Menjelajahi Puisi Frankofoni


(A la découverte de la poésie francophone)

Sebuah Catatan pentas

Kesusastraan Frankofon lahir setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang membangkitkan kesadaran dan semangat berbangsa dari negara-negara yang baru merdeka. Sejumlah penulis Afrika Utara, termasuk Tunisia, Aljazair, dan Maroko, mengungkapkan perasaannya justru dalam bahasa Perancis, untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bekas bangsa terjajah.

Kebanyakan ditulis dalam bentuk prosa, karena genre ini memudahkan bagi para penulis, untuk menyampaikan kesaksian mereka mengenai penderitaan, penyiksaan, ketidakadilan, keterasingan, perasaan rendah diri, dan tentu saja semangat perlawanan mereka terhadap bangsa penjajah.

Setiap tahun, perayaan bahasa Prancis diadakan pada bulan Maret di seluruh dunia. Pekan Francophonie 2025 berlangsung dari 17 hingga 22 Maret di Indonesia.

Dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan, Bali, dan Makassar.

Hari Frankofoni merupakan perayaan keragaman budaya dan kebangsaan yang disatukan oleh bahasa yang digunakan secara kolektif di lima benua: bahasa Prancis.

Komunitas Salihara Arts Center dan Institut Prancis di Indonesia (IFI), menggelar acara sastra dan musik dari negara-negara Frankofoni, melalui pembacaan lima teks ikonik, interpretasi piano atas karya-karya impresionis Claude Debussy. dan ceramah oleh Goenawan Mohamad mengenai Arthur Rimbaud, salah satu tokoh budaya Prancis yang sempat singgah di Indonesia pada 1876.

Lima puisi karya penyair Frankofoni diterjemahkan oleh Maria Rahartati dibacakan oleh Rizal Iwan, Syam Ancoe Amar, dan Zulfa Maharani.

Pembaca puisi pertama Rizal Iwan dikenal sebagai penulis, teaterawan dan aktor yang terlibat dalam beberapa pertunjukan di Salihara, antara lain Three Fishes Out of One Bowl (LIFEs 2019), Makan Malam (Pentas Kelas Akting Salihara 2022), dan pembacaan Surat Tentang Kekasih (LIFEs 2023). Bersama Aliansi Teras, Rizal menjadi salah satu penulis naskah Rumah dengan Selembar Tikar (SIPFest 2024). Lakon Pindah ditulis di Kelas Menulis Lakon Salihara dan menjadi salah satu pemenang Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta 2022. Rizal membacakan karya Arthur Rimbaud; Terlena di Lembah. Puisi ditulis oleh Rimbaud dalam usia 16 tahun di tengah-tengah Perang Prancis- Prusia (1870), soneta ikonik, menyandingkan keindahan alam yang damai dan kengerian perang. Kata yang perlu disorot atau diterjemahkan: sungai “bernyanyi”, cahaya “berbusa” di lembah, sementara prajurit “tersenyum seperti anak sakit”. Baris terakhir secara brutal mengungkap penyebab tidurnya – “dua lubang kesumba di sisi kanannya” –

secara implisit mencela absurditas perang yang berdarah-darah.

Arthur Rimbaud

Le Dormeur du val

1870

Di ceruk dedaunan, sungai bernyanyi,
Merapat liar di rumput penuh perca
Keperakan; surya dari gunung angkuh,
Menyinari lembah berbusa cahaya.

Laskar muda, mulut nganga, tak bertudung
Tengkuk ters’limuti s’lada biru segar
Terbujur di rumputan, di bawah awan,
Pucat di alas hijau, sinar menderau

Kaki di genangan bakung, senyumnya
bak
Senyum anak sakit nikmat tidur siang:
Alam, dia beku, buai agar hangat.
Wangi tak menggetarkan lubang
hidungnya
Nyenyak di terik surya, tangan di dada
Di tubuh tenang dua lubang kesumba.

Pembacaan selanjutnya Syam Ancoe amar, aktor yang telah berperan dalam beberapa pertunjukan di Salihara; Oedipus Sang Raja, Amangkurat Amangkurat, Don Quixote, hingga Surat-surat Karna. Syam juga dikenal sebagai filmmaker sekaligus dosen Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta. Puisi yang dibacakannya adalah karya Léopold Sédar Senghor (Senegal).

Sebagai tokoh terkemuka Negritude, dalam puisi Femme noire, Senghor menampilkan wanita Afrika sebagai simbol keindahan dan vitalitas Benua Afrika. Puisi yang ditulis tahun 1945 ketika Senghor kembali dari Perang Dunia Kedua, menegaskan kebanggaan budaya kulit hitam dalam menghadapi kolonialisme, Femme noire menggambarkan wanita sebagai ibu yang terkadang protektif, terkadang seperti muse. Namun secara intim mengaitkan wanita dengan alam dan takdir Afrika. Gaya penulisan yang penuh mantra dan liris, diselingi refrain “Femme nue, femme noire” – Perempuan telanjang, perempuan hitam –, dengan sempurna menggambarkan estetika Negritude yang mendukung identitas kulit hitam yang agung.

Léopold Sédar Senghor

Femme noire
Kutipan dari Nyanyian Bayang-bayang, 1945
Perempuan telanjang, perempuan hitam
Busana warna dirimu adalah kehidupan,
sosokmu keindahan!
Aku tumbuh dalam bayang-bayangmu,
lembutnya tanganmu membalut mataku.
Di jantung musim panas tengah hari,
kudapati dirimu,
Tanah yang dijanjikan di ketinggian bukit jelaga
Dan kemolekanmu menerpa sepenuh hati,
bagai petir rajawali.

Perempuan telanjang, perempuan kelam
Buah ranum berdaging padat kenyal,
remang gairah anggur hitam,
mulut penggerak mulutku merangkai kata,
Padang rumput kering di cakrawala alami,
padang rumput gemetaran,
diterjang angin Timur kencang,
Gendang terpahat, gendang tegang
menggeram diterpa jari-jari pemenang
Desah rendah suaramu adalah nyanyian
jiwa Sang Kekasih


Perempuan telanjang, perempuan kelam
Minyak pengasih tak membuat napas
mengeriput,
minyak penyayang tenang mengelus perut
atlit, perut para pangeran dari Mali
Rusa tertaut tali surgawi, Mutiara bak
bintang dalam kelam malam kulitmu,
Nikmat permainan jiwa, pantulan emas
merah di kulitmu berkilauan
Di bayang rambutmu, sirna nestapaku oleh
terbitnya matahari di bola matamu

Perempuan telanjang, perempuan hitam
Kunyanyikan kemolekanmu yang kini berlalu,
sosok yang kulekatkan dalam kekekalan,
Senyampang Takdir yang cemburu belum
mengubah dirimu jadi abu untuk
menghidupi akar kehidupan

Zulfa Maharani menjadi pembaca puisi ke-3 karya Amina Sa’id, Zulfa adalah alumni Kelas Akting Salihara. Ia terlibat sebagai aktor di beberapa film Indonesia, antara lain Srimulat (2023) dan Crocodile Tears (2024), yang ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival 2024 dan BusanInternational Film Festival 2024. Puisi berjudul Selalu dalam puisi itu (Toujours dans le poème) karya Amina Saïd dari Tunisia. Seorang penyair dan pendongeng Tunisia yang fasih bicara bahasa Prancis, Amina Saïd mengeksplorasi tema- tema pengasingan, kenangan, dan pencarian tempat untuk dimiliki. Lahir pada 1953 dari seorang ayah Tunisia dan seorang ibu Prancis, dia tinggal di Paris sejak 1979 sambil tetap terikat dengan negara asalnya.

Salah satu puisinya yang paling terkenal, toujours dans le poème—Selalu dalam Puisi itu —dalam kumpulan puisi La douleur des seuils—Derita Ambang Pintu—meraih penghargaan Puisi Internasional Antonio Vicarro pada 2004.

Amina Saïd
Toujours dans le poème

Selalu dalam puisi itu
kudengar keheningan
bahkan sebelum kata itu
kuteguk dari mulutnya

kemudian hadirlah segalanya
kata-kata dunia

kataku: selalu dalam puisi itu
kudengar keheningan sebelum kata-kata

jawabmu: seandainya tuhan ada
di sanalah dia tinggal

kutemukan lembah yang benar
bayangan dan cahaya
di sana dia mengakhiri di sana dia
mengawali

dan keheningan sedemikian hingga laut
dan kandungan garam
bergetar bagai sayap burung
sambil perlahan menjinakkan langit
seperti angin bumi kehidupan

seandainya tuhan ada
ya di sanalah dia tinggal

Syam Ancoeamar tampil kembali membacakan puisi Tchicaya U Tam’si dari Kongo- Brazzaville. Tchicaya U Tam’si menggunakan gambaran surealis, duniawi, dan humor hitam untuk mengekspresikan terkoyaknya identitas dan pemberontakan terhadap ketidakadilan pascakolonial. Sejak 1950-an, dia menjauh dari Negritude untuk menempa suaranya sendiri, yang ditandai oleh rasa sakit “dunia hitam” dalam tragedi. Puisinya Gros sang—Darah Pekat—secara naluriah membangkitkan kejahatan batin yang terkait dengan kekerasan historis: darah penyair tampak diaduk oleh sungai beracun, sebuah metafora akibat kolonialisme dan konflik intim.

Gayanya keras, membara, seperti seorang penulis yang dijuluki manusia yang dikuliti dari Sungai Kongo” karena kekuatan tulisannya.

Tchicaya U Tam’si

Gros sang

Dikutip dari kumpulan puisi Le Mauvais Sang, 1955

Kucurahkan seluruh perhatianku pada
kehampaan yang menipu
Demi menemukan kembali dongeng kehebatan
para raksasa mencengangkan
Aku ini baja tempaan, api turunan baru
Dalam merah pekatnya darahku, buih
aliran sungai resah menggelegak

Sungai penuh racun menggenang tanpa ampun
Dunia kebiadaban, Bintang sumpah serapah
Amati yang kubawa, tak hanya satu mimpi
manusia di tanganku
Aku butuh ruang, aku jengah menahan lapar

Lantangnya jeritan dagingku memekak di
pelipisku
Gairah berpendar-pendar, mentari
mengapung tanpa gandar
Takdirku koyak meledak oleh cahayanya
Jangan tidur, alarm kusiagakan

Di sudut langit, wahai kau pecundang,
penyiksa waktu
Bangkaiku bukan milikmu, akulah
pemenang
Biji mataku baja, tawaku besi
Tanganku menata rinci segalanya, kubuat
hari berseri

Dengan kasar kulepas sendi kekuatan
angin karena suaraku harus didengar
Demi mendapatkan kembali hasrat terlukai
yang tak kujual
Aku ini baja tempaan, api turunan baru
Dalam merah pekat darahku, buih aliran
sungai resah menggelegak

Bagian akhir dari pembacaan 5 puisi adalah Prolog – Negeri Kecil karya Gaël Faye (Burundi/Rwanda) Rizal iwan membacakan Kutipan dari dialog antara Gabriel dan ayahnya, menekankan absurditas perpecahan etnis –gambaran hilangnya kepolosan narator. Dalam novel pertamanya yang sebagian besar merupakan otobiografi, Gaël Faye menelusuri kembali masa kecil Gabriel yang pahit manis. Dalam usia 10 tahun pada 1992, dia tumbuh di Burundi dalam keluarga campuran (ayah Prancis, ibu Tutsi Rwanda) ketika “negari kecil” ini terjerumus dalam perang saudara dan genosida terhadap suku Tutsi di negara tetangga Rwanda (PETIT PAYS – Bulles de Dupondt). Gaya penulisan seorang narator anak-anak: jujur, penuh warna, dengan sentuhan humor meskipun konteksnya semakin serius. Faye pertama-tama menggambarkan kehidupan sehari-hari yang bahagia – “di sudut surga” – yang dirusak oleh ketegangan dan kekerasan etnis, dan menghancurkan kepolosan Gabriel. Kutipan yang dipilih menggambarkan ketidakpahaman anak itu dalam menghadapi kebencian etnis.

Prolog – Negeri Kecil oleh Gaël Faye

Ayahku meletakkan garpunya, sesaat dia merenung.

  • Bukan masalah besar sebenarnya . . . Pada awalnya, suku Tutsi peternak, suku Hutu petani.
  • Tapi mereka tidak bicara dengan bahasa yang sama?
  • Mereka bicara dengan bahasa yang sama.
  • Mereka tidak memiliki negeri yang sama?
  • Mereka memiliki negeri yang sama.
  • Mereka tidak menyembah Tuhan yang sama?
  • Mereka menyembah Tuhan yang sama.
  • Lalu kenapa mereka berperang? Ayahku mendesah kesal, lalu berkata,
  • Karena mereka tidak memiliki hidung yang sama.

Selanjutnya tampil Vincent Wiguna membawakan Estampes karya Claude Debussy. Estampes disusun Claude Debussy pada 1903. Karya ini adalah kumpulan tiga bagian piano yang menunjukkan keahlian Debussy dalam menciptakan tekstur dan warna impresionistik. Karya ini terinspirasi oleh berbagai lanskap budaya, dengan setiap bagian menggambarkan suasana yang berbeda: “Pagodes” yang eksotik, “La Soirée dans Grenade” yang ritmis, dan “Jardins sous la pluie” yang dinamis.

Pianis Vincent Wiguna lulus dari Royal Conservatoire of Scotland, tempat ia belajar mengaba (conducting) dengan Martyn Brabbins. Ia adalah Direktur Musik Jakarta Festival Chorus dan aktif bermusik di Jakarta Modern Ensemble. Sebelum menempuh studi di Skotlandia, Vincent bekerja sebagai asisten pengaba untuk Jakarta City Philharmonic dan Bandung Philharmonic.

Rangkaian Menjelajahi Puisi Frankofoni ditutup dengan ceramah oleh Goenawan Mohamad mengenai Arthur Rimbaud, salah satu tokoh budaya Prancis yang sempat singgah di Indonesia pada 1876. Arthur Rimbaud tidak begitu dikenal di Indonesia, khususnya dalam sastra Indonesia. Tapi, bukan sama sekali asing. Tahun 50-an, ada dua jilid buku berjudul Puisi Dunia, berupa sajak-sajak internasional yang diterjemahkan M. Taslim Ali.

Puisi Rimbaud dianggap salah satu puisi modernis. Bukan puisi untuk berkhotbah atau bercerita. Dalam ceramah ini, Goenawan Mohamad akan menililk Arthur Rimbaud dari kalimatnya yang terkenal, “je est un autre” dan membandingkannya dengan “Aku” Chairil Anwar.

GM mengutip sepotong sajak dalam kumpulan Puisi Dunia tak terlupakan: terjemahan sajak Faim, sebuah puisi yang menurut GM terasa getir, ajaib, dan membingungkan, dalam terjemahan bahasa Indonesia yang memikat oleh Taslim Ali.

Laparku, Anne, Anne, Lari di atas keledaimu
Jika aku lapar, hanyalah Lapar bumi dan lapar batu
Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin Batu dan arang besi

Saya tak kunjung menangkap Faim, ujar GM.

Di sana kalimat tak punya subyek-tata-bahasa yang lazim: di sana, “aku” yang “lapar” adalah “lapar bumi dan lapar batu”.


Agaknya di sini kita menemui, atau memasuki apa yang disebut Rimbaud “dérèglement de tous les sens,” “berantakannya semua makna“.

Di masanya Rimbaud dianggap membuka pintu bagi surrealisme Prancis, yang lazimnya ditandai cetusan-cetusan spontan, kalimat yang tak jelas dan tak disusun terencana secara sadar; lahir dari intensitas yang super tinggi. Maknanya bergejolak. Seakan-akan melalui proses ajaib. Penyair Eluard menyebutnya “mistisisme jenis baru”. Rimbaud sendiri menyebutnya “kimia kata”, alchimie du verbe.  Ia melihat dirinya bukan sebagai “penyair”, melainkan “visioner”. Ia mencapai “yang tak diketahui”, katanya, dan mendengarkan apa yang “tak terdengar”. Ia adalah “aku” yang bukan subyek dalam perilaku sehari-hari.

Pada Lapar, subyek tak definitf, tak stabil: “lapar” yang “lari di atas ” keledaimu” (bahkan bukan “keledaiku’).

Satu “rumusan” Rimbaud yang terkenal (kalau bisa disebut ‘rumusan”) adalah, je est un autre: “Yang disebut ‘aku’ sebenarnya adalah “orang lain”. Rimbaud mencopot kata aku, “je” (subyek dalam frase itu) dari peran sebagai kata ganti persona. Kata itu dimunculkan sebagai kata lain dalam gramatika. Dan                                          je pun terbebas dari acuan yang tetap. Peran dan makna “je” berubah, menurut waktu dan tempat. “Aku” adalah mahkluk sejarah.

Puisi Rimbaud bisa merupakan ekspresi ketidak-pastian yang radikal. Ma faim, Anne, Anne,

Fuis sur ton âne.
“Aku” itu kata yang lasak.

Rambaud tak gemar tinggal diam — tak hanya dalam sajak-sajaknya. Dalam Revolusi Prancis tahun 1871, ia mendukung Komune Paris, gerakan jelata yang terhimpit, membangkang Napoleon II dengan senjata. Sikap yang sebenarnya sudah lama terpendam. Dalam umur 15 Rimbaud menulis Forgeron, sebuah sajak panjang. Ia bercerita, ada seorang tukang besi yang menemui Raja Louis XVI di Istana Tuileries di hari-hari awal Revolusi. Si pandai besi menyatakan: “Kami pekerja, tuan, kami pekerja!”. Kami akan “bekerja bersahaja, bergairah, tiap hari, disertai senyum orang yang kami cintai”.

Tapi juga “kami bersiap bedil.”

Albert Camus menyebut Rimbaud “penyair pemberontakan”. Tapi bukan penggerak revolusi dengan program kekuasaan.

Di tahun 1876, Rimbaud, yang sudah diakui sebagai penyair ketika baru berusia 19 tahun, meninggalkan Eropa, pergi ke Afrika, jadi pedagang kopi, jadi pedagang senjata, jadi serdadu bayaran — dan hal-hal lain yang agak jorok.Kakinya terjangkit kanker. Ia meninggal dengan diamputasi dalam usia 35.

Gurunya, Georges Izambard, dalam surat bertanggal 13 Mei, 1871, mengambil kesimpulan, Rimbaud telah melakukan littératuricide, “bunuh diri” sastra. Sang penyair ternyata berhenti sama sekali menulis puisi. Bunuh diri sastra, berhenti sama sekali menulis puisi, tak terbayangkan akan dipilih seorang yang hanya empat tahun sebelumnya membuat kagum lingkungan sastra Prancis pertengahan abad ke-19. Ada yang menduga, ambisi masa remajanya untuk jadi seorang penyair justru membatasi dirinya. “Menulis puisi” adalah sebuah agenda yang pendek dibanding dengan “menjadi penyair.” Menjadi “penyair” itu sesuatu yang definitif, kurang-lebih. “Menulis puisi” tidak.

Puisi berlangsung terus, juga ketika tak ditulis, dan dengan sendirinya ketika ditafsir. “Bunuh diri sastra” –seperti dilihat dilakukan Rimbaud — selalu gagal.

Bagikan:

Penulis →

Syam Ancoe amar

Menamatkan pendidikan Film dan Televisi di IKJ dengan Peminatan Sutradara. Dalam perjalanannya, Total Film maker menjadi pilihan profesi yang menuntut pengaplikasian pemahaman sejak Penulisan, memroduseri, penguasaan Sinematografi, artistik, sound, editing, hingga keaktoran. Agar konsistensi ini terus berkembang, pilihan menjadi pengajar Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta, dan Politeknik Media Kreatif Jakarta, adalah pelengkap agar penguasaan ilmu maupun teknis tetap bertumbuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *