BEBERAPA waktu ia tak kunjung mendapati kunci yang seharusnya dapat membuka pintu rumahnya. Ia juga tak tahu mengapa kunci yang semestinya berada di bawah keset raib tak tahu rimbanya. Ia mengingat-ingat, terakhir ia menaruhnya memang di situ dan tak pernah di tempat lain. Jika pun ia lupa, ia pernah lupa mengunci pintu itu seperti yang terjadi bulan lalu saat ia buru-buru berangkat kerja dan pulangnya mendapati pintu rumah terbuka dan di dalamnya berantakan bagai kapal pecah. Barangkali istrinya pulang sebentar untuk mengambil sisa barang-barangnya.
Di mana kunci itu ia letakkan?
Ia tak berpesan apapun pada Drio. Bukan sungkan atau tak ingin mengganggu aktivitas berkebunnya saban pagi, yakni merawat aneka sayuran hidroponik di halaman rumahnya. Tetangganya itu memang rajin sebagai petani rumahan. Aneka sayuran ia tanam: selada, kol, kacang panjang, hingga tomat dan cabai. Meski pekerjaan resmi yang senantiasa ia katakan adalah menulis novel–entah sudah diterbitkan atau belum. Dan ia sudah menganggap Drio sebagai saudara. Bukan lantaran sama-sama hidup sendiri sebagai duda. Namun, pagi itu, ia benar-benar buru-buru mengejar jadwal keberangkatan kereta.
Oleh karena keterburu-buruannya itu, ia sampai lupa membawa sebuah tas berisi hasil ulangan murid-muridnya. Ia hanya membawa tas berisi laptop beserta chargernya, smartphone beserta chargernya, buku-buku diktat mata pelajaran yang diampunya, dan beberapa pulpen dan spidol hitam (bahkan ia lupa membawa sisir dan pencuci muka). Seharusnya ia bagikan hasil ulangan itu dan memberikan tes perbaikan bagi murid yang nilainya kurang. Di kelas, ia tak bisa melaksanakan rencana itu. Ia harus berbohong bahwa ulangan mereka belum selesai dinilai dan akan dibagikan pada pertemuan berikutnya. Murid-murid sebagian kecewa, tapi banyak yang lega.
Hampir lima tahun ia menjalani profesi sebagai pengajar di sebuah sekolah swasta di luar kota. Meski itu tak sesuai dengan kualifikasi ijazahnya. Pekerjaan itu ia peroleh dari mertuanya yang menjadi kepala sekolah di tempat ia mengajar. Sebagai mertua tentu tak elok punya mantu pengangguran, apalagi bergelar sarjana. “Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika tak memiliki pekerjaan yang mumpuni,” kata si mertua suatu kali. Maka, berkat jabatannya, masuklah si mantu-pengangguran-itu di sekolah yang dikepalainya, meski tak punya latar belakang sebagai sarjana kependidikan.
Ketika si mertua pensiun, ia tetap mengajar di sekolah itu, sambil melanjutkan studi penyetaraan ijazah. Dan di situlah pertengkaran dengan istrinya mulai tumbuh, mengakar kuat, menjulangkan dahan-dahan, hingga berbuah perceraian. Sebuah persoalan yang sengaja dibuat-buat supaya dapat dijadikan bahan pertengkaran. Sebuah masalah kecil yang dibesar-besarkan agar dapat dijadikan alibi sebuah perpisahan. Lantas istrinya melanjutkan studi ke Eropa–yang memang menjadi cita-citanya sedari kecil–dan mungkin tengah menjalin hubungan asmara dengan lelaki bule setempat. Meski demikian, mertuanya tetap menganggapnya anak sebab ia tak punya anak lain selain anaknya.
Dulu Arman hanya tahu bahwa menikahi kekasihnya adalah keniscayaan. Ialah perempuan yang menjadi istrinya. Tak ada yang lebih istimewa selain menikahi seseorang yang paling dikasihi sepenuh hati. Dan Arman hanya tahu bahwa mencintainya adalah bukan kebetulan belaka. Ada semacam proses pencarian cinta yang amat luar biasa yang ia kerahkan sepenuh tenaga–semacam ijtihad lahir batin. Cinta yang kemudian bertunas menjadi harapan. Tumbuh menjadi keyakinan. Dan berbuah menjadi cahaya masa depan. Sebuah rencana memikat yang mudah disusun dalam angan-angan namun susah diwujudkan dalam kenyataan. Sedikit pun ia tak menyadari di balik ketergesaannya memutuskan perkara itu membuatnya kini meratapi penyesalan yang tak tertanggungkan. Ia kini hidup sendiri, di rumah yang dua tahun lalu dibelinya dengan cara kredit dari uang sertifikasi, tanpa seorang istri yang dulu begitu ia kasihi. Apalagi seorang buah hati. Ia benar-benar lelaki sepi.
Akan tetapi, buat apa menyesali yang telah terjadi?
Arman tampak waras saja meski tiada sedikit pun menampakkannya lewat gurat wajah atau perangai sehari-hari. Ia masih mengajar tiap pagi; menyapa Drio, novelis sekaligus petani rumahan–yang novel-novelnya belum ia beli di toko buku; dan mengejar kereta dan berjejalan di dalamnya. Lalu, sepulangnya, ia kerjakan pekerjaan rumah: menyapu lantai, membersihkan kaca jendela, sesekali mengelap lemari dan beberapa barang pecah belah di dalamnya, dan ketika usai, ia menyeruput kopi yang sengaja ia letakkan di meja tamu, dan jika capai, ia menonton tv yang menayangkan berita maupun informasi seputar selebriti. Ia jarang menonton sinema televisi yang tayang hingga ratusan episode, yang selalu berakhir tanpa klimaks.
“Rumput di halaman sudah meninggi. Sudah waktunya kau cabuti,” batinnya, kepada diri sendiri.
Sejatinya bukan itu yang ia permasalahkan. Namun, tangannya masih melepuh usai tertumpahi air panas sebelum berangkat ke sekolah yang membuatnya urung mencabuti rumput-rumput liar itu. Andai saja ia tak mengangkat telepon Ria, andai ia lebih sabar menuang air panas ke cangkir kopi, andai ia tak berpikir macam-macam soal mantan istrinya, tentu tangan itu sanggup mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus.
Yang terjadi tak demikian adanya.
Tak baik meratapi segala yang terjadi. Biarkan ia mengalir bagai air kali dan memuara ke laut. Begitu sebuah quote yang pernah ia baca di laman Facebook. Pemilik akunnya seorang ustaz karena di awal namanya ada gelar itu. Tapi ia tak peduli. Ia hanya mengakui bahwa ia terlampau mendalami keadaannya dan abai pada hal-hal penting di sekitarnya. Dan itu yang membuatnya makin larut dalam perbuatan yang telah diperbuatnya.
Sejak kecil ia dilatih untuk percaya diri. Percaya kepada kemampuan sendiri. Halangan sebesar apapun tak perlu gentar bahkan ditakuti. Semua adalah tantangan, yang bilamana sanggup dihadapi maka engkau akan menjadi orang yang kuat dan tahan banting. Demikian pesan bapaknya, tiga tahun sebelum ia masuk madrasah tsanawiyah. Ia begitu yakin bahwa apa yang dikatakan bapaknya benar. Ia buktikan itu ketika memilih masuk madrasah daripada sekolah umum. Ia yakin jika masuk madrasah ia makin mengerti ilmu agama di samping ilmu umum. Ia yakin mampu mengerjakan soal-soal ujian yang diberikan (baik UTS, UAS, maupun UN). Ia yakin akan menjadi seorang cerdik-cendekia yang mampu mengentaskan kebodohan di seluruh pelosok kampungnya. Ia yakin dengan mimpinya setinggi langit itu meski tak tahu akan jatuh di antara bintang-bintang atau terjun bebas ke bumi yang keras lahir batin. Ia hanya yakin.
Yakin yang terlampau menjulang.
Pada ujungnya, ia jatuh di comberan. Menjadi kuli batu dan bekerja apapun di malam hari untuk melunasi hutang-hutang yang dibuatnya semenjak kuliah–meski harus ia selesaikan dalam kurun tujuh tahun. Ia terjerembab dalam kerasnya dunia yang sebenarnya. Penyesalan memang senantiasa hadir belakangan.
Di balik itu semua, ia terlanjur mencintai seorang gadis teman kuliahnya. Begitu amat mencintainya dan bahkan ingin lekas menikahinya. Ia pun menikahi kekasihnya. Beruntung, ibu kekasihnya yang janda memberinya pekerjaan sebagai guru di sebuah sekolah yang dikepalainya, sehingga ia meninggalkan perkerjaan-pekerjaan kasarnya dan memulai merintis rumah tangganya. Meski kemudian keputusan buru-buru itu yang kini mesti ditanggungnya untuk melengkapi ketololannya menjalani hidup. Hidupnya jauh dari kata siap dan mapan.
Di rumah itu lengang. Jika Ria masih ada, tentu rumah itu berwarna. Arman hanya meratap pada dinding yang diam-beku, pucat warna putihnya, lumut menghijau di sana-sini.
“Semestinya hidup lebih adil kepadaku.”
Arman sempat meraba celah jendela kaca bersusun. Jerujinya yang longgar mudah bagiku merogohkan tangan kurusku, bisiknya pada dirinya sendiri. Kunci rumah tak ia temukan di situ. Ia beralih ke pot bunga cocor bebek. Rumput-rumput halus hampir memenuhi ruang itu dan ia abai tak sempat mencabutinya. Tak ada kunci.
Lalu di mana kunci itu berada?
Engkaukah yang menyimpannya? [*]