Langit Merona Merah
Bintang telah mencabik langit
ketika rembulan hadir telanjang
tanpa busana
awan pun bergemuruh menumpahkan resah
wajah langit betul-betul sedang berduka
angin tiada henti menikam ruang-ruang hampa
tak ada satupun aksara suci terbaca
di atas sana, langit merona merah
seakan meniriskan semua kebohongan
mata kita sudah rabun untuk memaknai kata cinta
hingga berkali-kali langit murka
seribu badai telah dimuntahkannya
ajak kita bukan lagi gemuruh lisan
untuk membaca makna zaman
atau mungkin karena wajah kita
seperti tak ada bedanya
dengan rembulan yang tak berbusana
Malang – 2018
Senandung Biola
Masih terlalu pagi awan melangit
mata pun menjadi murung
tangan masih menggenggam temali usang
sesaat lagi mungkin akan rapuh
bersama kelabu yang kian dekat
Tangan-tanganku adalah bangkai hidup
di antara putih kertas
ketika sajakku mulai bermuram diri
ingin merepih mendung, membiaskan hujan
lalu menulis sejuta aksara
dalam bait-bait penghantar hujan berbalut doa
apakah langit kelabu selalu membuat resah
atau Tuhan mengirimkan isyarat agar kita merenung diri?
Pagi ini napasku kembali hidup
memainkan sajak yang tak pernah usai
saat gesekan biola bersenandung membelah angina
kuputar waktu saat langit masih membiru
kutiriskan duka pada bening kertas suci
dan kembali biola melantun
di antara nada-nada siang dan malam
2018
Yang Terdalam
ingin kutitip pelangi
pada lubuk hatimu
— yang paling dalam —
basuhlah dengan kesucian
agar terang
putih bersih
adalah sajakku telah berpaling
dari keindahan fatamorgana
2019
Tanah dan Langit
Engkau tak akan pernah bisa membaca pikiranku
jika engkau tak menatap dalamnya langit
Di sana aku pernah menulis sajak kematian,
tetapi bukan untuk tubuh dan jasadku
sebab jasadku hanya untuk tanah-tanah bisu
yang tak pernah menyimpan segala doaku
Lihatlah langit biru itu selalu membentangkan sayap-sayapnya
dari ujung timur, barat, utara hingga selatan
dan membuat camar-camar angkasa terkesima
Itu mengisyaratkan Sang Ilahi selalu menatap kita
dan pasti, pandangan-Nya lebih tajam dari bias sinar matahari
Hingga bumi ini akan berpaling dari hadapan kita semua
2018
Suatu Senja
Senja ini telah menatap kepergian sukmaku
dua larik malam menunggu
mengendap, jalan perlahan dari balik tirai langit
Pikiranku pun mulai menerawang jauh
menembus batas kaca-kaca langit
aku bangkit, mencari sebuah pena
menulis perjalanan kata-kataku
begitu banyak melintas dalam benak ini
Sedari tadi, meja dan kursi sinis memandang kebodohanku
enggan ‘tuk menyanggah tangan-tanganku menuangkan beban berat
kaki meja pun meratap pilu, berdiri diam
tak pernah kupedulikan kelelahannya
meringkuk batin dalam kebisuan panjang
Jika saja mampu berkata
“buat apa engkau menulis sajak!”
lihatlah berita di televisi, penuh metafora
bukankah itu bisa mengusir keresahan senja
Kembali kupandang meja
tetap diam membisu, disitu tanganku selalu menindihnya
membuncah rasa kopi, pagi dan sore
menulis di atasnya, mengalirkan keresahan nalar
kadang memukulnya, karena pikiranku kerasukan jalang
Kalau saja bisa melipatnya agar bisa diam sejenak
mungkin panorama senja di luar sana akan tersenyum manis
2018
Solitude
Rindu,
adalah sebaris kata
terbaring bisu
di atas batu pualam
Ingin kutikam bersama doa
agar cahaya datang mengucap salam
walau tak pernah kutahu maknanya
2018
Seperti Jiwa Mereka
Kawanku, Chairil Anwar
aku bukan sajak pada masamu
juga bukan seorang Von Goethe
yang bergelimang emas di hatinya
karena aku bukan bait-bait sufi seperti jiwa Rumi
Aku terempas di padang tandus
ketika sayap sajakku patah di ranting Jose Marti
2018
Sayap Pusara
Kau lukai sayap pusaraku
hingga aku tak sanggup
terbang ke langit
seonggok tanah menutup mataku
sayapku pun menanti para peziarah
2018