Buku yang tak Lagi Dibaca




Aku Memukul Kepalaku dan Sesuatu Berjatuhan

aku memukul kepalaku dan sesuatu berjatuhan, seperti pikiran-pikiran yang tersesat, seperti jalan yang tertahan oleh palang. kepalaku tidak kosong seperti kata-kata politis atau berisik seperti berita dari internet di mana orang-orang kesepian butuh kesibukan sebab mereka jauh dari pelukan juga tak mesra. percayalah, kau tak akan temukan kata-kata cinta di sana. aku memunggut pikiranku yang berserakan. aku tak hendak membuangnya meski mereka takut, cemas dan ingin pergi. bagaimana aku bisa menenangkannya dari segala yang tak jernih? sekalipun butuh waktu tak lebih lama misalnya dari kotaku ke ibu kota atau memulai perdebatan-perdebatan heroik di sebuah laman tanpa spasi. aku dengar kepalaku bicara, sesuatu, tentang negara dan nasionalisme, meski tak satu orang pun benar-benar memilikinya, seperti bahasa indonesia dalam bahasa daerahmu.

2019



Hari-hari Paman

paman ingin melupakan diri sendiri, seperti balon udara yang sudah lama pergi, seperti ia melupakan semisal; nama kucing pemberiannya atau warna-warna hari.

paman sudah tua, seharian duduk di jendela, memandang hari rabu yang berwarna sabtu dan langit terlihat seperti topi. tapi topi semirip awan, melindungi dari panas, katamu, langit terlampau besar.

paman bilang, langit tidak mau mandi, sebab dia tidak kemana-mana, seperti topi di atas kepala paman, sedang awan gemar kemana-mana, tidak seperti topi.

di hari yang berwarna, paman mendengar musik Internasionale diputar, tangannya mengacung-ngacung, seperti hari saat pemakaman Pram. dia lupa nama semua hari.

siapa Pram? tanyamu. apakah ideologi punya identitas? orang-orang tak mengingat Pram seperti tak mengingat Tan seperti melupakan nama semua hari.

sejarah adalah buku yang tak lagi dibaca, begitu sebuah kalimat dilontarkan dalam pidato di seminar kebangsaan negara asing dan jauh dari jendela.

di suatu hari yang tak berwarna, paman, barangkali, tak lagi ada, juga apa-apa menjadi seolah tak pernah ada.

2019

Masa Silam Sebuah Kota

aku melihat kenangan
80 mil dari barat daya
melewati garis pantai

di sana,
dengan harum jahe, biji pala dan kenari
di mana negeri-negeri pernah bertemu
melabuhkan kapal

pasar raya hanya untuk cerita-cerita perang
harta yang hilang seperti buruh pengkhianat
dan kafilah bersiap pulang

meninggalkan gulungan kain,
permadani, karpet-karpet,
imperium yang agung

masa silam, adakah berharga bagi para peniaga?

aku temui kematian
sebuah kota, yang pada hari-harinya kerap terdengar
ayunan langkah, angin, suara denting barang-barang

2019

Di Tengah Kota

ia lihat jutaan lampu, menuruni kota
seperti kilau hujan, menjatuhi wajah

ia berjalan, melewati salju
seperti kerlip bintang, menyilau mata

dan malam terasa demikian dingin
di antara pohon-pohon tua
seperti puisi, seperti puisi-puisi

berhembus di udara terbuka

2019

Penyair yang Tersesat

penyair itu kerap terjerumus
meski telah lama mengaji
seperti domba yang tersesat
di ladang penggembalaan
sebagai martir yang celaka

barangkali ia luput
betapapun luas kata
semata nur yang menerangi
jalan sunyi puisi

2019

Doa

ia kecupi punggung tangan
ia dengar sebaris ayat
dibisikkan

doa itu
dari hembus udara
ataukah getar bahasa?

2019



Bagikan:

Penulis →

Irma Agryanti

Lahir di Mataram, Lombok. Kumpulan puisinya “Anjing Gunung” mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018-2019 dan sebagai nominasi Karya Sastra Puisi Pilihan Tempo 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *