Luka Bakar Nusapura




ENTAH siapa yang memulai, mereka menjulukiku Gembel. Ada juga Kelana. Yang punya waktu luang lebih, menggabungnya jadi satu tarikan napas: ‘Gembel Kelana’. Silakan, pakai nama apa saja. Asal jangan kalian seret nama-nama suci dari kitab-kitab tua itu untuk menunjuk hidungku, kecuali kalian memang gemar melihat para penjaga dogma saling cakar, berebut klaim paling absah atas ramalan akhir zaman, yang lebih mereka takuti ketimbang perintah Tuhan dan para nabi-Nya. Aku? Aku hanya debu yang menempel di sepatu zaman, berjalan dari satu negeri yang terbakar kebohongan ke negeri lain yang membara oleh harapan palsu. Dari musim kemarau nurani ke musim hujan air mata buaya. Dari musim panen janji busuk ke musim tanam harapan palsu.

Setiap kelana adalah upaya sia-sia untuk lari dari gema tawa para iblis yang menyamar jadi negarawan, jadi pemuka, jadi cendekia. Dan kini, kakiku tertahan lebih lama di Nusapura, negeri yang sukses membuat lambungku mual oleh tingkah laku spesies yang menamakan dirinya manusia. Mereka bilang, uang itu biang keladi segala dosa. Lucu. Aku lihat sendiri, para miliarder di sini justru getol menambah koleksi dosa baru, seolah takut ketinggalan tren, membangun istana-istana mereka di atas kuburan harapan si miskin. Mereka bilang, kekuasaan itu alat mulia untuk mengangkat derajat rakyat. Nyatanya, yang terangkat hanya dagu para penguasa, makin tinggi, makin jauh dari tanah tempat rakyat mengais sisa martabat, sementara tangan-tangan mereka tersembunyi, sibuk membagi rampasan. Para pemuka agama, dengan jubah dan lisan yang lebih berkilau dari emas murni, serempak bersabda: agamaku, jalan kebaikan paripurna. Anehnya, kebaikan itu mendadak jadi rabun, bahkan buta, saat berhadapan dengan keyakinan tetangga yang berbeda stempel, atau saat pundi-pundi persembahan lebih menggiurkan dari ayat suci.

Lalu, para arsitek kekuasaan, para teknokrat berjas necis yang berkumpul di ruang-ruang rapat berpendingin hingga membuat nurani ciut meringkuk, mereka percaya diri bahwa kendali ada di ujung jari mereka, bahwa ilmu pengetahuan adalah jaring antisipasi segala kemungkinan. Omong kosong. Yang kutemukan adalah wajah-wajah pias, baru tersadar bahwa tali kendali yang mereka genggam ternyata hanya ilusi optik, fatamorgana di padang pasir kekuasaan yang mereka ciptakan sendiri, tali yang ujungnya dipegang oleh dalang-dalang tak terlihat.

Negeri ini, Nusapura, ah… Nusapura. Ia menamparku dengan tiga kenyataan telanjang:

Pertama. Jika moral dan etika di sebuah negeri sudah jadi paket ritual obralan di pasar loak, jangan sibuk menyalahkan iblis atau mencari kambing hitam impor. Suruh saja para pemuka agama dan penegak hukum itu berkaca. Lama-lama. Sampai mereka bisa membedakan antara moralitas yang menempel di kostum panggung dengan kejujuran yang meresap sampai ke sumsum tulang akidah dan etika. Karena di Nusapura, panjang jubah seringkali berbanding lurus dengan daftar kemunafikan yang disembunyikan di baliknya, dan suara mereka lebih lantang membela citra ketimbang kebenaran.

Kedua. Jika sebuah negeri yang gembar-gembor punya budaya adiluhung ternyata korupsinya sudah stadium akhir, di mana para pendusta jadi selebriti dan lari dari tanggung jawab adalah olahraga nasional, coba tengok para seniman dan budayawannya. Masihkah pena mereka setajam silet, atau sudah tumpul karena terlalu sering dipakai menggaruk punggung penguasa, menukar kritik dengan kenyamanan semu? Masihkah karya mereka mampu membangunkan nurani yang tertidur pulas, atau jangan-jangan mereka sendiri sudah terlelap dalam mimpi indah post-truth yang dibiayai negara, menyanyikan lagu-lagu kebesaran palsu? “Kebohongan itu seperti rumah mewah—dibangun dari utang, dihuni oleh rasa takut,” bisik seorang penyair tua yang memilih bungkam sampai akhir hidupnya. Apakah keindahan permukaan artifisial nirmakna, sudah lebih indah dan nikmat dari membasuh koreng peradaban?

Ketiga, dan ini yang paling sering membuatku ingin tertawa sambil menangis di bawah jembatan layang Puravena. Jika sebuah negeri lupa—atau sengaja dilupakan—bahwa negara dan segala tetek bengek birokrasinya itu cuma alat, cuma perkakas untuk mencipta keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan berhala yang harus disembah, maka jangan kaget jika suatu pagi mereka terbangun dan mendapati bahwa seluruh bangunan negerinya berdiri di atas pondasi kebohongan sudah hancur. Satu dusta ditutup dusta lain, menambal ban bocor dengan permen karet, hanya menunggu ledakan berikutnya.

Tiga tiang keropos ini—spiritualitas yang dangkal dimana pertobatan, mitos, simbol, dan khurafat diperdagangkan bahkan dipertuhankan, kebudayaan yang dikebiri, dan negara yang lupa diri—semuanya ambruk dan terlilit jadi satu di Nusapura. Benang kusut yang tak seorang pun berniat mengurainya. Begitu nyaman dalam buaian kekuasaan, terlalu sengsara untuk bangun dari mimpi dan harapan palsu.

Mereka bilang, di Nusapura ada falsafah luhur, inti sari kearifan yang sekecil biji sesawi tapi mampu memayungi jagat raya. Kentut! Yang ada hanya falsafah “asal atasan senang” dan “yang penting proyek jalan terus, rakyat urusan belakangan.” Tanpa akidah yang lurus dan benar, tidak ada agama sejati. Tanpa filsafat yang mendasari bangunan kebudayaan dan kenegaraan, yang ada cuma cita-cita (baca: ambisi) lima tahunan, sesuai siklus demokrasi di Nusapura; yang lebih mirip pasar malam tempat para badut menjual janji.

Demokrasi di Nusapura adalah barang antik, yang ingin dipilih tak perlu sadar kompetensi setelah memakai jubah transparan dari para oligarki, industrialis, oportunis, dan penjilat. “Betapa pantasnya Bapak memimpin negeri ini, hanya orang-orang tertentu yang menyadari kebesaran Bapak dalam jubah ini!” kata mereka tersenyum culas. Dan kita para rakyat. Ya! Kita! Yang kerap menaruh kaca mata akal sehat dan hati nurani sebelum memasuki kotak suara memilih para pemimpin dan perwakilan, terjajah manipulasi dan intimidasi, demi Kepeng yang terlalu murah untuk nasib anak cucu kita yang tergadai selama lima tahun.

Aku bukan penceramah yang lidahnya fasih mengutip ayat. Bukan motivator yang menjual mimpi dengan harga selangit, bukan pula guru bangsa yang suaranya kalian tunggu-tunggu di mimbar-mimbar kehormatan. Aku hanya gembel, seorang pengkhianat terakhir yang masih bisa menulis, kebetulan mataku belum buta dan telingaku belum tuli oleh hingar bingar kebohongan ini. Aku tak pernah menulis untuk membela kebenaran yang tak butuh pembela dan pembenaran. Aku menulis karena tak sanggup lagi hidup di antara kalimat yang dipalsukan eufimisme dengan logika sumbang. Aku menulis bukan untuk menyelamatkan Nusapura, hanya ingin kalian tahu—sebelum semuanya jadi arsip yang dimakan rayap, atau “hilang terbakar” di gudang data negara, atau disapu kepunahan massal berikutnya, dan generasi nanti tak punya dongeng untuk diceritakan.

Jadi, mari. Simaklah, kalau berani, satu fragmen dari apa yang ku sebut sebagai “Silsilah Kebobrokan Nusapura.” Ini bukan dongeng pengantar tidur, namun sebuah rekaman dari apa yang ku saksikan dengan mata kepala sendiri, arsip yang nyaris terkunyah habis oleh mesin penghancur kebenaran, yang ku tulis di bawah temaram lampu minyak, berharap kata-kata ini akan menemukan jalannya sendiri.

Di Bawah Bayang-Bayang Perkutut Emas yang Catnya Luntur Dimakan Karat. Republik Nusapura. Di etalase depan, ia adalah paradoks yang berkilau sekaligus menusuk mata. Puravena, ibu kotanya, adalah panggung besar: menara-menara baja dan kaca, simbol arogansi modernitas, berdiri angkuh di atas perkampungan kumuh yang disembunyikan rapat-rapat seperti aib keluarga. Jalan layang, ular beton raksasa, meliuk-liuk, sementara di bawahnya, kehidupan merangkak dalam debu dan keputusasaan. Pusat perbelanjaan adalah kuil-kuil konsumerisme, menjajakan ilusi kemakmuran dengan lampu neon yang tak pernah lelah berkedip, menipu mata yang lapar dan jiwa yang kosong.

Tapi, coba kau intip ke belakang panggung, seperti yang kulakukan malam itu, dari balik bayang-bayang sebuah klub malam paling privat, Klub Harmoni, tempat para dewa kecil Nusapura merajut takdir bangsa. Di lorong-lorong kekuasaan yang remang dan berbau amis intrik, di bilik-bilik hati para pemainnya yang pengap oleh ambisi, sebuah jamur tua bernama kebobrokan merambat pelan, mengakar, abadi. Warisan tak kasat mata, diturunkan dari satu rezim ke rezim berikutnya, sebuah silsilah memuakkan yang tak pernah dicatat dalam buku sejarah resmi—buku yang tintanya selalu bisa dibeli, yang halamannya selalu bisa ditulis ulang.

Ini negeri di mana sejarah adalah reservasi makan malam di restoran mahal, bisa dipesan dan ditulis ulang oleh siapa saja yang punya kuasa dan uang. Kebenaran? Ah, itu komoditas langka, harganya lebih mahal dari nyawa, diperjualbelikan di pasar gelap intrik politik. Kesetiaan? Murah meriah, sekadar cuitan bisa ditukar dengan sebungkus nasi atau janji jabatan. Di sini, di bawah bayang-bayang lambang negara, Perkutut Emas, yang cat emasnya sudah banyak terkelupas di gedung-gedung pemerintahan, tarian kekuasaan yang itu-itu saja dipentaskan berulang kali. Penarinya ganti, topengnya ganti, musiknya sama: genderang perang memperebutkan tulang belulang rakyat.

Para pangeran feodal berganti kostum jadi taipan berdasi sutra. Idealisme anak-anak muda yang dulu berapi-api? Pelan-pelan menguap, tersedot lumpur pragmatisme yang lengket dan mematikan. Dan rakyat jelata, penonton setia pertunjukan busuk ini, hanya bisa melongo dari tribun paling jauh, menggenggam harapan yang makin hari makin rapuh, atau mencibir dengan sinisme yang kian pekat. Kami tidak buta. Hanya terlalu lelah untuk terus melihat dan pura-pura waras.

Malam itu, di sebuah ruang kerja berpanel kayu mahoni di sudut paling privat Klub Harmoni, pengap oleh asap cerutu Kuba dan dusta yang lebih pekat, beberapa bajingan terhormat sedang mengatur arah angin untuk dekade mendatang. Aku meringkuk di kegelapan, dekat jendela ventilasi yang sedikit terbuka, menangkap setiap kata mereka seperti seorang pencuri menangkap permata. Asap itu, seperti selubung dusta, memburamkan wajah-wajah yang terlatih menyembunyikan niat busuk di balik senyum paling menawan atau tatapan paling dingin.

Senator Sepuh Herlambang Adiwangsa, rambutnya mulai memutih tapi cengkeraman kekuasaannya masih sekuat baja, menyesap cognac XO-nya. Minuman mahal, dibeli dari pajak rakyat yang mungkin malam itu hanya makan nasi aking. Di depannya, duduk seorang pria berwajah licin, utusan dari Tuan Besar Zong Bow Hong—nama yang lebih sering dibisikkan dengan nada takut daripada diucapkan terang-terangan. Oligark siluman, guritanya mencengkeram setiap sendi ekonomi Nusapura. Di sisi mereka, seorang bankir dari klan Tirtaprawira, yang keluarganya sudah kenyang makan dari rente negara, dan seorang jenderal purnawirawan, mewakili faksi militer yang selalu siap sedia “mengamankan kepentingan nasional”—baca: kepentingan mereka sendiri.

“Jadi, kita sepakat,” suara Herlambang, serak tapi tak kehilangan nada perintahnya. Mirip suara algojo yang memastikan tali gantungan sudah cukup kencang. “Putra Mahkota Nabong itu… agak liar, memang.” Ada jeda. “Terlalu banyak foya-foya di kasino luar negeri, telinganya terlalu tipis untuk menolak bisikan sesat.” Ada nada kecewa seorang bapak pada anak haram jadah yang tak kunjung pintar. “Tapi dia darah Adiwangsa. Pion kita. Bisa kita setir.”

Utusan Tuan ZBH hanya mengangguk, matanya yang sipit berkilat di balik kacamata. Dingin. Seperti mata reptil. Baginya, Nabong hanyalah aset, ‘investasi’ yang harus terus menghasilkan dividen. Moral? Kapasitas? Persetan. Selama patuh dan menguntungkan, itu cukup.

“Yang krusial,” Herlambang melanjutkan, tatapannya menusuk bankir dan jenderal, seolah menembus isi kepala mereka, “memastikan ‘ekosistem’ di sekeliling boneka kita ini tetap kondusif. Media massa harus terus bernyanyi lagu yang kita inginkan. Aparat hukum, ah, mereka harus ‘mengerti’ mana prioritas, mana yang boleh disentuh, mana yang tidak. Dan tentu saja,” bibirnya menyunggingkan senyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk meremang, “pelumas untuk ‘stabilitas politik’ harus terus mengalir deras ke kantong-kantong yang sudah ditentukan.”

Sang bankir dan jenderal mengangguk. Seperti anjing peliharaan yang patuh. Mereka hafal skenarionya. Mereka adalah bagian dari silsilah keparat ini, mata rantai dalam sebuah sistem di mana mereka saling memangsa sekaligus saling melindungi. Mereka akan dapat jatah kue, selama mereka memastikan kue itu tak pernah sampai ke piring rakyat.

Tak ada satu kata pun malam itu tentang nasib jutaan perut yang melilit kelaparan. Tak ada diskusi tentang keadilan yang sudah jadi barang mewah. Yang ada hanya kalkulasi untung-rugi kekuasaan, pembagian kapling jarahan, dan strategi agar kendali sesungguhnya tetap di tangan mereka, para sutradara tak terlihat yang menertawakan Nusapura dari balik layar beludru.

Di luar jendela mahoni itu, Puravena berdenyut dengan energi palsunya, kota yang baru saja diguyur hujan panas—lengket, pengap, dan penuh curiga. Aku beringsut dari persembunyianku, catatan-catatan kecil di tanganku gemetar, bukan karena dingin, tapi karena muak yang meluap. Di kejauhan, di atas riak keruh sungai yang membelah kota, kulihat siluet seorang bocah, mungkin anak nelayan, sedang menarik jalanya yang tampak kosong, di bawah langit yang sama yang menaungi para perancang kebusukan itu. Ia tak tahu, takdirnya, dan takdir jutaan sepertinya, sedang ditenun malam itu, ditarik ke dalam pusaran yang sama, warisan kebobrokan yang sama, yang akan menelannya bulat-bulat jika tak ada yang berani bersuara, atau setidaknya, mencatat.

Karena di Nusapura ini, kawan, kebobrokan bukanlah kecelakaan. Ia adalah silsilah. Penyakit kronis yang diwariskan dengan khidmat, menunggu mangsa berikutnya, tak peduli seberapa suci niat awalmu saat melangkah masuk ke dalam istana yang dindingnya terbuat dari tulang belulang rakyat.

Kertas-kertas ini, catatanku malam ini, mungkin tak akan mengubah apa pun. Mungkin hanya akan menjadi satu lagi arsip bisu. Tapi setidaknya, ia ada. Sebagai kesaksian. Sebagai luka bakar yang kuabadikan dalam aksara. Esok, entah di mana lagi kakiku akan melangkah, tapi secarik catatan ini akan kusimpan rapat, seperti sumpah yang tak terucap. Mungkin suatu hari, seseorang akan menemukannya, dan mengerti. Atau mungkin juga tidak. Tak masalah. Yang penting, malam ini, aku telah menulis secuil kewarasan di tengah kegilaan Nusapura. Apakah kita sedang tertawa atau justru ikut menangis dalam diam? Atau jangan-jangan, kita adalah bagian dari kerusakan itu sendiri.

***

Bagikan:

Penulis →

Burhan Ehsan

Lahir 16 Januari 1973 di Ujungpandang (sekarang Makassar). Co-founder, webmaster, dan kolumnis redaksiana di situs komunitas pewarta warga wartakita.id dan penulis di rosmagdalena.com. Gemar melukis, fotografi, dan menulis esai, refleksi, dan juga biografi. Sedang menyelesaikan biografi pelukis Ali Walangadi dan istrinya Ros Magdalena, juga beberapa fiksi lainnya (novel dan cerita pendek).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *