Komposisi Hujan Bagi Kota yang Tergesa


Metamorfosa

bersemedilah di setiap tidurmu. berlindung di rekah kepompong. puasa dari gemetar sedih dan rasa takut. sebab ulat di tubuh acap ranggas, memamah biak. dan kesunyian hanyalah sebagian dari ingatan. lupakanlah derap langkah. kota yang hiruk, mengusung keranda bagi kematiannya sendiri. maka setiap kabar, hanya sekadar penanda. bagi pucat tahun yang terus berjatuhan. bertahanlah dalam semedimu. membaca ayat-ayat yang rapat. di setiap jalan napas.

sebelum menetas jadi kupu-kupu.

Edelweis, 2019




Khuldi

bagaimana jika adam tak jadi mencurinya? bisikan ulat, hanya aroma sesat. yang melangkah sekejap lewat. betapa lezat. buah khuldi yang ranum, warna yang cerah, kerap membuat gelisah? namun hawa terus merajuk. sebagai petaka. melontarkannya ke dunia. bisikan-bisikan yang terus rumpang. menggema di segala ruang.
*
pohon khuldi cuma satu. buahnya yang berkilauan. pasti manis di pangkal lidah. aroma yang membuat buta. liur yang terjulur. nafsu yang menggebu. dan khuldi memang hadir, sekadar mengobati sunyi. “ayo, makanlah! lekas, segera!” ulat terus bercakap. dengan gumam yang lebih halus dari rambut.
*
adam dan hawa, terlontar juga. tanah kembali pada tanah. bumi yang dipenuhi cuaca. hujan dan kemarau. musim salju dan semi. matahari yang melingkar, sepanjang hari. adam mengingat, berapa banyak buah yang dimakannya. dan mereka bertemu di sebuah padang.
*
tapi bisikan akan khuldi terus saja menerawang. berpantulan, bahkan saat manusia terus beranak-pinak. “ayolah, cicip lagi,” begitu banyak dosa yang merupa cahaya. khuldi demi khuldi. menempuh sunyinya sendiri.

Edelweis, 2019




Rielke

bersama syair, engkau kesepian. menanam musim dingin di tengkuk. jaket yang membeku serupa bongkahan es. membaca riwayat negeri sendiri. lalu kaupecahkan juga sebuah kata. yang lama retak, tersekap di dalam kaca. tahun-tahun mengurung tubuh, membawa segala butir salju. di matamu yang luka. setiap nisan yang kaupahat, barangkali ada sebuah nama. yang lama tersekap. tanpa senyum, kautulis juga puisi. dan dunia terkulum, kuntum demi kuntum. keringat yang membatu. desah hujan bagi kesedihan.

dan nama kecilmu, “sophia,” mengingatkan pada luka lama seorang ibu. yang angankan kelahiran anak perempuan. segala yang tersemat padamu. sebagai masalalu. namun kau tumbuh bersama riwayat musim yang karim. ah, betapa puisi tak jemu menghampirmu, di setiap pembuluh.

bersama syair, engkau merangkak. menempuh segala macam upacara luka.

2019




Komposisi dari Jalan

bukankah itu jejakmu yang rekat? saat kota tergesa membuka pagi. dengan orang-orang yang berlari, di kerumun kendaraan. maka engkau melalui jalan-jalan yang sama, menelusuri pecahan gedung, atau sebagian rambu jalan. menghimpun sebagian masa lalu. lahan-lahan kosong yang sekejap pecah. menjadi bangunan baru. taman-taman semakin sunyi. jalan demi jalan telah kehilangan tanda.

2019


Senja yang Kau Hitung

senja yang kauhitung, di padat kota telah mengapung. setiap orang memanggul keranda bagi cahaya tubuh. masing-masing. sendiri dan kesepian. meskipun engkau akan terus larut, masuk ke kelok jalanan, menyingkap usia tahun. dan gedung-gedung telah terik, memantulkan kilat hitam. dan kerumunan orang berjalan dengan duri di kepala.

senja yang kauhitung, mungkin telah remang. kota tertidur, dengan ketakutan yang memanjang. di sebuah kelokan, engkau memang harus berhenti. mencari sisa cahaya bagi matahari yang pernah terbenam di tubuhmu.

Edelweis, 2019




Hujan Memenggal Langkah

hujan memenggal langkah. engkau mengingat mimpi semalam. berdiri di pinggir toko. di sekitarmu mulut-mulut terkulum dusta, sementara sengat dingin merayap tengkuk. di depan, pintu rumah menunggu. renyah suara anak-anak yang memanggilmu ayah. tapi hujan memenggal langkah. sepi kembali berkerumun dalam kecut angin. ketika lampu mulai menyala, kota seperti kerumunan raksasa yang menelanmu. ponsel dan tubuhmu bergetar, setiap kenangan menjelma jadi buntut ular. mengikat dan menyimpanmu bersama deras hujan.

2019




Di Gigil Hujan

engkau berlayar di gigil hujan. lambai kenangan memanggil, menyimpan tahun-tahun yang menua. hanya tubuhmu yang gemetaran, menembus hujan yang panjang. meradang di genangan kota pucat. namun kau bersikeras, untuk tiba di rumah. berkelahi dengan hujan. secepatnya!

Edelweis, 2019


Mata Teduh Hujan

engkau adalah mata teduh hujan. yang mengurungku bertahun-tahun. lapar dalam asmara, dan aku menjelma jadi tawanan. yang kaubungkus setiap kali tepi tatapanmu menujah, sampai ke tubir dada. di teduh matamu, hari-hari meringkuk. menuju lembab tubuhmu. hingga peluh tak terkayuh. lalu percakapan hanya sekadar isyarat yang lama terkerat.

telah kutunggu engkau, bukan cuma di musim hujan. sebab lembing matamu telah runcing. menyiramiku dengan hujan yang paling kerling.

2019




Selepas Pagi

selepas pagi. kerumun tubuh lalu-lintas. kerumun yang menyimpanmu dalam kubur. kubur waktu yang terulur, tanpa pintu. selepas pagi, melupakan embun yang tertidur. di tangkai pohon, memanjati ranggas waktu yang berayun di arloji tanganmu.

Poris Plawad, 2019




Termometer Kota: 38 Derajat Celcius

hanya lidah matahari. menyengat ketiak aspal. peluh yang luruh. angin mati. tapi, bukankah kota ini selalu demam. bukan hanya saat ini, ketika termometer merujuk angka 38 derajat celcius. ingin mengunci diri di ruangan pendingin, membekukan sengat sedih yang merayap. mencacah kenangan tentang hujan. angin mati. ayolah, beri obat penurun panas buat kota ini. buka pintu kulkas agar dingin sembur keluar. angin gerah. langkah orang yang terseret resah. tapi jalanan masih padat dan rapat. sesak menembus kepala. labirin tubuh yang kehilangan angin.

hanya lidah matahari. terbaca di kawah gelisah. saat kota masih saja menunjuk tanda cuaca. 38 derajat celcius. jalanan memar dan kerumun orang yang tak punya kabar.

Jakarta, 2019





Hujan Sendiri

hujan sendiri. berjatuhan pada setiap helai sepi. di daun dan jalan. engkau melangkah merenangi kota yang kehilangan cahaya. payung-payung terbuka dengan cemas. melepas waktu yang gugur tiba-tiba. ada yang tak terbaca, mungkin serpih cahaya yang murung menunduk hinggap di bahumu.

hujan sendiri. kota yang menyepi. bayangan angin meremas keranda sedihmu. jeritan yang tergenang. memasuki sekolan-selokan yang remang. dan gerombolan orang berjalan dengan tubuh meriang. merayakan kesedihan.

2019


Variasi Jumat Pagi

terbangun di jumat pagi. di depan rumah tunas pohon hijau muda. kubah masjid tergambar di langit. namun sepi itu tak pernah habis, bahkan saat kaureguk kopi yang mulai dingin. di ujung jalan, suara orang berteriak, memanggul cemas bagi jantungmu. kata-kata membangun sarangnya di rak buku, lembaran yang tak pernah habis kaubaca. sendirian kaukayuh puisi, berharap segera tiba di dermaga aksara.

terjaga di jumat pagi. bayangan hujan semalam, menyergap tiba-tiba. hanya ada keriuhan yang tak bisa penuh kaucatat bagi usia.

Poris Plawad, 2019




Menyibak Angin

seperti ada yang salah dengan negeri ini, saat kausibak angin. cuma bayangan epitaf, penuh ketakutan. bergelayutan seperti ayunan, juga ketika kautanyakan di mana ibu yang sesungguhnya. di kembaramu, setiap pelosok adalah tangis orok. tak pernah bisa ditenangkan bahkan saat kauhibur dengan sebotol susu hangat, tapi bukan payudara ibu. lalu kau berusaha menemukan jalan baru, saat kerumun orang melempari batu ke jalanan. semacam ingin mengirim ratusan onak di dalam mimpimu nanti malam. saat itu, kota-kota nampak tenang. tanpa angin. tanpa jejak suara gaduh yang biasa merambat di gendang telingamu. suara kerumun yang penuh dengan keluh.

2019




Hari Akhir di Bulan Desember

                        – herry bustomi

senja itu tak pernah sampai padamu. dan kesedihan seperti tak memiliki pintu, engkau pergi menjauh. mungkin melintasi kota-kota yang sempat kau gambar dalam ingatan. dan hujan malam itu mengekalkan luka, membawa pergi segala keceriaan tentang orang-orang yang tumpah di jalan.

tapi hujan yang luruh itu, tak pernah melunturkan setiap ingatan padamu. semakin runcing, menelentarkanku pada musim kering. angin terasa lambat. terlalu cepat, terlalu panjang. kisahmu yang sendiri seperti usapan pada luka. selalu basah.

hujan makin menjadi, menembus badanku. engkau terus menjauh, meninggalkan segala sauh. kesendirianmu, anak-anakmu yang telah besar dan mendadak jadi yatim. segala sakitmu yang tak pernah kauungkapkan. maka aku kumpulkan lagi segala percakapan, di mana segala keriangan kerap tumbuh. dan kau tak lagi bisa memandang langit, kota yang gembira dengan kembang api, bunyi ledakan dan hujan yang membasuh seluruh kesedihanmu. sebelum kalender jatuh dan luruh, kerumunan yang mengiba waktu. tahun yang baru tanpa sempat memunguti masa lalu di pundaknya.

2019

Bagikan:

Penulis →

Alex R. Nainggolan

Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi antara lain di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Majalah Sagang Riau.

Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016).

Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum…(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Seratus Puisi Qur’an (Parmusi, 2016). Kini berdomisili di Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *