Kita Pernah Hidup dalam Telur yang Sama

Lukisan merpati itu datang tanpa diminta. Seekor merpati di atas dahan dengan daun-daun mengelilinginya. Lukisan itu datang tanpa sebuah surat dari pengirimnya. Mei langsung membuka bungkusan cokelat di depan Pak Pos ketika tahu siapa pengirimnya. Bunga Hitam, dilihatnya lekat-lekat lukisan merpati itu.

“Lukisannya bagus, Mbak, saya permisi,” kata Pak Pos.

Mei mengangguk.

Dia masuk dengan masih memandang sendu lukisan merpati itu. Dulu merpati adalah pengirim pesan. Dia menebak pesan apa yang ingin disampaikan pengirim lukisan ini. Merpati itu murung dan sendiri. Mei meletakkan lukisan itu di meja lalu menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Pesan kekalahan,” tebaknya.

***

Merpati itu takkan mungkin terbang. Burung malang itu hanya bisa bertengger di sebuah dahan yang rapuh. Dia memiliki sayap kuat, Namun sayapnya tak bisa dikembangkan. Tak berguna. Sebab ada lem yang merekatkan sepasang kakinya pada dahan.

Pandangnya berpindah dari lukisan itu pada ujung kuas yang melamun di atas palet. Ujung kuas itu menyentuh cat warna hitam. Kemudian mulai menuliskan nama di ujung kanvas. Bukan namanya yang dia tulis. Namun hanya sebuah huruf: K.

Lalu dia memohon pada seorang sipir untuk mengirimkan lukisan itu pada Mei. Tentu sipir itu awalnya tak mau. Namun, akhirnya mau setelah mendapatkan lumatan di bibir.

“Tulis saja Bunga Hitam sebagai nama pengirim,” kata Wei menggigit pelan telinga si Sipir.

Wei kembali ke selnya yang gelap. Sipir itu mengunci perempuan dua empat tahun itu kembali dalam jeruji besi.

Wei menatap cat-cat minyak di palet. Lalu tangannya bergerak mencampur warna-warna itu hingga telapak tangannya berlumur cat. Ditempelkannya telapak itu pada dinding penjara. Hingga jejak tangannya tercetak di sana. Warna yang abstrak.

“Kau pasti tak pernah merasakan melukis di dinding penjara, Mei! Aku sering.” Wei mengingat penjara-penjara yang pernah dimasukinya. Dia selalu memberi jejak tangan di dinding penjara yang dia tinggali.

“Kau adalah burung yang bisa terbang tinggi. Sungguh tak adil! Kita pernah hidup dalam telur yang sama!” Wei menjerit, meninju dinding hingga tangannya berdarah.

***

Seharian Mei memecahkan teka-teki lukisan yang dikirim Wei untuknya. Lukisan merpati malang itu begitu mengganggu. Seharian pula dia tak bisa melukis apa pun. Bergelas-gelas kopi dia habiskan, berbatang-batang rokok, tidak pula memunculkan ide untuk mengisi kanvasnya.

Mei duduk di lantai dan menyandarkan diri di tembok. Dia memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam.

“Kalau saja kalian akur, pasti Bapak masih ada,” suara Ibu hadir di ruangan ini. Mei membuka mata, tak ada siapa pun. Mei memegang kepalanya, Ibu ada di desa, pikirnya.

Selalu kalimat itu yang dikatakan Ibu kepada Mei ketika dia pulang. Dia selalu pulang seorang diri. Wei tidak mungkin mau pulang bersamanya. Memiliki bakat yang sama tidak membuat semua ini menjadi lebih mudah.

Mereka memang sudah berbeda sejak dari awal. Mei tidak habis pikir kenapa Wei begitu membencinya. Padahal sedari kecil dia selalu berusaha menunjukan jalan yang benar untuk saudaranya itu.

Mei berdiri dari duduknya. Sekali lagi dia pandang lukisan dari Wei. Dia tersenyum. Ada baiknya dia memberi hadiah balasan kepada saudaranya itu.

“Kau akan menyukai lukisan ini adik, setidaknya biar kau ada kawan di sana, biar betah dan tidak merengek meminta pulang,” kata Mei.

***

Cih. Bakat yang sama! Wei ingat kata-kata ibunya dulu. Jelas kata-kata ibunya itu dia tentang. Sebab hanya dia yang punya bakat, Mei tidak sama sekali. Tangan seni milik bapak hanya menurun ke Wei.

Ketika Wei mengatakan itu, sabaten sapu lidi mendarat di betisnya. Berulang kali hingga betis itu merah tetap ibu tak mau menghentikan ayunan tangannya, sebelum Wei minta maaf pada kakaknya, Mei.

“Minta maaf pada kakakmu! Hormati kakakmu! Jangan jadi anak nakal!” perintah ibunya.

Wei hanya berteriak-teriak meminta ibunya berhenti. Tapi Wei tetap tak mau mengalah dan minta maaf, sampai ibunya lelah. Ibunya mengajak Mei makan, meninggalkan Wei yang menangis.

Wei tersenyum kecut. “Lem yang merekatkan kaki burung di ranting itu, ibulah yang melakukannya.”

***

Mei menyelesaikan lukisannya hingga larut. Merpati yang mematahkan sendiri sebelah sayapnya. Darah mengucur. Mei membanting paletnya ke lantai. Mei melihat lukisan yang baru saja diselesaikannya.

Bagaimana bisa dia akan mengirimkan lukisan itu kepada adiknya. Mungkin sampai nanti salah satu dari mereka mati baru akan selesai permasalahan.

Sekarang Mei memang menikmati hasil kerja kerasnya. Hidup dari hasil melukis. Tapi tak pernah sekali pun bapak memuji kemampuannya. Wei selalu yang sejak kecil digadang-gadang menjadi penerus bapak. Lukisan-lukisan di rumah hanyalah lukisan bapak dan Wei.

Setelah Bapak tidak ada, barulah Mei mengganti semua lukisan.

***

Andai Wei sedetik saja lebih dulu lahir. Pastilah dia tidak perlu menghormati Mei. Dan ibu tidak punya alasan, mengecapnya sebagai anak nakal.

Jelas Mei memang tidak punya bakat melukis. Dia hanya punya bakat menggunakan topeng polos. Wei benar-benar membenci ibu yang selalu membela Mei. Dia tidak tahu, alasan ibu jauh lebih sayang Mei dibandingkan dirinya. Sejak kecil, Bahkan ketika Mei menulis namanya di lukisan Wei dan mengakui lukisan itu buatannya. Ibu percaya.

“Ibu, itu lukisan buatanku! Mei mencurinya dariku!” Wei mencoba merebut lukisan itu dari tangan Mei.

Ibu malah memukul Wei dan berkata, “Jangan gara-gara lukisan Mei bagus, kau iri dan mengakuinya sebagai milikmu. Cepat minta maaf pada kakakmu!”

Wei menatap bayangannya yang terpantul pada sendok makan. Wajah itu wajah yang sama dengan kakaknya. Hanya berbeda karena wajah milik Wei lebih kurus dengan mata yang menyiratkan luka dan dendam.

***

Di mata Ibu, lukisan Mei adalah lukisan terbaik, tapi tidak dengan Bapak. Namun, dengan lebih dikenalnya nama Mei dibanding Wei harusnya sudah memberi pertanda bahwa dirinya lebih baik dari Wei. Memang seharusnya seperti itu. Sebagai kakak sudah semestinya dia lebih mumpuni.

Malam tadi Mei tidak dapat tidur tenang. Dia selalu segelisah ini setiap diingatkan tentang Wei. Mei melihat jam, setengah jam lagi, akan ada orang mengunjungi galerinya. Bila ada yang cocok maka akan dibeli. Mei memang tidak setiap saat membuka galerinya. Karena kesibukannya mengisi workshop dan karena dia sendiri yang melayani setiap orang yang datang berkunjung.

“Boleh saya melihat ruang kerja Nona?” tanya seorang laki-laki tua yang berkunjung. Mei terdiam sesaat.

“Tapi berantakan,” Dia nyengir sedikit malu mengatakannya.

“Tidak masalah, setelah dari sana dan mendengar cerita tentang proses kreatif Nona, bisa jadi saya tertarik untuk membeli.”

Mei mengiyakan permintaan salah satu pengunjung tersebut.

Ruangan itu tidak terlalu berantakan untuk ukuran seorang seniman. Si mbak juga sudah mengambil semua gelas kopi dan membersihkan lantai yang penuh cat karena palet yang dibanting Mei malam tadi.

Mei menceritakan bagaimana caranya melukis kepada pengunjung tadi. Laki-laki itu mengangguk-ngangguk dan bertanya beberapa hal. Lalu dia mendekati kanvas yang tertutup kain hitam. Mei melihat dengan cemas.

“Lukisan ini, berapa?” Laki-laki itu bertanya tentang lukisan burung merpati Wei.

“Em, itu tidak dijual,” kata Mei.

“Kenapa?” tanya laki-laki itu.

“Em, mungkin tuan bisa memilih lukisan yang lain,” kata Mei.

“Saya berani bayar mahal bila Nona mau melepas lukisan ini,” katanya tidak mengindahkan tawaran Mei.

***

“Besok kamu keluar, apa yang akan kau lakukan?” tanya si Sipir, ketika para narapida bersih-bersih halaman penjara.

Wei tak menjawab, dia sibuk mencabuti rumput.

“Apa kau akan mencuri lagi dan masuk penjara lagi?”

“Mungkin. Masuk penjara itu lebih gampang dibandingkan masuk surga. Jadi, kemungkinan besar aku akan masuk ke penjara. Bertemu sipir seksi yang lebih pintar melumat,” ujar Wei dengan nada bercanda.

“Berhentilah melarikan diri, Wei. Aku kasihan pada ibumu. Dia selalu menangis setiap memberikan perlengkapan melukis untukmu dan kau selalu menolak bertemu dengannya.”

“Ibu? Perempuan itu tidak menganggapku anak. Dia pasti berharap hanya si brengsek itu yang lahir!”

“Tidak mungkin dia tidak menganggapmu anak. Dia selalu memberikanmu peralatan melukis!”

“Tapi dia memasukan kakakku ke les lukis, ke institut seni, sampai akhirnya anak yang tidak berbakat itu menjadi pelukis terkenal. Sedangkan aku! Anaknya yang berbakat ini malah dia masukan ke penjara!”

 Wei marah pada matanya yang tidak bisa menahan air mata. Dia menjauhi sipir bernama Soni itu.

***

Mei melepas lukisan itu. Mungkin dengan begitu, dia tak akan teringat dengan Wei. Rasanya dia akan hidup damai bila dilahirkan seorang diri.

***

Keluar dari penjara bagi Wei bukanlah kebebasan. Entah, dia belum menemukan definisi kebebasan baginya. Hidupnya terlalu terkurung dalam dendam dan amarah. Sampai tak ada kebahagiaan yang tersisa.

Dia sudah berada di luar bangunan penjara dan tidak menemukan ibunya. Setiap dia keluar dari penjara, ibunya sudah berdiri di depan penjara. Menatap ke arah Wei dengan bibir tergigit, seakan-akan mencoba menahan air matanya agar tidak meledak.

Wei selalu mengabaikan keberadaan ibunya. Lagi pula untuk apa menyapa seorang yang menjebloskannya ke dalam penjara. Seorang ibu menjebloskan anak yang masih remaja ke penjara. Cuma gara-gara dituduh memasukan obat nyamuk ke cangkir kopi bapak. Hingga bapak meninggal.

Karena tidak ada bukti maka Wei dibebaskan. Tapi sebagai pemberontakan, dia mencuri dan mencuri. Wei ingin masuk penjara sesuai keinginan ibunya itu.

***

Mei mendapat kabar bahwa Wei sudah keluar dari penjara. Tapi kabar itu hanya diterimanya saja tanpa tindak lanjut. Dia hapal betul bahwa sebentar lagi Wei akan kembali ke penjara, seperti seorang anak yang pulang ke rumah ibunya. Mei tak habis pikir kenapa anak itu gemar sekali membuat masalah. Mei tak ambil pusing bila Wei ingin mencuri. Bagaimanapun setiap orang pasti pernah mencuri. Yang Mei tak habjs pikir hampir belasan kali Wei mencuri belum juga dia menjadi pencuri yang ulung. Belasan kali mencuri, belasan kali juga masuk penjara.

“Non, tadi ibu telpon, tapi Non Mei masih tidur,” kata si Mbak.

Mei menelepon ibunya. Menanyakan kenapa ibu menelepon pagi-pagi sekali.

“Adikmu masuk penjara lagi,” kata ibu di telepon. Suaranya sedikit terisak.

“Lagi? Baru beberapa hari, sekarang apa lagi yang dia curi?”

“Lukisan, lukisanmu.”

“Lukisanku yang mana?”

“Seekor merpati yang baru saja dibeli Pak Marlo.”

***

“Akui saja, kau akan mendapatkan keringanan jika mengakuinya!” bentak polisi.

“Itu lukisanku!”

Situasi ini mirip sekali seperti dulu ketika ibunya menyuruhnya mengakui telah memasukan obat nyamuk ke cangkir bapak. Tetapi jelas, Wei tak mingkin punya niat sedikitpun untuk melakukannya. Walaupun jelas hari itu hanya dia dan bapaknya di rumah.

Wei yakin ibu atau Mei yang memasukan obat nyamuk itu ke cangkir bapak. Mereka membenci bapak karena sering memukul ibu setiap ibu ketahuan memukulku. Sedangkan Mei pasti iri karena bapak lebih menyangi Wei dari pada dia. Tetapi kata polisi, bapaknya bunuh diri. Alasan bunuh diri tidak diketahui.

“Ini lukisanku. Dan kau boleh memasukanku ke penjara karena tuduhan mencuri lukisan ini. Toh, di dunia aku tidak berarti. Lebih baik orang semacamku dikurung saja agar tidak bisa terbang ke mana pun.”

Benar, di dunia ini untuk apa Wei ada. Tidak ada yang perlu dia buat bahagia. Dulu, dia hanya ingin melihat bapaknya bahagia setiap melihat lukisan yang dibuatnya.

Tetapi sekarang siapa yang pantas dia buat bahagia? Ibu dan kakaknya, cih! Najis.

***

Mei ikut mengurus kasus pencurian Wei kali ini. Bagaimanapun dia ada rasa bersalah kepada Wei. Mei mengakui bahwa lukisan yang itu adalah hadiah dari Wei untuknya. Wei bebas. Mei sedikit bernapas lega, paling tidak dia tidak harus menanggung rasa bersalah seumur hidupnya.

Wei menatap Mei. Dulu mereka berbagi tempat dalam satu rahim. Juga Berbagi makanan. Namun kini, walaupun wajah mereka sangat mirip, mereka berdua seperti orang asing. Wei tidak bisa mengilangkan semua dendamnya pada Mei dan ibunya. Lalu dia meninggalkan mereka begitu saja, tanpa mengucapkan apa pun.

Wei berjalan menuju sebuah jembatan. Dia menatap ke arah sungai. Setidaknya masuk penjara itu membuat keinginan Wei untuk lenyap dari bumi tertahan. Namun sekarang, dia bebas dan tak punya tujuan.

“Kau berniat masuk neraka?”

Wei menoleh dan menemukan si Sipir. Si Sipir itu memberikan barang-barang yang ditinggalkan Wei di penjara. Beberapa kotak cat minyak yang dibelakangnya ada tulisan tangan ibunya yang berbunyi; maafkan ibu.

“Untuk apa aku hidup? Tidak ada yang perlu kubahagiakan.”

“Jika tidak orang yang perlu kau bahagiakan. Berarti kau hanya perlu membahagiakan dirimu sendiri.”(*)

Pemalang dan Semarang, 2018



Bagikan:

Penulis →

Zahratul Wahdati dan Ratna Purnamasari

Dua perempuan yang bertemu di UKM KIAS (Kajian Ilmu Apresiasi Sastra) Universitas PGRI Semarang. Beberapa karya mereka sudah dimuat di Suara Merdeka, Kompas, Basabasi.co, Solo Post, dan lain-lain.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *