BASIR dihadapkan pada tanda tanya besar tentang pertanyaan yang sering dilemparkan kepadanya perihal apa masa depan seorang penyair, apakah puisi mampu mengangkat derajat sebuah keluarga, apakah buku puisi bisa berubah menjadi uang panai untuk mendapatkan restu calon mertua untuk anak gadisnya yang bergelar Andi?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin sering muncul dalam kepala Basir sebab setelah dua tahun mendapatkan gelar sarjana sastranya, ia belum juga bertandang ke rumah Andi Tenri Deri—perempuan yang telah dipacarinya sejak empat tahun lalu untuk mengajukan sebuah lamaran dan mengesahkan sebuah ikatan.
Jauh sebelum mengenal Andi Tenri Deri, Basir pernah memiliki hubungan yang cukup lama dengan perempuan lain, sayangnya, hubungan itu harus berakhir tanpa kejelasan sebab perempuan itu memilih untuk melanjutkan studi magisternya di Jogjakarta. Kisah pilu ditinggal pergi tanpa kepastian itulah yang memaksa Basir untuk menjadi seorang penyair.
Andi Teni Deri mendesak Basir untuk segera mengambil keputusan sebab Ettanya juga telah mendesaknya untuk menerima pinangan kerabatnya yang juga sesama orang Bugis. Dalam keadaan seperti itu keputusan tidak boleh diambil tergesa-gesa melainkan dengan pikiran yang matang. Begitulah yang ada dalam kepala Basir sementara Andi Tenri Deri dengan penuh harapan ingin melihat kekasihnya itu betul-betul menjadi laki-laki Mandar.
***
*
Aku kehabisan akal, buku puisi yang kuterbitkan secara mandiri tak laku dan puisi-puisi yang kukirimkan untuk beberapa media tak ada yang dimuat. Banyak yang perlu dibayar, selain itu, desakan kekasihku untuk diberi kepastian sungguh membuatku pusing. Dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa membuat puisi lagi dan lagi. Kadang cuman puisi yang mengerti keadaanku. Sejujurnya, aku tak tahu kenapa berat cintaku padanya, mungkin karena ia terlalu baik atau barangkali kita sudah terlanjur bersama selama empat tahun, lalu hadirlah rasa nyaman yang kuanggap cinta. Tiba-tiba saja aku ingat kata-kata Jalaluddin Rumi perihal cinta yang tak memiliki pengertian, jika aku sedang berusaha mencari tahu sebab-musabab cintaku padanya.
Aku akan memberi tahumu. Kekasihku itu meskipun sangat keras kepala tapi sungguh sangat manja pula, tetapi itulah yang aku suka. Dia selalu mampu hadir dengan apa adanya dan membuat hidup ini terasa sangat berwarna. Dia juga sering marah padaku jika saat menyuruhku untuk mencari kerja dan aku—seperti biasa lebih memilih menulis puisi dan memberikan senyum-senyum kecil padanya ketimbang betul-betul mencari kerja seperti yang ia inginkan dan aku tak perlu memberikan dia penjelasan panjang lebar bahwa penyair itu sebuah profesi dan menulis puisi itu pekerjaan—untuk keabadian pula. Coba bayangkan.
Sebenarnya kata-kata terakhir itu untuk sekadar membuatku terasa tenang saja. Kadang aku berpikir untuk mengakhiri semuanya, tetapi tidak dengan hubunganku dengan Andi Tenri Deri. Aku mencintainya hingga matahari tak terbenam lagi di barat.
“Aih, betapa cinta mati betul kau, Basir,” ucap selalu kawannya saat Basir membacakan puisi-puisi hiperbolis untuk kekasihnya itu di sembarang tempat.
Tiga puluh hari. Itu adalah waktu yang Andi Tenri Deri berikan kepadaku untuk menyiapkan semuanya, uang panai sebanyak seratus juta, di luar sapi dan kelengkapan lainnya. Aku sangat paham bahwa keluarganya sangat menjaga adat apalagi keluarganya juga memiliki darah biru yang masih murni, terlebih lagi tiga bulan lalu adiknya yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas dilamar dengan uang panai lima puluh juta. Aku tidak keberatan dengan itu, sebab aku selalu percaya bahwa cinta adalah perjuangan dan tak mungkin aku permalukan Andi Tenri Deri depan keluarga besarnya dengan hanya bermodalkan retorika belaka.
Niatku yang tulus tak berbanding lurus dengan keadaan yang kuhadapi. Aku tak mungkin menyusahkan ibuku yang menghidupi kedua adik laki-lakiku yang masih kecil dengan modal uang pensiunan bapakku. Aku sudah menyampaikan ini kepadanya untuk meminta restu, tetapi ibu tak menunjukkan paras bahagia setelah kuceritakan secara lengkap tentang niatku untuk menikahi Andi Tenri Deri. Ibu dengan lesu memberi restu sebab ia tahu uang sebanyak itu tak mungkin dimilikinya kecuali menjual kebun peninggalan bapakku, dan Ibu dengan berat hati bersedia menjualnya meskipun sebenarnya kebun itu untuk investasi masa depan kedua adikku yang ingin sekolah tinggi juga. Aku merasa tak enak hati sebab sebagai anak sulung seharusnya tugasku mengurangi beban ibu, bukan sebaliknya. Kepalaku kubaringkan di lututnya, dia duduk di kursi dan aku di lantai. Ibu mengusap ubun-ubun kepalaku seraya bercerita tentang kehidupan di masa lalu, juga tentang bapakku.
“Bapakmu dulu adalah keturunan bangsawan di Mandar. Dia masih dianggap anaq pattola payung atau untuk membuatmu paham, jika sistem kerajaan masih berlaku maka posisi mendiang bapakmu sekarang adalah Maraqdia. Juga ia seorang Pegawai Negeri Sipil sedari lulus Sekolah Menengah Atas dan tentunya pasti kau tahu, derajat seorang bangsawan sekaligus seorang pegawai negeri di kampung, dia akan sangat disegani dan dihormati.” Cerita ibu dengan bangga sambil mencari kutu di rambut hitamku yang terurai.
“Lalu bagaimana Ibu bisa ketemu dan akhirnya menikah sama bapak?”
“Nah, pada bagian inilah sebenarnya inti ceritaku, Nak. Semoga bisa kau jadikan pelajaran hidup ke depan. Sebenarnya aku sudah tak begitu ingat bagaimana kami bisa saling bertemu hingga akhirnya memutuskan untuk berumah tangga, tetapi yang paling tak bisa kulupakan adalah saat di mana hubungan kami tak mendapatkan restu. Keluarga besar bapakmu menentang keputusan bapakmu untuk menikahi ibu sebab sebuah aib jika seorang keturunan bangsawan menikah dengan orang biasa sepertiku karena hal itu akan merusak keturunan sebab kadar darah biru yang tak seimbang. Dan kau tahu, Nak? bapakmu memilih jalan yang sangat memalukan. Ia tetap menikahiku meski tak ada restu yang dia pegang.”
Sembari memperbaiki letak duduknya, ibu Basir melanjutkan.
“Dia tak menghiraukan suara-suara keluarga besarnya yang mengancam untuk mengeluarkan bapakmu dari anggota keluarga. Dan masih kuingat jelas, pamanmu, kakak pertama bapakmu sudah siap mengeluarkan badik dari sarungnya. Untung tak jadi sebab nenekmu menjadi tameng dan bahkan ia rela mati untuk bapakmu. Kau tahu kan, Nak, arti badik yang keluar dari sarungnya? Hingga akhirnya bapakmu tak dianggap lagi di keluarga besarnya, bahkan di saat kematiannya tak ada satu pun keluarga bapakmu yang datang melayat. Dan itulah kenapa namamu sama sekali tak memilki unsur kebangsawanan karena bapakmu tak ingin kau bernasib sama dengan dirinya” Keningku basah, saat aku membuka mata ternyata Ibu bercerita dengan menjatuhkan air mata.
**
Aku mulai ragu, retorika Basir dalam puisi-puisinya tak lagi membuatku luluh. Barangkali ia pura-pura tak tahu bahwa perempuan butuh kepastian, ia tak bisa diombang-ambing tanpa kejelasan. Namun, jika kuingat lagi, waktu empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sekadar bermain-main dengan perasaan. Basir adalah lelaki biasa-biasa saja. Jika kau ingin melihat penampilannya, kau boleh lihat mahasiswa-mahasiswa sastra atau seni yang gaya penampilannya lepas dari konsepsi rapi dalam padanan masyarakat kelas atas, kota, dan mapan. Basir selalu memegang buku catatannya bagai cincin kawin seorang pengantin baru yang tak ingin dilepas. Suatu kali aku temukan puisi untuk perempuan lain. Aku marah dan dia hanya tersenyum.
Dia bilang, “Perpisahan paling buruk adalah perpisahan tanpa melahirkan puisi.”
Tentunya aku menggerutu tapi aku bersyukur karena jika aku orang yang dimaksud berarti aku sudah tak bersamanya sekarang.
Kami menjalani hubungan yang serius, tetapi main-main. Maksudku, aku tak perlu menunjukkan ke orang-orang banyak tentang hubunganku untuk sekadar mengumbar bahwa kami saling mencintai dengan tulus. Toh, pada kenyataannya tanpa perlu seluruh dunia tahu, aku mencintai Basir dengan setulus hati dan dia mencintaiku sedalam puisi-puisi yang dia selalu tulis dengan cinta. Kalimat terakhir adalah kutipan andalannya untuk selalu membuatku meronakan pipi sebab aku adalah puisi yang ia cintai. Untuk perempuan sepertiku yang tak terlalu gemar membaca, kata-katanya selalu menjadi magnet tersendiri untuk membuatku lebih rajin membeli buku dan pergi ke perpustakaan kampus.
Hubungan yang kami jalani seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir, kadang menghantam batu, tetapi tak pernah berhenti hingga waktu itu tiba saat Etta bilang kepadaku
“Sudah waktunya kau menikah, Nak. Tak ada alasan untuk menunda. Bertambah usia tak bisa kau tunda. Terima sudah itu sepupu dua kalimu. Dia sudah dewasa, hanya terpaut lima tahun darimu, lagi pula dia juga sudah pegawai negeri, keluarga juga dan darahnya seperti kita, jadi kurang apa lagi?”
Sebagai anak yang baik, tentunya aku tak melawan orang tua. Aku tak pernah dididik untuk menentukan pilihanku sendiri tanpa melibatkan orang tua. Di keluargaku pesan-pesan keluarga adalah sebuah pamali yang tak boleh dilanggar, jika berani melanggar ia akan berakhir karma. Etta masih menunggu untuk dibalas ucapannya. Tak boleh dibiarkan mengambang sebab kutahu, tak ada orang yang suka digantung tanpa kejelasan.
“Sabar Etta, jika Basir tak jua datang dalam waktu tiga puluh hari, aku siap dipinang,” dengan tegas aku beritahu Etta agar dia percaya dan yakin dan tak perlu meninggikan suaranya untuk menyanggah segala ucapanku.
“Basir, aku menunggumu. Datanglah segera”.
***
Kebun milik Basir akhirnya laku. Pengusaha dari Makassar membelinya dengan harga dua ratus juta. Basir senang bukan kepalang, itu artinya seratus lima puluh juta dapat dia gunakan untuk menikah dan lima puluh juta lagi bisa disimpan ibunya untuk biaya kuliah kedua adiknya nanti. Dengan gagah berani ia menimbun segala ketakutannya. Dia menanggalkan cara berpakaiannya yang senang dengan kaos oblong dan sandal jepit. Dia menggunakan kemeja baru serta parfum buatan Paris yang baru dibeli untuk menambah rasa percaya dirinya. Sopir ojek online telah datang, dia pun menuju ke rumah Andi Tenri Deri dengan bahagia yang tiada tara.
Namun, sesampainya di sana. Dia disambut dengan keramaian. Basir melihat banyak perempuan dan lelaki yang menggunakan pakaian adat Bugis. Sejenak dia tak mampu berkata-kata. Jauh dalam dirinya ia terkulai meski fisiknya masih sanggup berdiri tegak. Kedua lututnya terasa goyah, ia bagai jatuh dari ketinggian yang membuat hidungnya sulit bernapas hingga kerongkongan serasa berduri untuk sekadar mengeluarkan kata. Namun, Basir tidak pulang.
Basir melangkahkan kaki sejengkal demi sejengkal. Dia dijabattangani para penyambut tamu. Dia berjalan tanpa menundukkan kepala. Tegap kepalanya menatap kedua mempelai di hadapannya dengan pakaian adat Bugis yang lengkap. Beberapa tamu yang datang, keluarga dekatnya, teman-temannya, menatap Basir serentak. Suasana seketika riuh. Mereka tentu kenal siapa Basir. Semakin dekat langkah kaki Basir dengan panggung pelaminan semakin jelas terdengar bisik-bisik mereka:
“Kodong,Basir.”
“Astaga, kalau saya tidak akan mau datang.”
“Terbuat dari apa itu hatinya.”
“Sialan, kenapa kau tumpah, sundal!” Basir memaki dirinya sendiri dalam hati sebab tanpa mampu ia tahan, air mata telah membahasi pipinya.
***
*
Sampailah aku di panggung. Setelah mengucapkan selamat kepada suaminya yang tidak tahu diri membisikku dan mengelus-ngelus pundakku dan bilang, “Yang sabar, dinda. Begitu memang kehidupan.”
Aku menjabat tangan Andi Tenri Deri, tangannya dingin dan wajahnya juga sama dinginnya. Aku tahu dia hanya berpura-pura tegar, tetapi dalam hatinya hancur lebur. Dengan rautnya yang datar dia membisik. Mulutnya dan telingaku dekat sekali, dia bilang, “Tanggal berapa sekarang?”
Catatan:
- Maraqdia adalah panggilan Raja di Mandar 2. Anaq Pattola Payung sebutan untuk keturunan bangsawan Mandar yang berhak menjadi seorang raja atas izin pemangku adat atau garis keturunannya yang disebut Anaq Pattola Adaq.
Tentang Penulis