Waktu Hanya Sebutir Apel



Seperti Hari Yang Tersesat

Musim berganti.
Aku hanya bergeser
dari kesepian ke kesepian.

Di antara sajak-sajak yang sakit,
malam terlipat dan langit semakin kelabu.
Kulihat perahu menembus gelap
ketika kesedihan berulangkali
menyebut namaku.

Kudengar lagi lagu pilu
dari dalam mimpi. Alangkah merdu
seperti hari yang berulangkali tersesat
ke dalam lukaku.

2020


Aku Ingin Pindah

Aku menempuh kehidupan yang sukar. Tempat yang kutinggali
adalah bangunan yang sekarang sedang sulit menemukan air.
Aku ingin pindah menemukan lagi air-air yang melimpah,
yang selalu meletakkan hidup pada pemandangan yang indah dan cerah.

Aku ingin pindah menuju bangunan-bangunan lain yang menyimpan
harum kenangan baru. Aku ingin merasakan betapa sejarah terus berubah,
mengubah jalan hidupku yang terkadang penuh liku,
terkadang penuh rindu.

Aku ingin pindah dan memunguti hari-hari yang rapuh dengan rasa sukacita.
Aku ingin pindah dan merasakan beban di punggungku meleleh
seperti salju yang ditempa cahaya musim panas.

2019



Dalam Sepi Yang Purba

Kautuliskan kembali peristiwa pilu
dalam hari yang panjang.
“Apakah masih ada mimpi
dari masa lalu yang terkutuk?”
Tapi senyap merayap.
Hanya jatuhan bulu matamu
yang menjawab.
Kaulipat usia
dalam sepi yang purba.

2019-2020



Sajak Bisu

untuk Willy Fahmy Agiska

Pada bising yang makin getir,
pada batas kesakitan yang bergetar,
aku bisu.

Seluruh suara pulang padaku
tanpa gema dan kata-kata.

Waktu hanya sebutir apel
yang terkupas dan membusuk
di mulutku.

Sedang di sini, puisi menggigil.
Bunyi dari seratus kefanaan terkapar
di antara hari yang dilucuti kenangan.

2019-2020



Keresahan Tak Pergi Ke Mana-Mana

Keresahan ini tak pergi ke mana-mana.
Ia disusun dari perasaan-perasaan
yang bagai batu.

Sejauh apa pun kita meninggalkannya,
satu-satunya yang pergi hanyalah waktu
dan sepi yang kian beku.

Keresahan ini tak pergi ke mana-mana.
Ia tak pernah ke mana-mana!

2020



Kipas Yang Berputar Cepat Tapi Tidak Sangat Cepat

Kipas itu berputar cepat.
Tapi tidak sangat cepat.

Ia sendiri saja berdiam di atas sana.
Ia sepertinya ingin menjadi rahim puisi
yang mahir merawat kata-kata.
Tapi ia tak bisa. Tak akan pernah bisa.
Sebab ia hanya terlahir sebagai benda yang setia
merawat angin. Bukan kata-kata. Bukan juga kita.

Kipas itu berputar cepat.
Tapi tidak sangat cepat.
Dan kehidupan menjadi semakin penat.
Dan kehidupan menjadi semakin pekat.

2019



Tanah Ini

Di tanah ini,
jejak-jejak menggema
tapi tidak abadi.

Sebab tanah ini pun fana
seperti kita.

2019


Bagikan:

Penulis →

Anugrah Gio Pratama

Lahir di Lamongan pada tanggal 22 Juni 1999. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia mengambil program studi Pendidikan Bahasa Indonesia di sana. Puisi-puisinya termuat di beberapa media massadan antologi bersama. Bukunya yang telah terbit berjudul Puisi yang Remuk Berkeping-keping (Interlude,  2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *