Mengembara dalam Cerpen-Cerpen Dunia Dongeng

Judul      : Pohon yang Tumbuh Menjadi Tubuh
Jenis      : Kumpulan Cerpen
Penulis    : Faisal Oddang, dkk.
Penerbit   : Gora Pustaka, Makassar
Cetakan    : Pertama, Maret 2018
Tebal      : 136 halaman 
ISBN       : 978-623-99344-2-0

Cerpen-cerpen yang terpilih mengisi antologi “cerpen dunia dongeng” ini merupakan cerpen-cerpen yang ‘lolos’ dari kriteria yang disebut “Cerpen Dongeng”. Apa “Cerpen Dongeng” itu dan seperti apa kriterianya?

Cerpen dongeng bukan proklamasi sebuah ‘genre’ baru sebagaimana ‘puisi esai’ yang dikenal belakangan. Cerpen dongeng hanya sebuah ‘keisengan kreatif’ yang memcoba kembali ke akar tradisi, bercerita dengan ungkapan-ungkapan baru, gaya baru, dan juga imaji-imaji baru namun sumber inspirasinya dipungut dari khasanah sastra lama: dongeng!

Masyarakat kita sejak dahulu sudah tidak asing dengan ‘dunia dongeng’, sebuah fantasy yang indah dan menyenangkan. Dalam sebuah dongeng segala-galanya diupayakan menjadi indah oleh penuturnya:  Bidadari yang cantik, pangerang yang tampan, dan si miskin –kalau pun ada dalam dongeng—harus pula menjadi si miskin yang indah budi pekertinya. Tentu saja untuk menonjolkan keindahan-keindahan tersebut perlu pula ada karakteristik yang sebaliknya,  yang diperankan oleh tokoh-tokoh yang dalam istilah sastra disebut “antagonistis”, agar keindahan dongeng menjadi tidak vulgar. Tapi ‘dongeng’ yang ingin ditampilkan dalam cerpen-cerpen dari “dunia dongeng” ini bukanlah melulu keindahan yang meninabobokkan pembaca, bukan bacaan pengantar sebelum tidur. Ada sesuatu pergulatan kreatif untuk mengungkap kembali keindahan-keindahan dunia dongeng itu, dengan cara bertutur (bercerita) dalam khasanah sastra modern: cerpen!

Dongeng dikenal sebagai karya fiksi dalam khasanah sastra lama. Sebagaimana mantra, dongeng dianggap memiliki kekuatan ‘magis’ untuk memengaruhi ‘suyet’ (objek atau orang yang membaca/mendengarnya), hingga kekuatan tersebut dianggap sebagai sebuah sugesti. Sutardji Calzoun Bachri mengolah mantra menjadi puisi baru, dan Danarto dan cerpenis-cerpenis lain juga telah mengolah ‘dunia dongeng’ dalam sastra baru yang mengasyikkan. Jadi cerpen ‘dunia dongeng’ sesungguhnya sama sekali bukanlah sebuah genre baru dalam prosa Indonesia kita.

Cerpen-cerpen ‘dunia dongeng’ tentu saja harus mengalami perkembangan dalam ‘bentuk’ bercerita, ketimbang dengan ‘bentuk’ bercerita pada dongeng-dongeng asli yang masih menggunakan gaya, ungkapan, dan kata-kata dari khasanah sastra lama. Tentu saja kata-kata pembuka misalnya,  yang menjadi ciri khas sebuah dongeng asli seperti ‘syahdan’, ‘sahibulhikayat’. ‘pada zaman dahulu kala’, dan semacamnya tidak perlu dipertahankan pada cerpen-cerpen dunia dongeng.

Cerpen adalah bentuk praktis yang banyak digemari oleh kebanyakan penulis kita. Hampir semua penulis novel pada awalnya pernah menulis cerpen, atau merangkap menulis cerpen sekaligus novel. Cerpen juga adalah bentuk ekspresi prosa yang paling praktis dan paling memungkinkan untuk diciptakan secara kreatif dan baru. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya aliran cerpen yang telah diperkenalkan oleh para cerpenis kita sejak era sastra angkatan dua puluhan hingga saat ini. Idrus dalam ‘corat-coret di Bawah Tanah”nya telah memperkenalkan gaya kesederhanaaan baru dalam prosa Indonesia, dan ‘Stream of Consciousness’ (arus kesadaran) adalah satu contoh paling menonjol, pernah diperkenalkan oleh pengarang prosa Iwan Simatupang dalam novel maupun kumpulan cerpennya “Tegak Lurus dengan Langit”. Bahkan beberapa pengamat sastra menilai bahwa “Tegak Lurus dengan Langit” adalah cikal-bakal dari novel-novel Iwan Simatupan seperti Ziarah, Kering, Merahnya Merah dan Koong. Begitu juga dengan cerpen-cerpen Putu Wijaya. Kemudian Danarto, Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan  tokoh-tokoh prosa kuat lainnya telah memperkenalkan gaya dan aliran yang lain pula.

Menggali kembali khasanah sastra lama adalah semangat yang sesungguhnya menjadi tema-tema yang sering dibingkai dalam berbagai kegiatan sastra modern. “Kembali ke akar tradisi” adalah sebuah ajakan paling bijak, yang memang perlu mendapat perhatian dan apresiasi dari setiap kita yang memiliki kesadaran budaya, baik sebagai sastrawan,  akademisi, dan pekerja budaya lainnya.

Pada Forum Sastra Kepulauan VIII di Benteng Ford Rotterdam Makassar (2014) yang bertema “Jembatan Kenangan Komunitas Memori “, sesungguhnya adalah sebuah upaya untuk kembali ke akar tradisi. Ketua Forum Sastra Kepulauan Asia Ramli Prapanca mengatakan, “Forum Sastra Kepulauan akan membuat buku yang isinya mengenai kisah dari pengalaman, memori, catatan perjalanan, antropo-sastra, puisi, cerpen, yang berakar dari mitos, dongeng, cerita rakyat, nyanyian rakyat, berlatarkan kampung, laut dan kepulauan sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini dan akan datang”.  Even tersebut mencoba menggali akar peradaban dengan mengusung tema yang dimaksud. Itulah sebabnya ‘Sinrili’ sebagai musik-sastra tutur-tradisional Makassar, dianggap sebagai pembuka kegiatan yang tepat pada perhelatan sastra tersebut. Meski dalam kegiatan-kegiatannya kata tradisi, tradisonal, dan tradisionalisme  masih dipertentangkan juga dengan kata modern, modernitas, dan modernisme. Batas-batas antara apa yang disebut sebagai ‘kesenian tradisional’ masih tampak jelas warna hitam-putihnya dengan apa yang disebut sebagai ‘kesenian modern’. Tradisi masih menganut pengertian linear sebagai sebuah peradaban atau sesuatu karya dari sebuah peradaban yang merujuk pada masa lalu.

Munsi II di Jakarta (2017) mengalami kemajuan pemahaman dengan mengusung tema ”sastra merekat kebinnekaan”. Salah seorang keynote speaker Munsi II, Abdul Hadi WM yang dikenal sebagai penyair dan budayawan, mencoba ‘mengurai’ lebih jauh makna tradisi, tardisional, dan tradisionalisme dilihat dari sudut pandang kebinnekaan. Di dalamnya sudah termasuk bagaimana memerlakukan sastra tradisi (onal) seperti dongeng, bisa diangkat kembali ke permukaan (ke pelataran sastra modern) dengan bentuk dan corak lain yang dapat diapresiasi dalam pandangan kekinian. Sastra tradisional harus dieksploatasi dalam bentuk baru sehingga nilai-nilai sastra tradisional yang agung itu tidak tenggelam dalam terungku zaman, atau tidak sekadar dipuja-puja sebagai sebuah ‘artefak’ dengan kebanggaan yang megalomania.

Demikianlah epos-epos besar seperi La Galigo, Mahabarata, Ramayana, harus dieksplotasi — harus diapresiasi, harus ‘ditulis’ kembali  dalam bentuk dan cara bercerita yang lain. Ia tidak cukup hanya dipuja-puja sebagai karya sastra agung yang pernah ada dalam khasanah sastra di masa lalu. Dan demikianlah cerpen ‘dunia dongeng’ ingin mengeksploatasi dongeng-dongeng yang pernah ada, atau dongeng-dongeng yang belum pernah ada sebelumnya, dengan bentuk dan gaya bercerita yang baru pula.

Mencapai tujuan tersebut memang tidaklah mudah, terutama karena masih absurdnya rumusan-rumusan atau kriteria yang menjadi dasar untuk menetapkan sebuah cerpen dapat disebut sebagai cerpen dunia dongeng ini. Pedoman yang telah disampaikan sebelumnya dalam pengumuman memberi keterangan bahwa cerpen dongeng adalah cerpen-cerpen yang ditulis dengan semangat berdongeng, namun “… yang tertinggal dalam sebuah cerita pendek yang berangkat dari dunia dongeng ini hanyalah gejala “atavisme” dari dongeng, sebuah gejala yang “mewahyakan” keturunan dari realitas dunia kedua (realitas imajiner) yang tentunya tidak bisa diukur lagi dengan menggunakan ukuran-ukuran realitas dunia pertama atau realitas keseharian. Dalam realitas dunia kedua ini tokoh-tokoh, latar belakang (setting) maupun alur cerita boleh bersifat manasuka. Orang-orang boleh tak lagi manusia darah-daging, boleh manusia-manusia lunatik, manusia-manusia super, atau bahkan manusia bukan “manusia”. Itulah manusia imajiner sebagai tokoh (tokoh) yang bermain dalam cerpen dari dunia dongeng ini. Demikian pula dengan setting boleh tidak di dunia, boleh di akhirat (seperti cerpen “Sebelum Pertemuan Dimulai” karya A.A. Navis), atau tidak di mana-mana (seperti cerpen “GODLOB” karya Danarto). Sedang alur pun boleh tanpa alur sama sekali. Inilah wajah cerpen-cerpen dari dunia dongeng. Sebuah wajah yang tidak perlu menakutkan, meski juga tidak harus membuat kita kesenangan karena pastilah tak akan menemukan  cerita kita di dalamnya. Dunia dongeng adalah dunia imajinasi yang mungkin memang tidak membingkai wajah kita. Cerpen dunia dongeng adalah sebuah cerpen modern yang lain dari sebuah cerita dongeng dalam pengertian “cerita rakyat” yang sepenuhnya bersifat fantasi itu.

***

Banyak peserta yang meminati kegiatan penulisan cerpen dunia dongeng yang digagas oleh “Mimbar Penyair Makassar” (MPM) ini. Akan tetapi sayangnya banyak di antara mereka yang masih salah menafsirkan apa yang sesungguhnya disebut sebagai cerpen dunia dongeng sebagaimana yang digagas MPM ini. Di antara yang salah tafsir itu ada yang memahami bahwa cerpen dunia dongeng adalah cerpen yang diangkat dari sebuah dongeng asli dari suatu daerah,  sehingga peran dari cerpenis tinggal menyalinnya saja dalam bahasa Indonesia tanpa berani mengutak-atiknya secara kreatif, misalnya mengganti karakter tokoh-tokohnya, seperti yang dilakukan Danarto maupun Putu Wijaya terhadap tokoh-tokoh perwayangan. Juga banyak diantara kontributor yang mengira cerpen dunia dongeng identik dengan cerpen-cerpen ‘aneh’, cerpen ‘horor’ atau cerpen ‘absurd’.

Mereka yang menafsirkan seperti itu tentu saja masih ada benarnya. Karena ‘dongeng’ yang kaya fantasi itu memang kadang-kadang juga memasuki wilayah cerita ‘aneh’, horor, dan absurd.  Bagi pengirim cerpen seperti itu editor antologi ini masih memaklumi, sepanjang cara atau gaya berceritanya memang cukup bagus dan dinilai layak menjadi bacaan sastra. Namun jika cara berceritanya sudah mengarah ke cerpen-cerpen horor ‘an sich’ tanpa sentuhan sastra, editor terpaksa mengabaikannya.

Di antara cerpen-cerpen yang dikirim kontributor ada pula yang  terpaksa kami tolak dengan alasan cerpen tersebut sama sekali tidak bermuatan ‘dunia dongeng’, juga ada karena cerpen-cerpennya sudah pernah termuat pada salah satu antologi cerpen atau buku kumpulan cerpen yang telah terbit sebelumnya. Cerpen-cerpen yang ditolak tentu saja tidak berkaitan dengan kualitas, hanya tidak bersesuaian dengan ‘angle’  yang ingin kami usung melalui antologi ini.

Akhirnya editor antologi cerpen “dunia dongeng” mengucapkan terimakasih kepada semua kontributor yang telah mengirim cerpen pada kami, baik yang telah kami nyatakan terpilih maupun yang belum sempat terpilih untuk mengisi antologi cerpen khas ini. Mari mengembara dalam certpen-cerpen dunia dongeng.

Bagikan:

Penulis →

Badaruddin Amir

Penulis cerpen, esai, dan opini sastra. Tinggal di Barru, Sulawesi Selatan.