Adegan yang Terus Berputar

RAIN

“Rain, rain, go away, come again another day, little Johnny wants to play. Rain, rain go away!”

Sayup-sayup terdengar suara anak kecil menyanyikan lagu ini. Sepertinya aku tak asing dengan suara itu. Tapi sebelah kepalaku menjadi sakit dan sangat berat setiap berusaha mengingat wajah dan nama anak yang menyanyikan lagu itu.

Tiba-tiba di depanku terbentang sebuah layar besar. Adegan demi adegan di tempat tak kukenal berputar sangat cepat. Ada aku di layar itu, juga Rain.

Kami sedang bersitatap dan bicara gembira sambil menambahkan bunga krisan di taman kami, menemani aneka bunga lainnya di sana.

Lalu adegan berganti. Rain sedang memasak makanan kesukaanku di dapur. Sementara aku membolak-balik majalah arsitektur, mencari ide untuk rumah kami yang sepertinya baru ditempati. Mataku berhenti di halaman tengah yang memuat gambar rumah dengan beranda asri dan beberapa pot bunga lili di sekeliling kolam di depannya. Rain menghampiri dan duduk di sebelahku membawa senampan penganan.

Adegan cepat berganti lagi: ada aku yang sedang marah-marah dan Rain sesenggukan. Tampaknya kami sedang bertengkar masalah serius. Adegan ditutup dengan Rain yang berlari ke luar pagar rumah lalu menjelma air dan larut bersama hujan deras. Wajahku berubah kebingungan di layar itu.

Adegan-adegan berikutnya silih berganti memutar ulang masa lalu yang telah kami lewati dan menunjukkan masa depan yang belum didatangi. Banyak peristiwa mencengangkan terjadi dan tak pernah terbersit akan mampir di kehidupan kami.

Sementara suara anak kecil yang bernyanyi tadi semakin jelas. Tiba-tiba aku seperti berada di dalam bioskop besar, duduk di deretan kursi tengah, celingukan melihat kiri-kananku. Suara anak kecil itu ternyata berasal dari kursi sebelah kanan.

Sebuah boneka kayu menyeringai padaku sambil mengulurkan tangan lalu membimbingku memasuki layar besar itu dan terus bernyanyi, “Rain, rain, go away, come again another day…”

Kemudian semuanya menjadi gelap.*

KENYATAAN

Seorang pemuda dengan HP berwarna putih mendekatkan benda itu terlalu dekat dengan kacamatanya. Aku melihat kacamatanya meronta-ronta dan berteriak, “Jangan terlalu dekat! Nanti matamu bertambah minus.”

Pemuda dengan kacamata hitam itu tidak mendengar apa pun. Dia tetap asyik memajukan benda dengan tombol-tombol yang bisa membuat seseorang dan banyak orang lainnya berada lebih dekat dan merasakan kehadiran yang semula tiada menjadi ada.

Mungkin aku harus berkenalan dan bertanya cara kerja benda itu. Oh tapi HP itu seperti milikku, bedanya HPku selalu memainkan perannya sekehendak hatinya sendiri, seolah-olah ia adalah makhluk hidup dengan tangan-tangan terentang yang bisa menjauhkan seseorang yang berada di sebelahku, dan menciptakan jarak-jarak tak terlihat yang menghadirkan berjuta kesepian melalui debu-debu yang beterbangan di udara.

Mari kembali ke masa satu jam sebelum ini. Tadi kakiku menginjak sebuah Kenyataan yang hampir tergilas ban mobil hitam. Sebuah Kenyataan yang nyaris tergilas itu kuajak menepi dan bicara sambil kutawarkan minum air dari botol berisi air mata yang dikumpulkan bertahun-tahun itu.

“Apakah ini air mata kerinduan?” tanyanya, nyaris seperti bisikan angin sepoi pada punggungku yang basah oleh keringat.

“Bagaimana kamu tahu?”

Kenyataan hanya tersenyum memandangku. Ia meminta izin untuk membalurkan dua teguk air itu ke dadanya.  Ia kemudian permisi dan berbaur di antara lautan manusia dengan kepala dan rambut beraneka warna. Mungkin orang-orang modern lebih menyukai warna rambut burgundy atau blonde, seperti warna sapu injuk milik temanku yang ditaruh di depan pintu kamar kosnya.

“Aku akan menuliskan kisahmu, Kenyataan.”

Sambil berbisik pada pengamen yang menghentikan nyanyiannya karena keheranan dengan kalimatku, aku kemudian bergegas membelah lautan manusia itu.

Tapi mataku memiliki kehendaknya sendiri, ia melayang-layang di atas kepalaku dan di atas lautan kepala manusia itu, sambil memberi tanda pada kepalaku yang seperti biji lada di antara biji lada-biji lada lainnya di jalanan yang terik siang ini.*

KOPI?

Aku terlalu gugup dan sedikit kurang percaya diri malam ini. Mobil kuparkir di ujung Jalan Alkateri. Perlu waktu lima menit untukku menarik-embuskan napas berulang-ulang demi menenangkan diri. Turun-tidak-turun-tidak-turun. Lima belas langkah kuhitung hingga sampai di teras kafe. Di depan pintu, sekonyong-konyong ragu menyergap. Dia tidak sendirian, duduk bersama lima orang lainnya. Seorang perempuan di antara mereka tiba-tiba melangkah keluar, dan aku buru-buru berbalik setengah berlari menuju mobilku.

Di dalam mobil, aku terhenyak, mengapa jadi begini? Aku bukan perempuan penakut. Lagipula apa salahnya menemui seorang teman, bukan? Perkara dia laki-laki, toh hanya jenis kelamin. Kuanggukkan kepala pada tukang parkir yang mengira aku berbalik arah karena ingin memindahkan mobilku lebih dekat ke depan kafe.

Kuhampiri mejanya, kupasang senyum terbaikku, meski seharian lelah mengikuti rapat Kami sudah sepakat akan bertemu hari ini. Tentu tak mungkin mengingkari janjiku sendiri. Bukan sikap ksatria seorang Nindya.

“Halo, maaf lama menunggu. Rapatnya di luar perkiraan,” sebuah penjelasan kugumamkan, karena sedikit merasa bersalah telah membuatnya lama menunggu. Kulirik kursi sebelah kiri. Dua orang yang duduk di sana aku kenali sebagai teman di komunitas seni rupa dan klien kantorku. Sial, mengapa dunia begitu sempit! Tapi jangan panggil aku Nindya jika tak bisa menenangkan diri dalam waktu segera. Setelah sedikit berbasa-basi, aku meminta berbicara empat mata di meja terpisah.

“Akhirnya kita bertemu juga!” dia tersenyum lebar lalu memanggil pelayan. Aku tak terlalu lapar tapi butuh kopi, jadi kupesan secangkir kopi hitam dan menyesapnya dalam dua kali tegukan. Sebelum satu kali sesap lagi kopiku tandas, dia memandangku lekat.

“Kamu penyuka kopi ya? Ada kafe lain, kopinya lebih enak. Kapan-kapan kita ke sana.”

Oh, baiklah, akan ada kencan lanjutan, rupanya.

“Tapi jangan Sabtu-Minggu ya. Aku harus mengantar istri dan anakku.”

Ternyata kopi di kafe ini betul-betul tidak enak. Aku jadi tersedak.*

TAK

“Setidaknya ucapkanlah terima kasih.”

May mengetik pesan singkat untuk Wan. Sekali klik mestinya pesan itu sudah sampai dan dibaca Wan. Tapi May mengurungkannya. Gemeletuk giginya mengingat betapa hatinya selalu tak bisa keras pada Wan. May kerasan sekali dengan perangai Wan. Meminta sesuatu tanpa kata tolong. Mengatakan rindu tapi tak acuh saat bertemu, mengirim pesan pada wanita lain dan berkata, “aku cuma iseng” saat May memergoki. Selalu seperti itu. Sudah bertahun-tahun, sejak May dan Wan mengikrarkan diri jadi “sepasang”.

Wan tahu, dada May luas untuk menyimpan apa pun kecerobohan Wan dan kalimat “aku maafkan kamu,” lekas tersaji setiap Wan memintanya pada May. Wan tidak tahu, atau mungkin tidak peduli, May kerap bertanya setiap malam pada Tuhan, terbuat dari apa hatinya hingga tetap bisa menyambut Wan dengan senyuman.

May menerima gambar Wan bersama perempuan lain enam bulan lalu. Pengirim tanpa nama. Ada yang sesak di dada May. Katanya Wan akan menikahi perempuan itu. Cantik, muda, dan seperti Barbie.

“Aku rindu kamu, May. Sangat.” Pesan Wan malam sebelumnya menerbangkan May ke angkasa. Ribuan kupu-kupu menari bersama May. May membalas dan menyatakan kerinduan yang sama. Dua hari kemudian Wan bertunangan.

Sore baru mulai, matahari sudah lama tenggelam di balik awan sejak pagi. Siang tadi hujan keterlaluan derasnya, sekarang reda dan menyisakan genangan di mana-mana. Juga di hati May. Genangan kenangan. Ya, dada May dipenuhi genangan kenangan. Wan ternyata menikahi perempuan di gambar itu. May sudah merelakannya jauh hari, sejak ia sendiri merasa tak siap jadi pasangan Wan untuk waktu yang bernama selamanya.

Kemarin Wan meminta tolong May mengirimkan buku-buku favorit Wan milik May. Katanya Wan sedang melakukan riset. Buku-buku itu segera tiba tadi pagi. Wan mengabarkan dan berkata May selalu bisa diandalkan. Tetapi Wan lupa berterima kasih.

May ingin marah dan menegur. Lagi-lagi pesan itu tak jadi dikirimkannya.*

TULAH

Ini terlalu riuh, terlalu banyak yang ikut campur. Suara dalam kepala berkata demikian. Tidak, kau saja terlalu perasa. Suara dalam hati berkata lain.

Adipati memandangi kerikil kecil yang ia tapaki. Kepala dan hatinya sedang adu argumen. Beberapa minggu ini bayang-bayang Kakek Gusti dan cerita-ceritanya selalu melintasi ingatan. Bagaimana bisa Nuri yang periang itu bahkan tidak lagi ingat namanya? Apa ia kena tulah seperti yang Kakek Gusti kisahkan itu?

Adipati semakin gelisah, kakinya mengayun perlahan dan membuat gerakan menendang. Beberapa butir kerikil terlambung ke udara dan jatuh di hamparan rumput Jepang di sebelah kolam kecil.

Nuri, dengan sorot mata asing terakhir dijumpainya mengatakan tidak ingat semua foto-foto peristiwa yang disodorkan Adipati. Bagaimana mungkin? Tiga minggu lalu mereka bertunangan. Keluarga Adipati dan Nuri bergembira dengan rencana-rencana. Tapi kini bahkan Nuri tidak bisa mengucapkan nama Adipati.

Sedikit keributan sempat terjadi di rumah Nuri. Adipati nyaris frustasi dan langsung pergi dengan hati masygul. Seorang lelaki tua yang melerai, konon masih sepupu kakek Nuri, bergumam bahwa keluarga itu kena kutukan. Adipati tersinggung dituduh sebagai penyebabnya.

Mereka lebih percaya takhayul, bisik hati Adipati. Sama sekali tidak masuk akal jaman modern ini percaya sumpah, dukung suara di kepalanya.

Kakek Gusti. Ya, sekarang ia ingat, lelaki tua yang dijumpai Adipati sebelum mereka bertunangan juga mengatakan hal serupa. Kakek Gusti bukan siapa-siapa. Bukan saudara Nuri, bukan juga saudara Adipati.

Adipati bergidik membayangkan sorot mata Kakek Gusti kala itu. “Hati-hati,” katanya.*

Bagikan:

Penulis →

Ratna Ayu Budhiarti

Menulis puisi, cerpen, dan artikel. Karyanya telah dimuat di berbagai media cetak lokal dan nasional serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusia, dan Korea. Menjadi peserta terpilih di beberapa acara sastra, di antaranya: Festival Puisi Internasional Indonesia (2012), Ubud Writers and Readers Festival (2012). Diundang oleh PENA Malaysia sebagai pembicara dan pembaca puisi (2016), serta Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (2018, 2019). Mengisi workshop dan menjadi juri pada beberapa lomba tingkat nasional. Buku puisi terbarunya, Sebelas Hari Istimewa (2019). Saat ini, selain mengajar yoga, sedang merampungkan kumpulan cerpen terbarunya.

4 Responses

  1. Saya ingin tahu laman panduan kirim naskah beserta syarat dan ketentuan dari setiap kategorinya (cerpen, cermin, dan puisi). Tolong diberitahukan min

    1. silakan berkunjung ke portal MAGRIB. Info pengiriman dijelaskan di sana. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *