Kambing Hitam

IQMAL menyeret kambing hitam itu menjauh dari tempat penampungan hewan kurban. Langkahnya tergopoh-gopoh saat ia tahu kalau Pak Carik memergokinya. Tapi ia telah siap dengan sebilah pisau dibalik punggungnya.

“Mau kamu bawa ke mana kambing hitam itu, Mal? Tidak malu apa sama warga!” seru Pak Carik yang ternyata tak sengaja melihat Iqmal saat tadi sedang melintas.

Wis ben. Biar saja! Toh kambing hitam tetaplah kambing hitam!” Iqmal semakin mencengkeram tali yang mengikat kambing hitam itu.

“Tapi sama saja kamu mencuri!”

“Kambing hitam tidak boleh dikurbankan!”

“Kata siapa?”

“Kata saya, Pak Carik!”

Pak Carik menggeleng-gelengkan kepala lantaran melihat kelakuan aneh Iqmal. Beliau menasihati Iqmal singkat. Iqmal pun akhirnya pergi setelah sebelumnya melepaskan kambing hitam itu.

Begitulah Iqmal beberapa bulan yang lalu, saat menjelang hari raya Iduladha. Mendadak dia menjadi sangat aneh. Sebelumnya, ada seorang warga yang hendak mengurbankan seekor sapi berwarna hitam, tapi ia tegas melarang dengan dalih bahwa sapi hitam tak boleh dibuat kurban. Warga itu pun akhirnya menuruti perkataan Iqmal dan mengganti sapi hitam tersebut dengan sapi putih. Pokoknya, semua yang berwarna hitam itu sesat menurut Iqmal.

Hal itu bukannya tidak berdasar, tapi memang sejak kecil Iqmal diajarkan oleh orang tuanya agar menghindari yang namanya kesesatan. Semua yang berkaitan dengan hitam dan gelap akan menjerumuskan ke arah yang tidak baik. Salah satu bukti nyata yang membuatnya percaya adalah pada saat pemilihan kepala desa. Waktu itu Pak Burhanlah yang dilantik menjadi kepala desa. Pak Burhan pun berniat mengendurikan seekor kerbau hitam.

“Lihat saja, Pak Burhan tidak akan lama menjabat sebagai kepala desa!” ucap Iqmal sehari setelah pengumuman dilantiknya kepala desa.

“Kenapa kamu yakin sekali, Mal?”

“Ya karena beliau mengendurikan kerbau hitam. Hitam itu gelap, sesat. Tidak baik pokoknya!”

“Lho, tapi kan niatnya buat selamatan. In syaa Allah tidak apa-apa, Mal.” Banu menepuk-nepuk pundak Iqmal, meyakinkan.

“Pokoknya podho wae! Sama saja.”

Benar saja, belum sampai enam tahun, Pak Burhan sudah lengser dari jabatannya sebagai kepala desa. Bukan karena tekanan dari berbagai pihak, melainkan sakit yang diderita secara mendadaklah yang mengakibatkan hal itu terjadi. Sampai akhirnya dia meninggal dunia.

Sejak saat itu, warga mulai sering membicarakan Iqmal yang konon mulai dipercaya dapat memprediksi segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal tidak baik. Seperti misalnya: jangan memancing di sungai yang airnya keruh, atau jangan berpakaian serba hitam di malam hari.

Meski terkesan tidak masuk akal, warga pun mulai mengakui bahwa Iqmal adalah seorang pemuda yang tak hanya pandai mengajari anak-anak mengaji, namun juga selalu mengingatkan untuk tidak berbuat jahat pada sesama.

Pagi ini, ketika semua warga mulai melupakan kejadian pencurian kambing hitam yang hendak dilakukan oleh Iqmal, tiba-tiba warga digegerkan oleh hilangnya seekor kambing hitam. Ya, kali ini benar-benar hilang dan tak ada satu pun yang menangkap basah siapa pelakunya. Suara kentungan segera terdengar membelah kesunyian. Warga mulai berdatangan menuju ke sumber suara. Ada yang masih berkalung sarung, ada juga yang lupa memakai alas kaki. Semua berkumpul menjadi satu, termasuk Iqmal.

“Kambing hitamnya hilang, Pak Kades!” teriak warga yang membunyikan kentungan sambil menunjuk ke arah tempat penampungan hewan kurban.

“Hah, hilang!”

“Lho, bukannya setelah kejadian Iqmal, kambing di sini semua aman?”

Semua mata mulai tertuju pada Iqmal. Sedangkan yang dituju hanya sanggup melongo tanpa berujar apa-apa.

“Eh, bisa saja Iqmal yang mencuri kambing hitam itu!”

“Iya, Pak Kades. Selama ini kan dia yang ngotot kalau di desa kita ini jangan ada kambing atau sapi hitam!”

“Wah, ngawur ini! Jangan asal main mengambinghitamkan saya to! Apa kalian punya bukti kalau saya yang ngambil?”

“Lha terus siapa lagi?”

Pak Kades terlihat bingung dengan berbagai perkataan dari warganya. Ia juga melihat Iqmal dengan saksama. Tak mungkin jika Iqmal nekat melakukan perbuatan yang sangat tidak berpendidikan itu. Bahkan sekarang Iqmal dikenal sebagai pemuda yang rajin beribadah. Ya, sejak ia dijadikan panutan dan mengajar mengaji anak-anak desa.

“Bukan saya pencurinya, Pak Kades.” Wajah Iqmal memelas sambil berlutut di hadapan Pak Kades.

“Halah, usir saja orang ini, Pak Kades! Ngakunya orang baik, ibadah di masjid, mengajar ngaji, tapi kelakuannya busuk!”

“Sebentar, sebentar, kita dengarkan penjelasan dari Iqmal dulu,” ucap Pak Kades seraya mengangkat kedua tangannya untuk memberi isyarat pada warga supaya lebih tenang.

“Saya tadi dari rumah, Pak Kades. Terus mau ke masjid lebih awal. Tahu-tahu ada suara kentungan, karena panik ya ikut saja sama warga lain ke sini.”

“Nah, sudah jelas to sekarang?”

Warga akhirnya terpaksa membubarkan diri satu per satu, meski wajah mereka masih terlihat belum puas lantaran Iqmal tidak jadi diusir dari desa.

***

Dua hari setelah kejadian itu, Iqmal merenung. Ia tidak lagi memberikan nasihat-nasihat bijak untuk warga. Sebetulnya bukan tidak ingin, tapi wargalah yang mulai enggan mendengarkannya. Padahal ia sangat rindu pada anak-anak yang belajar mengaji. Duduk sambil bersolawat. Ah, selebihnya ia hanya mampu uzlah di dalam masjid setelah anak-anak pulang belajar mengaji.

Ainun yang tak lain adalah putri Pak Kades—yang menggantikan Iqmal mengajar pun sempat menanyainya. Tapi Iqmal tetap saja diam dan tidak menjelaskan apa-apa. Hatinya sudah kadung sakit jika mengingat peristiwa yang telah menimpanya. Semua orang tetap saja menganggapnya sebagai pencuri, meski tidak ada satu pun bukti yang ditemukan.

Dalam kegelisahan hatinya, ia teringat oleh perkataan kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. “Kalau kamu mau jadi orang yang benar, kamu harus mengajarkan kebenaran pada mereka, Le.” Tak terasa air matanya meleleh mengenang itu.

Iqmal pun memutuskan untuk meninggalkan desa secara diam-diam, agar hatinya tenang dan tidak dikungkung oleh rasa bersalah. Ya, ia memang merasa bersalah sejak membuat warga mulai percaya dengan nasihat-nasihatnya. Tapi karena itu jugalah, ia justru dikambinghitamkan oleh warga.

Iqmal membawa pakaian secukupnya dalam tas ransel. Ia memang sengaja tidak membawa semua karena suatu saat ingin kembali lagi, walau entah kapan. Mungkin sampai ia tidak dianggap pencuri lagi oleh warga. Mungkin sampai si pencuri asli itu tertangkap. Ya, mungkin.

Saat baru separuh perjalanan meninggalkan desa, ada seseorang yang mengajak Iqmal berbicara. Orang tersebut entah dari mana datangnya, kemudian mengatakan sesuatu yang sulit dipahami oleh Iqmal.

“Jangan pergi kecuali jika urusanmu sudah selesai.”

Iqmal menatap wajah orang itu dengan saksama. Anehnya, wajahnya tidak jelas. Selebihnya, Iqmal hanya mampu melihat orang itu yang perlahan melenggang pergi—meninggalkannya dalam diam.

Tidak cukup sampai di situ, langit yang tadi cerah, tiba-tiba saja berubah menjadi gelap. Gelegar petir saling sahut menyahut. Membuat Iqmal menutupi kedua telinganya. Hujan akhirnya turun. Iqmal buru-buru mencari tempat berteduh. Beruntung ada sebuah gubuk tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sambil menunggu hujan reda, pikiran Iqmal kembali pada sosok yang baru ditemuinya tadi. Perkataan orang itu sungguh membuat hatinya ditikam keresahan bertubi-tubi. Seolah-olah ia tidak boleh pergi. Tapi apa urusan yang dimaksud? Bahkan warga desa pun sudah tak mau berurusan dengannya. Sebab kehadirannya memang sudah tidak dianggap lagi oleh warga.

Tak terasa, Iqmal pun tertidur. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Orang tuanya juga berpesan agar jangan pergi sebelum urusannya selesai. Iqmal sempat bertanya, apa maksud dari pesan tersebut. Tapi orang tuanya menggeleng dan menasihati agar ia mencari jawabannya sendiri.

Setelah itu, kedua orang tua Iqmal pergi. Iqmal tersenyum dan bertekad akan mencari jawaban tentang pesan tersebut. Namun tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu hingga ia jatuh.

Brukk!!

“Mal, Iqmal! Bangun! Pencuri kambing hitam itu sudah ditemukan!”

“Hah, apa?!”

Iqmal mengerjap-ngerjapkan matanya dan refleks mengelap air kental yang tiba-tiba keluar ujung bibirnya dengan punggung tangan.

“Ayo ikut aku ke balai desa!”

Ternyata Banu yang membangunkan Iqmal dari tidur lelapnya. Sambil tertatih, Iqmal mengikuti langkah gegas Banu. Betapa kagetnya ia saat sampai di balai desa. Semua warga telah berkumpul. Di depan Pak Kades sudah berdiri seorang perempuan yang setelah ia amati adalah Ainun.

“Ma-maafkan saya, Pak Kades. Se-sebenarnya saya-lah yang memengaruhi semua warga agar mengambinghitamkan Bang Iqmal,” ucap Ainun dengan sedikit terbata.

Ia tak sanggup menatap Pak Kades. Begitu juga pada semua warga. Ia sangat malu. Sungguh malu. Apalagi jika harus meminta maaf langsung dengan Iqmal.

“Ainun … Ainun. Kamu kok tega sekali sama Iqmal. Memangnya dia salah apa sama kamu?”

“Iya, benar. Kami menyesal karena kemarin sudah mendengarkan omong kosongmu yang tidak ada gunanya itu!”

“Seharusnya kamu yang pergi dari kampung ini, bukan Iqmal!”

“Iya. Dasar!”

“Sudah, sudah! Jangan menyudutkan Ainun seperti itu. Kita harus mendengarkan penjelasan dari dia.” Pak Kades yang sejak tadi terlihat mencoba sedikit emosi akhirnya memotong perdebatan antar warga.

Dengan air mata yang berlelehan, Ainun pun menjelaskan mengapa ia melakukan semua itu pada Iqmal. Ia juga mengatakan jika selama ini ia terobsesi ingin mengajari anak-anak mengaji. Hanya saja cara yang ditempuhnya salah.

 Sementara itu, Ainun berjanji akan mengembalikan kambing hitam yang telah dicurinya. Syukurlah, semua warga mau memaafkannya. Pertemuan itu ditutup dengan ide yang dicetuskan oleh Pak Kades. Beliau ingin Iqmal dan Ainun dapat bekerjasama, bergantian mengajar anak-anak mengaji. Hal itu sontak membuat warga bersorak sorai dan satu per satu dari mereka memeluk Iqmal yang sedang tersenyum lega.

Saat orang-orang sedang sibuk mengelu-elukan Iqmal, Ainun terlihat menepikan diri, meringkuk di belakang pintu balai desa. Tak ada satu pun yang tahu jika ia mengambil sebuah benda keras dari balik baju dan ia bergumam pendek.

“Kambing hitam itu sudah mati.”

Semarang, Agustus-Oktober 2019

Bagikan:

Penulis →

Reni Asih Widiyastuti

penulis asal Semarang, Alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang. Salah satu bukunya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam.