Judul : Anjing Gunung
Jenis : Kumpulan Puisi
Penulis : Irma Agryanti
Penerbit : BasaBasi, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2018
Tebal : 88 halaman + sampul
ISBN : 978-602-5783-61-6
Sesuatu yang visual menawarkan kepada kita pengalaman spasial. Itu karena hal-hal yang tersaji padanya menghambur ke arah kita secara simultan, hampir-hampir di detik yang sama, dan kita seperti diberi kebebasan untuk menentukan hal-hal mana yang akan kita nikmati terlebih dahulu. Sesuatu yang tekstual, sementara itu, menawarkan kepada kita pengalaman temporal, di mana upaya kita untuk menikmatinya sangat terbatasi oleh adanya urutan-urutan. Sekarang bayangkan kedua hal ini dibenturkan. Tentulah, dengan sendirinya, kita akan berada dalam tarik-menarik antara pengalaman spasial dan pengalaman temporal.
Benturan seperti inilah kiranya yang kita hadapi saat membaca puisi-puisi Irma Agryanti yang terkumpul dalam Anjing Gunung (BasaBasi, 2018), buku puisi yang menyabet Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 untuk kategori puisi. Dengan terang-benderang, sebagaimana tersaji di halaman belakang buku ini, Irma mengatakan bahwa (puisi-puisinya di) Anjing Gunung adalah bentuk hubungan antara tangkapan visual dan teks. Konkretnya, seperti diutarakannya di kata pengantarnya di buku ini, yang dilakukannya adalah memindahkan tangkapan visual itu ke dalam bahasa puisi.
Tentu saja pemindahan seperti ini problematis. Sementara tangkapan visual yang dimaksud Irma itu menawarkan spasialitas dan simultanitas, bahasa puisi yang ditulisnya akan selalu berada di dalam kekangan temporalitas. Selain itu, apa-apa yang hadir pada tangkapan visual itu adalah hal-hal yang cenderung konkret, sedangkan apa-apa yang hadir di dalam bahasa puisinya justru adalah hal-hal yang cenderung abstrak, atau hal-hal konkret yang terabstrakkan. Tidak mudah mendamaikan dua hal yang berseberangan seperti ini. Salah-salah, yang kelak tersaji ke hadapan pembaca adalah sebuah kekacauan, sebuah kesimpangsiuran, bukannya harmoni.
Simak, misalnya, puisi “Dingin”. Bait pertamanya: sebab terpisah dari api/ mangsi jatuh/ di hitam mata—tanda cetak miring dari saya. Mudah memang melafalkannya dan menikmatinya sebagai sesuatu yang puitis, tetapi ketika memvisualkannya kita lekas mendapati betapa abstraknya permainan visual bait tersebut. Mulanya kita diajak untuk membayangkan mangsi terpisah dari api. Sebelum kita bisa benar-benar menerimanya, kita sudah diajak untuk membayangkan si mangsi ini jatuh di hitam mata, dan itu pun entah mata siapa. Ingat, yang dilakukan Irma di puisinya ini adalah memindahkan tangkapan visual, sesuatu yang dihadapi dan dialaminya di dunia nyata, ke dalam bahasa puisi, ke dalam wujud teks yang dianggapnya puitis. Katakanlah yang dimaksud puitis oleh Irma salah satunya adalah melenyapkan makna praktis sesuatu hal untuk kemudian menggantinya dengan maknanya yang lain, yang non-praktis, dan dalam hal ini ia terbilang berhasil. Hanya saja, kita jadi bertanya-tanya situasi seperti apa yang dihadapi Irma di dunia nyata, di realitas yang dijalaninya, yang kira-kira “sebangun” dengan bentukan kalimatnya yang puitis itu.
Dan ketika kita mencoba meraba-raba situasi tersebut, kita dihadapkan pada masalah yang kita singgung tadi: kekangan temporalitas. Kita dipaksa untuk membayangkan gambar demi gambar secara runut, diawali dengan munculnya api lalu bagian hitamnya—jika bukan mangsi itu sendiri—terpisah darinya dan setelah itu muncul mata, dan diikuti oleh menetesnya—atau tercipratnya—hitam itu ke mata tersebut. Meski di benak kita munculnya gambar-gambar ini mungkin berlangsung dalam rentang waktu yang sangat singkat, tak bisa dimungkiri bahwa kita mengalami tiap-tiap gambar sendiri-sendiri, secara terpisah, di mana yang satu menggantikan yang lain. Padahal, di dunia nyata, di dalam situasi yang dihadapi Irma itu, gambar-gambar tersebut mestilah muncul secara serentak, sebagai sebuah kesatuan. Sesuatu yang spasial, bukan temporal.
Ini membawa kita ke sebuah pemahaman—atau setidaknya dugaan—bahwa puisi, di mata Irma, adalah diri lain yang lumayan jauh berbeda dari sesuatu hal di dunia nyata yang tertangkap oleh matanya. Pengalaman yang ditempuh Irma saat sesuatu itu hadir di hadapan matanya ia transformasikan menjadi sesuatu yang sangat lain, di mana ia menyingkirkan spasialitas dan simultanitas yang sejatinya melekat padanya dan menggantinya dengan temporalitas yang dipadukan dengan wujud visual yang lain, yang sangat abstrak itu. Pertanyaannya: kenapa hal ini dilakukan? Irma, dalam paparannya yang ditampilkan di sampul belakang buku, memang mengatakan bahwa puisi memunculkan detail-detail klise dari sesuatu hal untuk memungkinkan pemaknaan kita atasnya meluas; itu berarti penting bagi dirinya, selaku si penyair, untuk membubuhkan detail-detail lain ke dalam bahasa puisi hasil transformasinya itu—detail-detail yang tak ditemukannya saat sesuatu hal di dunia nyata itu tertangkap oleh matanya. Maka, mungkin bisa dikatakan seperti ini: Irma, selaku si penyair, memosisikan aktivitas menulis puisi sebagai upaya untuk melengkapi diri visual sesuatu hal, namun sekaligus juga mengganti diri visualnya ini dengan diri visual lain, yang bisa sangat berbeda dengannya. Sebuah upaya untuk melengkapi, sekaligus mengkhianati.
___
Sebenarnya, upaya semacam ini telah coba dilakukan oleh beberapa penyair sebelum Irma. Nirwan Dewanto adalah salah satunya. Di beberapa puisinya di Jantung Lebah Ratu (GPU, 2008) Nirwan membenturkan yang spasial dengan yang temporal dan ia membawanya lebih jauh lagi: bukan hanya menyajikan kesimpangsiuran, ia pun mengolah kesimpangsiuran ini menjadi semacam harmoni yang tak biasa. Baca, misalnya, puisi “Perenang Buta”. Dua kalimat pertamanya: Sepuluh atau seribu depa/ ke depan sana, terang semata./ Dan arus yang membimbingnya/ seperti sobekan pada jubah/ tanjung yang dicurinya. Bisa dilihat bahwa Nirwan awalnya menawarkan hasil transformasi tangkapan-tangkapan visual yang masih terbilang konkret, lalu di satu titik ia menghancurkannya dengan menawarkan hasil transformasi yang terbilang astrak, yang tidak mudah kita terima sebagai sebuah tangkapan visual yang wajar. Dan strategi ini kembali dilakukan Nirwan di kalimat-kalimat berikutnya, di sepanjang tubuh puisi. Sebelumnya kita mungkin curiga Nirwan hendak melemparkan kita kepada kesimpangsiuran dengan menghancurkan struktur yang tengah berusaha dibangunnya itu, namun lambat-laun kita memahami bahwa yang coba dilakukan Nirwan adalah mengarahkan kita untuk menikmati tawaran harmoninya yang tak biasa itu. Semacam harmoni yang terbentuk dari sejumlah kesimpangsiuran yang terpola.
Sekarang, mari kita bandingkan strategi Nirwan ini dengan strategi Irma. Tentu, kita tidak akan begitu saja menentukan mana yang lebih baik. Alih-alih demikian, yang akan kita coba lakukan adalah mengaitkan strategi yang berbeda ini dengan konteks yang melatarinya, supaya kita bisa memahami seperti apa relasi yang terbangun di antara keduanya. Dan dari situ, mungkin saja, kita pun bisa meraba-raba sikap si penyair—baik itu terhadap konteks tersebut maupun terhadap puisi itu sendiri.
Jantung Lebah Ratu terbit pada 2008. Ketika itu, situasi sosial-politik di negeri ini masih terbilang kondusif, dan belum ada hantaman yang mengguncang dari pertumbuhan teknologi informasi dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Ini kiranya menjadi alasan tersendiri mengapa puisi-puisinya Nirwan di buku ini relatif tidak mengaitkan dirinya dengan realitas yang tengah berlangsung ketika itu. Alih-alih dengan realitas yang konkret ini, Nirwan justru mengaitkan puisi-puisinya itu dengan teks-teks yang berasal dari khazanah yang abstrak, entah itu seni rupa, seni musik, teater, puisi itu sendiri, ataupun yang lainnya. Memang, apabila kita cermati beberapa puisinya di buku ini, seperti “Semu” dan “Apel”, Nirwan tampaknya memfokuskan pengalaman puitiknya sebagai pengalaman yang “kosong”, yang tidak mengarahkan pembaca kepada apa pun selain si puisi itu sendiri. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Melani Budianta di sampul belakang buku ini, bahwa puisi-puisi Nirwan bukanlah teka-teki melainkan sehamparan momen estetika; juga bahwa sejauh manapun maknanya berkelana pada akhirnya puisi-puisi Nirwan ini akan menariknya kembali ke dirinya sendiri.
Anjing Gunung, sementara itu, terbit pada 2018, ketika situasi sosial-politik di negeri ini sedang sangat tidak kondusif, di mana rakyat masih terjebak dalam bineritas pasca-Pilpres 2014 dan pra-Pilpres 2019, di mana pertumbuhan teknologi informasi yang begitu pesat diikuti oleh dampak-dampak negatifnya seperti maraknya hoaks dan susutnya kedalaman—digantikan oleh momen dan reaktivitas. Maka mudah dipahami mengapa yang disajikan Irma dalam puisi-puisinya itu adalah kesimpangsiuran, adalah kekacauan, bukannya harmoni. Dalam hal keterkaitan dengan realitas yang tengah berlangsung itu sendiri, kita jelas-jelas menemukannya, seperti di puisi “Anjing Gunung”. Puisi ini menggambarkan sebuah situasi di mana perubahan besar akan terjadi, dan ini perubahan yang buruk sebab akan menyebabkan sungai-sungai mati dan para penggembala tak lagi ada. Musim kemarau yang panjang, katakanlah, yang bisa jadi adalah simbol dari sesuatu yang lebih gawat seperti matinya demokrasi atau bangkit kembalinya rezim otoriter. Dan, di tengah upaya untuk memaknai situasi ini, Irma menghadirkan tangkapan-tangkapan visual yang terabstrakkan, di titik-titik di mana struktur yang kemudian terbentuk adalah representasi dari kesimpangsiuran—bukannya harmoni.
___
Adapun kesimpangsiuran ini sendiri sejatinya bukan hal baru. Telah ada banyak orang yang mencoba menawarkannya, entah itu penyair, prosais, pemikir, ataupun yang lainnya. Afrizal Malna, misalnya, menawarkannya lewat puisi-puisinya, di mana ia melangkah sangat jauh hingga menjadikan kesimpangsiuran ini sesuatu yang akut, pekat, sekaligus legit; di mana pembaca, apabila ia membiarkan dirinya terlarut dalam racikan Afrizal ini, bisa terus terjebak di dalam pusaran demi pusaran, ledakan demi ledakan, sambil diam-diam menuju ekstase dan menikmati prosesnya. Baca, misalnya, “Seminar Puisi di Selat Sunda”, salah satu puisi di Berlin Proposal (Nuansa Cendekia, 2015). Puisi ini, bahkan dari sejak bait pertamanya, sudah kuat menjerat kita ke dalam kesimpangsiuran. Dan ia kesimpangsiuran yang akut, pekat, sekaligus legit, sebab bukan saja yang dibenturkan di sana adalah yang spasial dan yang temporal melainkan juga yang bergerak dan yang diam, yang tercatat dan tak tercatat, yang ada di saat ini dan yang ada jauh di masa silam. Afrizal bermain-main dengan kata dan bentukan kalimat, untuk memunculkan bukan hanya efek bunyi melainkan juga efek imaji, untuk membuat ruang yang ditampilkannya lebih mampu membangkitkan indra-indra pembaca dan setelah itu memerangkapnya. Pengalaman sekompleks ini tidak kita temukan di puisi-puisi Irma. Sehingga, apabila kita bicara soal kesimpangsiuran, apa yang ditawarkan Afrizal ini kiranya jauh melebihi apa yang ditawarkan Irma.
Dan ini membawa kita ke sebuah pertanyaan penting: apakah puisi-puisi Irma di Anjing Gunung itu telah cukup mewarnai kesusastraan kita, juga realitas kita? Jawabannya barangkali adalah belum. Belum cukup. Ini karena, sebagaimana telah kita lihat bersama, dalam puisi-puisinya itu Irma masih sebatas menghadirkan kesimpangsiuran dengan cara membenturkan yang visual dengan yang tekstual, dan ini masih jauh dari sebuah kesegaran—hanya sebuah variasi saja. Dan kalaupun kita mau menyoroti sifatnya yang representasional, bahwa puisi-puisinya itu merepresentasikan situasi sosial-politik yang tengah kita hadapi saat ini, jujur saja, rasanya masih tertahan di tahap nanggung. Soal maraknya hoaks, misalnya, ficciones ala Borges jauh lebih berhasil merepresentasikannya, sebab pembaca benar-benar dibuat tak bisa membedakan mana fakta mana fiksi, mana yang benar-benar terjadi mana yang hanya bualan belaka. Dan beberapa prosais kita telah cukup baik melakukannya, seperti A.S. Laksana dan Dea Anugrah.
Maka, kita pun sampai pada kesimpulan ini: Anjing Gunung, meski menawarkan puisi-puisi yang cukup menarik untuk dinikmati dan diresapi, dari segi konsep masihlah belum cukup kuat; tawaran-tawaran pemaknaan dan perspektifnya belum cukup mampu menggoyahkan kenyamanan dan keterbiasaan kita, seperti soal bagaimana kita membaca teks dan realitas. Memang, buku ini menyabet sebuah penghargaan bergengsi di tanah air, dan untuk capaiannya ini ia—juga Irma selaku si penyair—tentu patut diapresiasi. Tetapi, sebagai seorang pembaca yang kritis dan independen, kita harus selalu mengedepankan kejujuran. Kita, misalnya, harus berani mengatakan bahwa puisi-puisi Irma di buku ini, terlepas dari segala kelebihan dan daya tariknya, sesungguhnya masih akan kita kategorikan sebagai puisi-puisi yang biasa saja.(*)
Bogor, 30-31 Oktober 2019