Zikir Para Pendosa



Langgar Tabing*

Di sana telah kami benamkan
Segala kemungkinan dari suluk harapan
Meski dengan dingin pagi
Yang terkadang selalu bermalam ke dalam sunyi

Keikhlasan yang berdampingan beserta ingatan
membawa kepastian-kepastian berkata di bawah ilalang,
“memang kami selalu mengerti, mengapa harus keheningan
Yang bersaudara dengan huruf-huruf sunyi”.

Pada pucuk keyakinan kami
Lunta dari segala arti mengisaratkan terbenamnya matahari
Senja yang terkadang menghibur pandangan kami
Berdiang kekal diantara perjalanan kekhusuaan
KepadaMulah kami bersemidi,
Meski dengan ketabahan zikir para pendosa
Yang meminta nasib untuk di sapa
              *)tempat belajar huruf-huruf Alquran, dulu ketika waktu masih kuno




Tirakat Rindu

            Kh. Naqib hasan

Hanya kepadamu
aku berlayar dari keburukan
Dan hanya kepadamu
aku melafadkan kerinduan

Dari berbagai doa yang aku lantunkan
Sebagai isyarat hamba pada tuhan
Pohon-pohon mengakar
Membalas segala kesedihan
Sebagai pendekar
Yang tersesat di medan perang

Biarkan angin tenggara itu
Mengusik dalam senyumku
Mendinginkan hasrat pilu
Yang telah kau kabarkan lewat rindu.

Juma’at manis,1440




Mata Luka

Memasuki guratan-guratan pesona di tubuhmu
Adalah kelupaan waktu pada masalalu
Rambut yang  separas di kening
Serta lirikan mata yang runcing,
Adalah awal bagi musim
setelah kebencian bersimbang tafsir.

Aku, tidak akan  pernah mengenalmu
Sebelum senyum merangkum segala rindu
Aku tadak akan bisa menyulam bayangmu
Sebelum siang bertepi di kedalaman warna semu.

Betapa sakit benci ketika disiram air lautan,
Bimbang dan penasaran bersedia menjaga bergantian
Di sepanjang siang dan malam,
Maka biarkan aku sedikit kagum pada sebaris bibirmu
Atau pada selembut kelopak matamu
Agar kekejaman yang kuanggap pilu
Tercelup kedalam madu.

Ruang ingatan,2018




Meraba Rindu

Di kedalaman malam ini
Rambutmu telah terurai di sepanjang jalan,
Sepertinya bukan lagi kesederhanaan
Bagi pagi yang berganti malam

Maka biarkan aku selalu berzikir
Di kedalaman bayanganmu
Meminta segala hal warna sontak di dadamu,
Sebelum keterasingan kita tafsir jadi rindu

Mungkin kepada sejarah kita akan bertemu
Atau kepada waktu kita akan berlalu
Menanam ketabahan rasa
Di sepanjang rasa yang sudah tiada

Ruang ingatan,2018




Renung Malam

Masih adakah pantulan sinar rembulan di keningmu
Mengilaukan liang-liang kepekatan rasa
Yang tiba-tiba tumpah menjadi makna,
Angin selalu menyapa daun-daun gugur
Maski kenyataannya membuat suasana tak lagi kagum

Begitupun kelelawar yang menghirup aroma buah-buahan
Walau kenyataannya ia lupa terhadap keindahan
Tapi ia selalu bertahan dari pekatnya pengharaman
Dengan perasangka suci yang menjadi keindahan.

Rumah nam-nam,2018




Rekayasa Kepergian

Jika datang kepadaku
Mata dengan lirikan ujung bambu
Semua bahana mulai bisu
Seperti para perindu menunggu layu

Nyatanya tak ada yang perlu kita diskusikan
Pada kelembahan duka ini, kecuali di hari nanti
Engkau akan kembali sebagai gosip yang menulak arti

Maka sisipkan jantungku
Pada pelapah kesetiaanmu
Jika itu memang rindu
Katakan saja kita belum bertemu.

Reguler,2018




Bisikan Luka

Sudah beragam kenangan
Kita tinggal di siang yang kehujanan
Pelangi di antara perbatasan siang dan sore
Menguncup di keningmu,
Mewartakan sebuah harkat rindu
Di pertengahan hijau dan semu.

Lalu kita hanya tau berjalan di pelataran kesunyian
Belajar menangkap beberapa cahaya
Sebelum luka benar-benar nyata.

Gubuk reyot, 2018

Bagikan:

Penulis →

J. Akit Lampacak

Penulis adalah santri pengamat Literasi di Pondok Pesanten Annuqayah Sumenep, Madura. Karya-Karyanya pernah dimuat di berbagai media. Sekarang aktif di Komunitas Lascar Pena.