Menuju Kamu
ke wajahmu aku mengendarai senja
tempat beradu segala pedih di hati lelaki
yang lengkap sepi bersemi
terutama aku yang menjumpaimu lewat mimpi
aku bersaksi atas dadaku sendiri
bahwa bedakmu abadi sebagai warna pagi
sebab kamu adalah rasa sakit yang jatuh
tepat di titik namamu jauh berteduh
mendoakanmu di sisi adalah puisi tanpa henti
dan di dekatmu seperti membaca kitab ilusi
Sumenep, 2019
Mendaki Kangen
semakin tinggi mendaki tangga kangenku
semakin terlihat bangunan-bangunan luka itu
padahal ketinggian belum sempurna dari arah timur
engkau menganyam janur,
semua telah tanpak kasihan apalagi semakin
menuju garis lintas paling atas
barangkali sungai air mata juga seperti sungai
yang mengalir sepanjang babad tanah jawa
aku sudah mengawali pendakian ini
dengan ritus-ritus suci dilengkapi azimat rimba
maka seturun nanti ia akan menggusur luka-luka
yang dibangun seperti bencana
Sumenep, 2019
Wangi Parfum
selintas kamu berlalu seperti kendaraan,
berlalu tanpa salam atau sedikit anggukan
tinggal wangi lewat pelat dan hidungku telanjang
menyertakan parfummu dan ciumaanku makin dalam
berai tubuh itu ternyata aroma lain
dari cara tuhan kabarkan rayu
wangi yang binal
memelihara mataku dari pakaian biru liris ungu
dan penunggu hutan lesu yang rapuh
wangi yang meninggalkan bekas rindu
di lantai dan di tengah-tengah pintu tanpa penghalang
antara aku dah wajahmu
semoga kamu padaku di ujung siang
tanpa parfum yang hilang
Sumenep, 2019
Menunggu Hujan Kita
aku menunggu engkau terkejut oleh hujan
dan kita basah kuyup kegembiraan
bersama ayunan berpasangan
di taman tempat tumbuhkan kenangan
kita menunggu hujan terutama aku
menunggu wajahmu sumringah
sambil mengayun-ngayun lentik jari
mempersilahkan rintik-rintik jatuh di pipi
sebelum hari ini
engkau pernah mengingatkan padaku
agar tak cemburu pada hujan
sebab bulirnya mendahului sentuhanku
pada bidang roti bolu di balik blush on
Sumenep, 2019
Malam di Tepi Kolam
malam di tepi kolam
berhamburan kembang angin dari sudut dingin
setiap kelopaknya menerpa wajah
tanpa menyisahkan peristiwa
engkau datang menuju kopiku yang santai
menghabiskan jamuan bintang
begitu juga mataku mengahbiskan langkahmu
yang juntai
oh sekotak kolam air mata
dari mana aku mulai kata-kata
agar perempuan ini tersentuh denyutnya
Sumenep, 2019
Puisiku Lagu Renjana
aku ingin menghabiskan sisa puisi
dengan suaramu sebagai pengiring jika kelak
puisi-puisiku dirubah menjadi lagu
atau kamu saja yang bernyanyi
biar aku petik gitar daun sambil mendengarkan
irama yang lewar di bibirmu dan menikmati
keresahan berguguran
dengan begitu tak ada hutangku pada jiwa-jiwa
yang menantiku menemuinya dengan prosa-prosa
sebagi tubuh pengganti kesah
begitu pula hutangmu pada gulita di mata
bukankah setiap dendang selalu mengantar pandang
pada pelantun kondang peramu bayang-bayang
ingin sekali itu aku yang melirikmu pertama
sebelum habis bunyi biola
Sumenep, 2019
Mendoakanmu Adalah Rindu Paling Puitis
hujan bulan juli baru saja mencoba menghampiri
tanahku dengan rintik kecil-kecil
sekaligus untuk kesekian kalinya aku memulai petualangan
melawan dingin tanpa mengindahkan wajahmu, bu,
serta terasa sangsi basah genting dan pintu-pintu rumah
sebab tiada lagi pengantar tidur siang tengah hujan
ini adalah musim yang paling banyak mengantar dongeng
seperti kupu-kupu yang kuyup oleh rindu
atau seekor burung kecil berwarna gerimis di ranting jauh
aku hafal sekali gerak bibirmu dan tatapan teduh
yang paling meneduhkan
hujan bulan juli baru saja mengirimkan raut wajahmu, bu,
dan mendoakanmu adalah rindu paling puitis
dan paling kelana sepanjang dingin berguguran
di halaman serta merindangkan daun-daun kenangan
Juli, 2019
Pada Sebuah Lagu Aku Menemukan Kamu Lagi
aku putar kembali lagu kesukaan yang bercambur suaramu
menyakitkan namun patut kurindu
setiap katanya merawat jalan-jalan pemberangkatan
dan setiap jeda dan ketukan irama
selalu meluaskan dadaku mempersilahkan
duka-duka manis bertamu menukar temu denganmu
tiga kali putaran barangkali,
wajahku hampir mendanau depan cermin
dan hati seperti diarak sekawanan luka-tawa
di kampung bernama penantian
meski waktu tak kunjung pasti berbunyi kembali
sebagai alarm yang kita nanti
aku sudah tahu bahwa kamu masih lama untuk kemari
Sumenep, 2019
Pada Suatu Pesta Bungaku Menjadi Tujuh
seluruh karangan bunga yang kususun
dari taman di belakang kesedihan
berserakan jatuh menjadi tujuh petakan
salah satunya kehilangan aroma dan warna
tinggal tulisan-tulisan bersilih pulang
mengendarai kembang luka
dan aku merasakan bola mata ini jingga
seperti warna gaunmu sewaktu pesta
lusuh segala kegombalan yang kusimpan
pada daun-daun dan kuncup aromanya
padahal kusaksikan waktu masih berjalan
dari utara melawan arahmu menghilang
mestinya masih banyak hembusan napasmu
sewaktu berdansa dan berpegangan tangan
paling tidak kita masih menyisahkan satu
gerakan yang kita pelajari dari kenangan
lalu harus aku apakan tangkai bunga ini
yang tidak lagi mampu berdiri
menanamnya kembali di kebun hujan
atau membiarkan luluh lantak sendirian
Sumenep, 2019
2 Responses
Mantapp
Terima kasih banyak, Wadzilah.