Hujan salju turun deras sore ini. Saya berdiri di depan rumah keluarga Andersen dan bertanya-tanya di dalam hati; beginikah perubahan musim di masa depan? Saya belum pernah melihat hujan salju selebat ini. Beberapa kepingnya melekat di wajah, di bahu, di rambut, lalu ‘bum’ sebongkah es terjatuh dari dahan mapel. Saya terkejut dan bergeser.
Saya memperhatikan pohon-pohon lain, yang tumbuh berbaris di pinggir jalan. Bentuknya begitu elok, mengembang, persis rok seorang balerina. Daun-daunnya berwarna kekuningan dan tampak tua. Rasanya aneh, menyaksikan pohon-pohon itu menjadi tua dalam tempo semalam saja.
Dalam urutan acak, saya mengingat rangkaian kejadian demi kejadian yang membawa saya berada di sini. Tadi malam, seharusnya saya bersama Patti, menanti komet Halley melintas sambil menikmati segelas cokelathangat. Namun rencana itu buyar, karena sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan, kecuali samar-samar.
Beberapa jam yang lalu, saya baru pulang dari pesta ulang tahun Simon. Di dapur, saya menemukan genangan air. Saya menduga ada kebocoran di pipa ledeng. Saya lantas mengambil peralatan dan membuka pintu ruang bawah tanah. Terowongan itu terasa lebih panjang dari yang pernah saya ingat. Di ujungnya ada seberkas cahaya. Saya merangkak ke sana dan sesampainya di ujung cahaya itu, baru saya sadari, saya telah berada di masa depan.
Sekarang di sinilah saya berdiri, tepat di bawah pohon mapel, berlindap dari guyuran hujan salju yang lebat. Di seberang sana, saya melihat pria tua sedang membersihkan bongkahan salju. Rambutnya merah dan kulitnya cerah. Dia memakai celana panjang dan kemeja hitam dengan kerah sedikit terbuka, seolah-olah baru saja pulang kerja. Pria tua itu menyadari jika saya sedang memperhatikannya. Dia menaruh sekop dan mengelap tangan ke celana panjangnya.
“Hei, kemarilah!” teriaknya sambil melambai.
Wajah pria tua itu bundar dan klimis. Dia terlihat feminim seperti gadis-gadis remaja yang belum matang. Tubuhnya agak melengkung, mungkin karena termakan usia. Sekali lagi dia melambaikan tangan. Saya mengangguk dan mendekat.
“Anda tampaknya sedang kebingungan,” ucapnya saat saya sudah berdiri di balik pagar. “Anda mencari seseorang?”
“Mungkin begitu,” jawab saya. Saya memperhatikan bangunan rumah di belakangnya. Tidak ada yang berubah. Hanya pada bagian pintu, catnya sedikit terkelupas, tapi warnanya masih seperti kemarin. Hijau toska.
Pria tua itu tertawa. Meski renta, giginya masih tetap sempurna. “Kalau boleh tahu, ke mana tujuan Anda?”
“Saya datang dari jauh. Jauh sekali.”
Kata ‘jauh sekali’ yang saya sampaikan memang bermakna sesungguhnya. Antara saya dan pria tua itu memang terpaut jarak puluhan tahun. Dia mengangguk, lalu mengusap rambut peraknya. Serpih-serpih salju membintik di atas kemeja hitamnya.
“Masuklah,” katanya sambil membuka pintu pagar. “Saya akan membuatkan cokelat panas untuk Anda.”
Saat memasuki pekarangan, saya merasa waktu tidak pernah beranjak. Suara derit engsel rumah itu bahkan tidak berubah sedikit pun. Saya duduk di kursi kayu, mengambil koran yang tergeletak di atas meja, membaca berita tentang kelahiran seekor bayi panda. Pada tanggal yang tertera, saya merasa sangatlah tua.
“Minumlah.”
Koran itu saya lipat dan saya letakkan kembali ke atas meja. Dia meletakkan gelas cokelat panas ke samping koran. Aroma manis menggugah selera. Sekilas saya menatap tangannya, pada punggung telapak tangan kanan itu, saya melihat bekas luka.
“Saya tahu apa penyebabnya.”
“Apa?”
“Bekas luka itu,” jawab saya sambil menunjuk punggung telapak tangannya. “Saya tahu penyebabnya.”
“Bekas luka ini punya kisah tersendiri.” Dia menyentakkan lengan kemejanya yang tergulung untuk menutupi bekas lukanya. Dia duduk dan melanjutkan kata-katanya. “Saat itu musim panas. Saya sedang menarik gerobak pengangkut gandum milik ayah, saat seekor sapi yang sedang berahi melanggar saya dan …”
“Dan Anda bersembunyi di lumbung gandum sampai malam. Anda tak beranjak meski ibu Anda menangis dan menganggap Anda hilang.”
“Anda banyak tahu tentang saya, heh?” Dia menoleh cepat, menatap penuh keterkejutan. Saya pikir, itu reaksi wajar. Saya menyesal telah bersikap tidak sopan.
“Anggap saja tebakan saya akurat,” jawab saya. Dia terkekeh, lalu menyeruput cokelat panasnya.
“Anda tadi bilang sedang mencari seseorang?” tanyanya sambil meletakkan gelas ke atas meja. Matanya mengerling jenaka. “Bagaimana jika ternyata yang Anda cari itu adalah saya?”
“Saya tak mengerti?” sahut saya terus terang.
Dia berdeham sekali, menarik lengan kemejanya sebatas siku. “Buktinya Anda tahu riwayat luka ini. Bukankah itu artinya Anda sangat mengenal saya? Anda cucu Pattinson? Kisah luka di tangan ini hanya diketahui tiga orang; ayah dan ibu, dan Patti.”
Saya terdiam dan menggeleng. Di jalanan, bus kuning berhenti. Anak-anak berseragam turun berebutan. Anak-anak pria dan perempuan membawa tas sekolah kecil, berlari menuju rumah masing-masing. Sesekali tawa mereka melengking, menari-nari sambil merentangkan tangan menampung butiran hujan salju.
Saya memandang ke langit, melewati pohon mapel, melewati kanopi rumah keluarga Andersen, tempat pertama saya menyadari bahwa sesuatu yang ganjil telah terjadi. Tetapi, saya berusaha membuat keganjilan itu mampu ditoleransi akal sehat, terutama oleh pria tua ini.
“Dengar, saya merasa kita sudah saling mengenal sebelumnya,” ucapnya memandangi saya lekat-lekat. “Ini memang terdengar aneh, tapi saya yakin Anda bisa menjelaskannya.”
“Entahlah.” Saya menggeleng pelan. “Saya tidak bisa menjelaskan.”
Pria tua itu berdecak, menunjukkan gestur kecewa. “Ya, saya bisa saja salah. Tapi dalam pandangan saya, Anda jauh lebih pintar dari keledai tua setengah buta yang saat ini sedang berbicara dengan anak muda berumur dua puluh lima.”
“Apa yang membuat Anda mengira saya berumur dua puluh lima?” tanya saya kaget.
“Mudah saja,” katanya tersenyum simpul. “Saya pernah berumur dua puluh lima, dan masih ingat semuanya. Saya pikir, saya mirip Anda.” Dia mengangkat tangan dan membuat bahasa isyarat ‘sedikit’ itu dengan ujung telunjuk dan ujung jempol yang ditautkan.
Saya tersenyum. “Saya genap dua puluh lima pada Desember nanti,” kata saya.
“Saya juga. Hei! Hari ulang tahun kita sama!” Dia berseru senang, namun beberapa detik kemudian wajahnya berubah murung. “Tapi saya genap tujuh puluh lima. Tua sekali, bukan?”
“Tidak juga. Anda masih tampak muda,” ucap saya menghiburnya.
“Menjadi tua itu kutukan.” Dia mengatakan kalimat itu sambil mengibaskan tangan. “Jika boleh—maksud saya, jika bisa—saya ingin kembali ke masa lalu. Di tahun saat saya seusia Anda.”
“Saya kira itu salah. Seharusnya menua bisa membuat Anda terlihat lebih matang. Hmm… maksud saya bijaksana.”
“O tidak, tidak,” katanya serius. “Justru menjadi tua, sebatang kara, adalah kutukan. Saya benci menjadi tua.”
“Saya tak ingin serapuh Anda saat menjadi tua.”
“Maaf? Anda bilang apa tadi?”
“Saya bilang, saya ingin hidup setua Anda. Mungkin rasanya menyenangkan.” Sengaja saya mengganti ucapan tadi agar dia tidak tersinggung.
“Telinga saya sedikit bermasalah. Kalau tak keberatan, tolong bicara agak keras.”
“Tentu saja,” jawab saya merasa tak enak.
“Nah, sekarang ceritakan tentang diri Anda. Mungkin saya bisa membantu Anda menemukan orang yang Anda cari.” Dia menyeruput cokelat hangat dengan tergesa, lantas berkata dengan senyum simpul dan wajah merona. “Entah kenapa, saya tetap merasa Anda ada hubungan dengan Pattinson. Gadis dari masa lalu saya.”
Saya mengabaikan perkataan pedih itu dan kemudian saya mulai bercerita. Tentang pertama kali saat saya mencium bibir Patti di belakang sekolah, lalu beralih pada adegan saat saya kehilangan ayah dan ibu—mereka kecelakaan di tikungan dekat danau Praden saat saya berusia 19 tahun. Dan terakhir, saat saya terluka melihat Patti berdansa dengan Frank di ulang tahun Simon.
“Brengsek!”
Rangkaian cerita saya terhenti oleh makiannya. Saya memandangi wajahnya dan dia memandangi wajah saya juga. Rasanya ganjil sekali. Mata itu—meski sedikit dinodai bercak katarak—adalah mata yang biasa saya pandangi setiap kali bercermin. Kulit keriput di tepiannya berkedut sedikit, lalu hilang saat dia berpaling.
“Cerita Anda itu, rasanya sulit untuk mengakuinya omong kosong.” Dia memijat ruang di pertengahan alisnya. “Jadi, kisah hidup kita sama?”
Saya mengangguk. Pandangan matanya menajam, menusuk dengan rasa ingin tahu. “Siapa Anda sebenarnya?”
“Setelah saya menceritakan semuanya, Anda tak bisa menebak siapa?”
Pria tua itu menggeleng.
“Saya adalah diri Anda sendiri.”
“Oh, yang benar saja…”
Tawanya menggelegar, terbahak sampai air mata meleleh di pipinya. Pria tua itu melipat lutut, menyandarkan tubuh ke kursi.
“Lebih baik Anda tak berbohong.”
“Apa saya terlihat berbohong?”
“Baiklah. Anggaplah saya percaya. Hmmm… jadi Anda datang dari masa lalu saya, begitu?”
Saya mengangguk.
“Anda tidak sedang mempermainkan saya, bukan?” tanyanya dengan nada cemas, seakan dia sedang terjebak di persimpangan jalan dan semua orang membunyikan klakson.
“Sama sekali tidak.”
“Kalau begitu, bunuhlah saya,” katanya dengan nada bicara yang aneh. “Dengan begitu Anda akan menyelamatkan diri Anda sendiri.”
“Menyelamatkan dari apa?” tanya saya kaget.
“Dari nasib buruk menjadi tua.”
Saya membayangkan memenuhi permintaannya dan dia jatuh berlutut dengan tangan menutupi leher. Darah menyembur di antara jemarinya. Tapi raungan sirene patroli polisi membuat saya tersadar. Seandainya saya membunuhnya, bagaimana hukum menjerat saya. Saya dan pria tua itu adalah orang yang sama. Bagaimana agar semua ini masuk akal. Saya kesulitan menjelaskannya. Sore semakin redup, pikiran saya dilanda keabsurdan tak terpermanai. (*)