Perjalanan Rahasia Tentang Angin

Hijrah Muhammad

aku tahu hidupmu lebih gersang dari padang pasir
bahkan padang batu sekalipun
namun detak nafasmu jujur, seperti tetes airmata
dari qalbu-qalbu hawa

Muhammad, kata-katamu terukir jadi sabda
dan bergulung seperti ombak di dada domba-domba
yang kau sebut di akhir hayat:
ummati, ummati, ummati, bisikmu
apakah gerangan maksud ibamu itu jika segalanya telah
terang jadi berlian di leher kebimbangan

perjalanan rahasia tentang angin
yang telah mengantarmu ke sebuah gua kecil di bukit jabal nur
tempat di mana kau menggoreskan sajak-sajak sakti

dari sana kau mengisahkan dirimu yang sesungguhnya
berkat Lahab dan Jahal yang murka atas sabda-sabda
melambung ke setiap jazirah yang dibawa unta-unta
di tengah padang lata

lalu keyakinan macam apa yang mengantar tubuhmu
menjadi tabah memegang erat sebuah nama dari cahaya
langit dan bumi yang menumbuhkan buah kurma

bukankah kau memulai riwayat cahaya dari gua ke gua,
dari kebimbangan, kesendirian menuju keheningan?

penciptaan Adam telah terukir pada kitab lembab
perihal ia mencari hawa
lalu melahirkan Qabil dan Habil dalam keadaan sahaya




Sirah Adam

wahai Qabil dan Habil, engkau bermula semisal ular
yang mempersiapkan sesaji bagi si dewi

tapi sebab pertengkaran melawan saudara
salah satu darimu berdarah,
barangkali sebab itu tubuhmu berubah jadi nanah

dan darahmu mengalir ke sebuah oase
di mana seekor burung nuri tiba membawa ibrah
bagaimana memusnahkan bangkai saudara
supaya aromanya tak menyengat ke anak cucunya

tapi angin telanjur lantang menyembunyikan
segurat kisah purba yang menyimpan rahasia di baliknya:

“kenapa tubuh kita tak sama semisal bangkai ular,
menghilang tak meninggalkan nisan atau jejak kehidupan?”

hai Adam, anak cucumu sungguh iri pada binatang melata
yang tak tahu dirinya lebih hening dari manusia

dalam buku sejarah leluhur yang ditinggalkan
sejarah mengalir ke selokan terakhir
berbusa-busa menyimpan rahasia




Teguh Iman

kadang segala yang datang goncang teguh iman 
tapi aku masih punya butir imanen yang kulentikkan
ke pundak bayangan supaya ia tak berani mendekati
si alai-lunglai tak bertuan ini.

aku juga punya cemeti yang kulecutkan bila jari-jari
mulai merasakan dingin-merinding
atau bising mengantar terasing di sudut rasa asin.
di antara sepasang bibir tubir keimanan.

kenapa iman terasa seperti pedati, semisal aku lembunya 
menghela kokoh diri supaya tak cepat rubuh dan melepuh
tercampak musuh ke kandang kekalahan.

meski memang kalah dan menang bukan soal pilihan
melainkan seberapa tegak diri tergenggam janji
terjaga atas setiap bahaya atau siasat waktu yang ragu-ragu
mengibaskan diri merubuhkan imanku.

maka aku segera menyalakan imanen dan ujung cemeti
supaya tampak berani jika musuh
menyerang dari depan atau belakang.




Baldwin Membawa Tentara Menuju Nil

tuntas sudah tugasnya di lembah kidron
baldwin bosan hanya jadi tukang pandu bagi
si cleopatra di kota tuanya, meski
adelaide  tak merestui perjamuan, sebab ia
hanya merindui palermo di bawah umbul-umbul.

tapi baldwin bosan pula bekerja dengan telunjuk
ke syiria dan armenia yang durhaka
hingga ia butuh ketenangan di deras nil
menatap ikan melompat nan mendarat.

baldwin memastikan hasratnya yang nekat,
merebut langit mesir dan syiria
di tangan atabeg yang 
tegak di tanah mosul dan damaskus.

aku meyakini yakin dalam dadaku

baldwin tak menghiraukan peringatan setan
juga rintihan frank seperti ada paragraf yang
hilang dalam ingatannya, hingga.

ia terkapar legam di perbatasan
tak sempat menangkap ikan yang
berkeliaran di nil yang panjang.




Peristiwa Doa

semisal kendaraan yang melintas di antara pemukiman dan sepetak lahan
hanya sejenak angin berwajah anggun mendesir ke punggung pejalan,
sementara para kiai masih menunggu tuhan di sudut mushalla
aku pernah membayangkan diri meninggalkan sebuah tempat yang pernah
menjadikanku tinggi. tapi lidah telanjur sedingin pohon pisang
tak mampu menghapus kelancangan
sementara aku masih menyesali setiap yang terlewat, semisal lelaki yang
menunggu seorang kekasih yang telanjur pulang
sekelebat bayangan tengah berjalan ke sudut paling rahasia dalam kerumun peristiwa
serta segunduk kawan yang muram membicarakan perihal perjalanannya
dan siasat doa supaya terkabulkan
tapi hanya melintas kembali, sejenak saja
segala dosa berguguran seperti daun tua




Ali Batu

perahu terbelah. lalu ia mengubah pasukan burung jadi batu. telunjuknya tongkat musa yang mengubah deret benda jadi batu dalam kesendirian di rahim tuhan yang menyatu. pernah suatu malam ia tak mampu memisahkan antara hidup dan mimpi lantas dijatuhkan sunyi yang sakti. turun wangsit untuk menyimpan paku, palu dan sebuhul sabuk saje yang diikat di pinggang waktu.

ali batu, aku membayangkanmu datang dari sudut malam bersama sebuhul kata yang pernah kau pendam dalam kesendirian.

Bagikan:

Penulis →

Mohamad Baihaqi Alkawy

Lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Mei 1991. Banyak menulis puisi dan esai. Puisinya  tersiar di Indo Pos, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Bali Post, Koran Kampung, Lampung Post, Haluan, Minggu Pagi, Riau Pos, JogloSemar, Radar Surabaya, Banjarmasin Post, Lombok Post, Suara NTB, Radar Lombok, Radar Mandalika, Buletin Egaliter, Jurnal Santarang, Majalah Sagang, dan Buletin Kappas. Juga Tersimpan dalam Buku Antologi 22 Penyair NTB, Dari Takhalli sampai Temaram (2012), Antologi Penyair Nusantara, Indonesia dalam Titik 13 (2013). Negeri Langit (2015). Salah satu cerpennya berhasil masuk antologi Lelaki Purnama dan Wanita Penunggu Taman (2012). Terpilih dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018. Bukunya, Tuan Guru Menulis, Masyarakat Membaca (2014). Kini tengah menyelesaikan studi Studi Agama dan Resolusi Konflik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.