cukup menderita! Jangan rampas lagi apa yang kami punya!”

Suaranya menarik perhatian seorang tentara muda Belanda, Willem van der Meer, pemuda bermata biru seperti langit sebelum hujan. Dalam kekacauan itu, ia melihat seorang gadis pribumi berdiri tegak menantang senjata.

Suhita ditangkap. Di bawah perintah atasannya, ia dibawa ke markas. Namun, malam itu, selnya didatangi oleh Willem.

“Ini milikmu,” katanya, menyodorkan buku yang tadi siang dirampas dari tangan Suhita.

Gadis itu mendongak perlahan, sorot matanya tajam dan dingin. Ia tidak langsung mengambil buku itu.

“Kau pikir aku butuh belas kasihan dari penjajah?” katanya datar.

Willem sempat terdiam, lalu berkata pelan, “Aku hanya ingin mengerti… Apa yang kau perjuangkan? Apa yang ada di dalam buku ini?”

Suhita menyeringai kecil, sinis.

“Tak ada yang bisa kau pahami dari isi buku itu. Kalian hanya tahu bagaimana menindas, bukan memahami. Jadi simpan saja keingintahuanmu untuk negeri kalian sendiri.”

Itulah awal mula segalanya.

Dalam percakapan-percakapan selanjutnya, Willem mulai meragukan misinya sebagai penjajah. Ia mendengar kisah tentang penderitaan rakyat pribumi dari mulut Suhita sendiri, melihat keteguhan yang tak tergoyahkan dalam dirinya. Ada sesuatu dalam cara Suhita berbicara, dalam api yang membakar matanya saat menantang ketidakadilan.

Namun, Suhita membenci semua yang berbau Belanda, termasuk Willem. Tapi Willem bukanlah Belanda yang ia benci. Ia mendengarkan, belajar, dan mulai berubah. Diam-diam, Willem mempertanyakan peranannya sebagai penjajah. Ia teringat ibunya yang pernah berkata, “Hati manusia tidak ditentukan oleh bangsanya, melainkan oleh pilihannya.”

Beberapa minggu setelah penangkapan, keluarga Suhita diberi kesempatan menebusnya. Tapi jumlahnya terlalu besar. Ayahnya yang putus asa mendatangi Van Acker, rentenir Belanda kaya dan kejam. Van Acker setuju memberikan pinjaman, tapi dengan satu syarat. Suhita harus menjadi istri keduanya.

Berita itu menghantam Suhita seperti petir. Ia berteriak, menangis, memberontak. “Tidak! Aku lebih baik mati daripada menjadi istri Belanda kejam itu!”

Namun, keluarganya tak punya pilihan lain. Willem, yang mengetahui rencana ini, merasa hatinya hancur. Ia pun merancang pelarian.

Malam sebelum pernikahan, Willem menyelinap ke rumah Suhita. “Kita harus pergi sekarang,” katanya.

“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Suhita.

“Karena aku ingin melihat dunia yang berbeda, dunia di mana kau dan aku tidak dipisahkan oleh batas-batas yang diciptakan oleh orang lain.”

Suhita terdiam. Tapi saat mendengar langkah-langkah kaki di luar, ia menggenggam tangan Willem dan berlari.

Mereka menyeberangi sungai, bersembunyi di rumah-rumah kosong. Malam-malam mereka lewati dengan berjaga. Willem menyalakan api kecil. Nyala hangatnya menyentuh tangan mereka yang menggigil.

“Apa mimpimu?” tanya Willem, suaranya pelan namun penuh harap.

Suhita menoleh, wajahnya dingin seperti angin malam di lereng gunung. “Aku ingin sekolah. Aku ingin membaca tanpa takut dihentikan. Aku ingin menjadi lebih dari sekadar anak pedagang yang dianggap tidak pantas duduk di bangku yang sama dengan kalian. Aku ingin kalian…penjajah…pergi dari tanah kami.”

Willem menunduk. “Dan aku… aku ingin melihat dunia dengan mataku sendiri, bukan melalui perintah yang diberikan padaku. Aku ingin menghirup udara tanpa merasa bersalah. Ayahku adalah kolonel, ibuku seorang wanita setia kerajaan, tapi aku lahir dari darah yang tidak pernah kupilih. Setiap hari aku merasa muak pada seragam ini, pada apa yang harus kulakukan. Jika aku bukan seorang Belanda, hanya pribumi biasa, akankah kau mencintaiku?”

Suhita mengangkat alis. “Cinta? Itu bukan hal yang kutahu atau kupedulikan, Willem. Tapi jika memang kau bukan penjajah, bukan bagian dari mesin yang menindas kami… mungkin aku tidak akan membencimu.”

Mereka terdiam. Api di antara mereka berkedip pelan. Suhita akhirnya berkata, nyaris seperti gumaman, “Aku tidak tahu dunia tanpa batasan ini mungkin ada atau tidak… tapi jika aku boleh bermimpi, mungkin aku bisa bermimpi… tanpa harus memusuhi hatiku sendiri.”

Dalam persembunyian, mereka perlahan membuka hati satu sama lain. Willem mengajari Suhita bahasa Belanda, Suhita mengenalkan Willem pada dongeng-dongeng rakyat. Mereka menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan: secangkir air hangat, bintang-bintang malam, dan genggaman tangan yang tak ingin dilepas.

Namun, dunia luar tak tinggal diam. Orang tua Willem mengetahuinya. Ayahnya, seorang kolonel Belanda, merasa dikhianati.

“Kau mencoreng kehormatan Belanda dengan jatuh cinta pada budak pribumi!”

Willem berdiri di hadapan ayahnya. “Aku lebih memilih mati daripada hidup tanpa dia.”

Senja merayap di cakrawala. Pasukan Belanda mengepung mereka di tepi hutan. Tembakan pertama meledak. Willem terhuyung, darah mengalir dari dadanya.

Suhita menjerit, menangkap tubuhnya sebelum jatuh ke tanah.

“Tidak! Kau tidak boleh mati! Jangan mati di tanah yang kalian rampas dari kami!”

Willem tersenyum lemah, matanya berembun. “Andai kita bertemu dalam dunia yang berbeda… yang bukan seperti ini…”

“Dunia seperti itu takkan pernah ada kalau kalian terus datang membawa senapan dan merasa berhak atas segalanya,” Suhita bergetar. “Kalian sudah merampas tanah kami, kemerdekaan kami, dan sekarang… nyawa orang yang kucintai!”

Willem menutup matanya, tenang dalam pelukan Suhita, seolah beban seluruh perang lenyap bersama napas terakhirnya.

Senja terakhir di tanah jajahan menjadi saksi.

Suhita tidak menangis. Matanya kering, tapi jiwanya terbakar. Ia berdiri di tepi sungai tempat mereka biasa berbicara, membiarkan air menyapu kakinya seperti doa yang tak selesai.

“Kalian kira kami akan tunduk? Tidak, Willem… kematianmu tidak akan sia-sia. Kalian akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan. Aku akan melawan. Aku akan membalas.”

Ia tidak berhenti. Ia melanjutkan perjuangan. Kini, bukan hanya untuk bangsanya, tapi untuk cinta yang telah direnggut dengan cara paling kejam oleh tangan-tangan penjajah itu.

Di kemudian hari, di pasar tempat mereka pertama kali bertemu—yang kini lebih sepi dan redup dari biasanya, tak seramai masa lalu—seorang anak kecil menarik ujung kain ibunya dan menunjuk ke arah perempuan yang duduk sendirian di tepi sungai.

Langit sore berwarna tembaga, pantulan cahayanya jatuh ke permukaan air yang tenang, seperti tak tahu bahwa di sanalah darah dan air mata pernah tumpah. Perempuan itu menatap jauh ke hilir, rambutnya dikecup angin sore, matanya kosong namun tak mati.

“Bu, siapa dia? Kenapa dia selalu duduk di sana sendirian?”

Sang ibu terdiam sejenak, memandang ke arah perempuan itu dengan tatapan iba dan hormat.

“Dia adalah Suhita,” bisiknya lirih. “Perempuan yang dulu mencintai seorang Belanda… dan kehilangan segalanya. Rumahnya, keluarganya, dan orang yang ia cintai direnggut oleh perang yang tak pernah ia inginkan. Tapi dia tak pernah kehilangan keberanian. Dia tidak menyerah pada luka, tidak tunduk pada para penjajah itu. Dia… tetap Suhita, perempuan yang berdiri di tengah badai dan tetap memilih melawan, bahkan ketika hatinya sendiri hancur.”

Angin membawa kisah itu pergi bersama gemericik sungai, meninggalkan seorang anak yang tertegun, dan seorang ibu yang masih menyimpan cerita di balik mata tuanya.

Bagikan:

Penulis →

Alia N. Hanifah

Alia Nur Hanifah lahir di Klaten, 15 September 2002. Lulusan Program Studi Sastra dari UIN Raden Mas Said Surakarta, ia kini tengah menanti peluang kerja sambil terus menjaga kewarasan dan menyuarakan isi hati. Baginya, kata-kata adalah rumah paling jujur untuk segala rasa. Disela waktu luang, ia gemar menatap langit senja dan menikmati cerita manusia lewat secangkir kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *