Rasa kehilanganmu terhadap kepergian Nikotopia masih menyesakkan dadamu. Padahal yang kutahu dia salah satu sahabat yang justru paling jarang bertemu denganmu. Meski begitu, tampaknya kalian memang sangat akrab. Jarang bertemunya kalian selama ini pastinya semata-mata jarak tinggal kalian yang berjauhan. Tapi kesedihanmu itu mungkin lebih karena tentang rencana menerbitkan novel yang sedianya akan kalian kerjakan bersama. Aku tahu hal itu karena kamu pernah mengatakannya. Sekarang, bukan saja kalian tidak bisa menyelesaikan, bahkan ketika novel itu baru akan kalian mulai kerjakan, keburu Niko pergi untuk selamanya.
Kupikir karena hal itu pula yang kini memengaruhi kegiatanmu menulis. Kepergian Niko tidak lantas membuatmu semakin rajin, tapi justru membuatmu malas, bukan hanya tentang menulis, bahkan juga malas melakukan apa-apa. Hari-hari yang berlalu hanya kamu habiskan termenung di samping rumah sambil membaca karya-karya Niko. Aku menyadari, kehilangan sahabat dekat memang bisa membuat semangat hidup menjadi loyo, tapi masalahnya kamu harus melanjutkan hidupmu. Masih banyak orang yang menyayangimu dan kupikir mereka ingin melihatmu terus berkarya seperti semula. Demikian juga aku dan anak-anak, tidak ingin melihatmu jatuh.
“Tidak tentang karya, juga tidak buku itu,” sahutmu ketika aku mencoba mengajakmu membicarakannya.
“Lalu?” tanyaku sedikit heran, hingga karena itu tiba-tiba aku merasa ada sebagian di dirimu yang belum aku tahu.
“Kalau toh ada hubungannya, hal itu bukan serius.”
“Terus?”
“Bagaimana perasaanmu…”
“Tentang apa?” sahutku cepat.
“Aku belum selesai bicara. Maksudku, bagaimana perasaanmu jika berada pada kondisi seperti ini?”
Aku bingung dengan pertanyaanmu, tapi aku juga tidak lantas menanyakan kepadamu apa yang membuatku bingung. Aku merasa keruwetan itu hanya ada padamu. Kekhawatiranku, jika aku mendesakmu dengan pertanyaan-pertanyaan justru bisa membuat kita tidak nyaman.
“Aku tidak mengerti,” jawabku sekadar memberimu tanggapan.
“Perempuan sukanya begitu.”
“Maksudmu?”
“Perasaan selalu maju lebih dulu, tidak berusaha memikirkannya.”
Aduh, malah aku yang kena. Bagaimana ini? Apakah aku perlu mendebatmu? Paling tidak untuk membetulkan persepsi pemikiranmu itu.
“Bukankah ketika Niko terakhir datang ke rumah kita, kamu ada?”
“Lalu?”
“Bahkan setelah Niko pulang, kita sempat membicarakannya.”
“Iya. Maksudmu tentang keanehan-keanehannya itu?”
“Persis?”
“Terus, terus?”
“Menurutmu, di antara keanehan-keanehan itu, apa yang menurutmu paling aneh?”
Sesungguhnya aku tidak terlalu perhatian dengan apa yang dikatakan, dan apa yang dilakukan Niko. Belum lagi waktu itu aku sibuk mengurusi makanan dan minuman yang harus kita suguhkan pada Niko waktu itu. Aku tahu lebih jelas kalau dia aneh justru dari ceritamu. Di antaranya, kamu mengatakan di sepanjang percakapanmu dengan Niko, sering terjadi salah pengertian. Jawaban dan pernyataan Niko tidak sesuai dengan hal yang kamu obrolkan. Jadi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu dengan pas. Jika terpaksa menjawab, itu pun atas dasar pilihan dari beberapa hal yang kamu ceritakan.
“Bicaranya sering tidak nyambung,” jawabku.
“Semuanya memang tentang itu.”
Aku mengangkat bahu, semacam tanda menyerah.
“Aku lupa, apakah waktu itu aku sudah cerita tentang Ular Sawah?”
“Ular Sawah?” sahutku sembari menggeleng.
“Menurutku, saat itulah dia mengatakan keadaannya.”
“Apa yang dia katakan?”
“Sesungguhnya, ada Ular Sawah terjebak di kepalaku. Dia ingin keluar dan kembali ke alamnya. Dia mengatakan begitu.”
“Lantas kamu menanggapi gimana?”
Aku langsung tertawa.
“Hah? Tertawa? Tega sekali kamu.”
“Di mana letak teganya?”
Kamu benar juga. Di mana letak teganya. Waktu itu kita belum benar-benar tahu apa yang terjadi pada Niko. Mungkin sama halnya dengan apa yang dulu kamu ceritakan padaku. Perihal kamu yang langsung tertawa ketika Niko mengatakan ingin pulang ke desa, tinggal di sana dengan hidup bertani. Bahkan seingatku, kamu menceritakan sempat mengucap serapah menanggapi keinginan Niko itu. Kamu pikir, peralihan profesi dari pekerja kreatif di sebuah stasiun televisi di Ibu Kota lantas menjadi petani di desa adalah sesuatu yang lucu. Mungkin menurutmu tak ada korelasinya sama sekali. Kalau sekadar penulis cerita, mungkin masih bisa, karena menulis dapat dilakukan di mana pun, termasuk di desa yang paling pelosok sekali pun.
“Hm. Tapi waktu itu ekspresi Niko gimana?” tanyaku.
“Dia tampak serius,” sahutmu.
“Maksudnya?”
“Iya. Waktu itu dia bilang apa yang dikatakan itu serius.”
“Lantas?”
“Pada saat itulah, seharusnya aku bisa mengerti apa maksudnya.”
“Sekarang aku yang tidak mengerti apa maksudmu.”
“Andai kita tahu apa yang terjadi pada diri seseorang, kita bisa melakukan sesuatu yang mungkin dapat berarti bagi seseorang itu, tapi karena kenyataannya kita tidak tahu ceritanya hingga kita tidak melakukan apa pun,” terangmu.
Ah, kupikir dalam hal ini yang main perasaan itu kamu. Karena jika kamu sudah tahu begitu, mengapa kamu masih memasalahkannya? Bukankah waktu itu kita memang tidak tahu kalau Niko menderita kanker otak. Kupikir jika kita tahu pun sebenarnya kita tidak bisa melakukan apa pun terhadap penyakit itu.
“Kamu hanya terbawa perasaan,” sahutku.
“Bukan.”
“Terus, apa namanya kalau itu bukan terbawa perasaan?”
“Ya itu tadi. Aku terlambat menyadari, sebenarnya dia sudah berusaha memberitahu keadaannya kepada kita.”
Dengan keanehan-keanehannya waktu itu? Sepertinya ada yang salah pada pemikiranmu. Karena menurutku, apa yang terjadi pada perilakunya, sesungguhnya di luar kontrol dirinya. Dan aku yakin jika dia dalam keadaan sadar, tentu saja dia akan melakukan sesuatu yang wajar, dan kita tidak akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang aneh.
“Kupikir kamu harus merelakannya.”
“Aku sudah ikhlas.”
“Lalu mengapa kamu masih merasa kecewa? Bukankah takdir seseorang tidak bisa diubah?”
“Maksudmu tentang apa?”
“Kematian, kan? Dan kita tidak bisa menghindarinya.”
“Siapa bilang aku memasalahkannya? Yang kupikirkan hanya tentang pengertian dan sikap antar sahabat. Bukan tentang kematian.”
Kulihat kamu seperti tersinggung dengan pernyataanku. Rupanya aku memang tidak mengerti apa yang membuatmu kecewa dalam hal ini. Aku takut membuat hal yang sebenarnya sepele itu akan memperunyam keadaan. Sejak kamu mengatakan itu aku tidak lagi mengusikmu perihal Niko. Dan kupikir dia sudah nyaman di rumah Tuhan. Dengan membiarkanmu berlama-lama bernostalgia bersamanya kupikir lebih bijaksana. Lima belas tahun pertemanan kalian tentu saja telah melewati banyak riuh rendahnya masalah dan pengalaman.
“Jika bisa, sebenarnya aku hanya ingin meralat satu hal,” katamu setelah beberapa waktu berlalu.
“Ini tentang apa?” tanyaku sedikit terkejut.
“Tentang sikapku terhadap Niko.”
“Oh.”
“Andai saja kita bisa mengulang waktu.”
“Maksudmu?”
“Aku hanya ingin menghapus tawaku, saat Niko mengatakan tentang Ular Sawah di kepalanya itu,” terangmu.***
Mengenang Niko.
One Response
Nikooo aku juga salah satu temanmu yang menganggap keinginanmu menetap di desa dan bertani adalah pasionmu yang kau temui tiba-tiba saat mengilhami sesuatu. Ternyata itu adalah firasat yang coba kau siratkan. Namun, terlambat. Aku yang tak peka dan tak menyadarinya. Niko … si otak “negeri dongeng”, sahabat berimajinasiku … love you. Forever.