Sungai di Wajah Ibu

           Sungai di wajah Ibu bermuara pertama kali sejak belasan tahun lalu, ketika kehilangan itu mempora-porandakan hidupnya. Sungai itu berasal dari ceruk matanya, mengalir perlahan melewati pipi dan berakhir menetes di ujung dagu. Air mata yang menetes akan senantiasa membasahi dada dan pangkuannya. Dari balik jendela kamarnya, Ibu tak pernah lelah menunggu meski yang ditunggu tak kunjung kembali. Pagar rumah sudah berkali-kali diganti dengan yang baru, tapi kaki yang diharapkan melintasinya tak pernah datang.

            Air mata Ibu selalu mengalir seperti anak sungai yang membelah lembah. Setiap hari, setiap waktu. Dari atas kursi rodanya, Ibu akan selalu menatap keluar jendela dengan penuh harapan, penuh penantian yang tak kunjung usang. Dia setia menunggu. Setia berdoa kepada Tuhan, meski selama belasan tahun itu juga doanya tak kunjung terjawab.

            “Jika kau sudah lelah berpetualang, Nak. Pulanglah …”

            Satu kalimat itu yang selalu diucapkan Ibu di sela-sela penantiannya. Bibirnya yang memucat akan bergetar hebat tatkala mengucapkan kalimat itu. Lalu, sungai di wajahnya akan mengalir di kerut-merut wajahnya. Di ambang pintu, aku hanya menatap Ibu secara diam-diam. Pemandangan itu sudah aku akrabi sejak bertahun lalu.

***

            Aku masih ingat betul kejadian itu. Awal sebab Ibu memiliki sungai di wajahnya. Kejadian itu sudah belasan tahun lalu, tapi aku sangat mengingatnya. Andai belasan tahun lalu kakakku Aswin tak hilang, mungkin Ibu tak perlu merajut penantian yang sedemikian panjangnya hingga detik ini. Dan sungai yang berasal dari kedua ceruk matanya tak perlu mengalir saban hari.

            Tak ada tanda-tanda bahwa kami akan kehilangan Aswin pagi itu. Segala sesuatunya berjalan seperti biasanya. Aswin dengan semangat mudanya menyiapkan diri untuk kuliahnya. Aku masih kelas satu sekolah menengah pertama saat itu. Kakakku Aswin adalah manusia yang semangat, ia begitu menginginkan kebebasan dalam wujud demokrasi dan sebagainya. Meski jiwanya ingin bebas seperti burung yang lepas dari sangkar, tapi dia amatlah patuh kepada Ibu. Malam itu aku melihat kakakku memeluk Ibu. Seakan-akan mereka tak akan bertemu dalam waktu yang lama.

            Hari selanjutnya, kami memang kehilangan Aswin. Kakakku menghilang, dan tak kembali. Seminggu setelah Aswin menghilang, Ibu berkeras mencarinya ke kota. Semenjak ayah meninggal, Ibu yang memegang kemudi rumah tangga. Tatkala Aswin menghilang, maka Ibu seakan memiliki kewajiban mencarinya.

            Namun nyatanya kota tak ubahnya petaka saat itu. Semua sudut terlihat kacau. Bangunan-bangunan dihancurkan, toko-toko dijarah, gedung-gedung dibakar. Banyak orang-orang berteriak sepanjang jalan sembari merusak apa saja yang mereka temui. Mobil-mobil di sepanjang jalan digulingkan lalu dibakar beramai-ramai. Perempuan-perempuan berteriak ketakutan dikejar pria-pria buas yang memburu mereka secara membabi buta. Penjarahan, tindakan-tindakan vandalisme sampai pemerkosaan terjadi di mana-mana. Banyak orang yang terperangkap dalam kungkungan api turut tewas terbakar.

            Aku menggelepar ketakutan. Kota yang kami datangi tak aman. Tapi dengan tegar dan berani, Ibu bersikukuh untuk mencari Aswin. Para petugas keamaan menghimbau agar kami segera menyingkir. Tapi Ibu tetap maju, dia mencari Aswin di setiap sudut kota. Tapi kami tak menemukan Aswin, bayang-bayangnya pun tak terlihat.

            Ketika lelah mencari mendera, Ibu baru memutuskan pulang. Kota yang rusak kami tinggalkan, meski di sepanjang perjalanan aku menggigil di atas angkutan kota. Ibu bergeming, wajahnya membeku.

            “Bagaimana kalau anakku mati karena orang-orang yang marah itu? Bagaimana kalau dia menjadi salah satu korban yang dibakar?” Suara Ibu terdengar di tengah bisingnya suara angkutan kota yang mendengus-dengus di atas jalanan.

            “Apa Bang Aswin benar dibakar, Bu?” Aku menggigil membayangkan kejadian di kota tadi.

            “Orang-orang yang marah itu sedang hilang ingatan, Muni. Mereka bisa merusak dan membakar apa saja yang mereka mau,”

            Aku tak ingin mengangguk atau menggeleng. Sejujurnya aku bingung dengan jawaban Ibu. Ibu mengatakan bahwa orang-orang yang merusak kota itu sedang hilang ingatan dan marah. Tapi aku melihat mereka berteriak-teriak mengagungkan nama Tuhan ketika marah tadi.

            “Mereka tadi juga menyebut nama Tuhan, Ibu. Saat mereka menggulingkan mobil dan membakarnya. Juga saat menyerang orang-orang yang mereka anggap berbeda,” aku semakin erat menggenggam tangan Ibu. Tangan Ibu terasa begitu dingin dan berkeringat.

            “Tuhan tak bisa dijadikan tameng ketika marah, Muni. Karena Tuhan terlalu suci untuk disentuh amarah. Mereka hanya mencoba meredam dosa mereka sendiri, meski itu hal yang percuma. Kita terlahir berbeda bukan untuk saling membenci, Muni,” Ibu menatap keluar lewat jendela angkutan kota. “Saat ini kita tak perlu meributkan mereka yang pemarah itu, mereka punya dunia yang berbeda dengan kita. Kita cari kakakmu saja, karena tak seharusnya dia pergi tanpa kabar seperti saat ini.”

            Aku mengangguk. Benar kata Ibu, yang kami perlukan hanyalah mencari keberadaan Aswin. Kakakku benar-benar menghilang tanpa kabar. Satu demi satu teman-temannya ditanyai Ibu, tapi tak ada satu pun yang tahu kemana Aswin pergi. Terakhir Aswin terlihat di kampusnya, setelahnya tak ada lagi yang melihatnya.

            “Kenapa Bang Aswin bisa hilang, Ibu? Dia orang baik kan? Penurut juga,” aku bertanya ketika sudah berbulan-bulan tak ada kabar tentang Aswin.

            “Aswin terlalu banyak bicara, Muni. Abangmu itu terlalu jujur menjadi orang. Terlalu keras kepala sebagai seorang pemuda. Andai dia banyak bungkam seperti yang lain, mungkin dia tidak perlu hilang,” Ibu menatapku dalam-dalam. Dari kedua matanya yang semakin redup, aku tahu bahwa Ibu sangat lelah.

            “Ibu menyesal karena Bang Aswin banyak bicara?” Aku memijat punggung tangan Ibu yang jauh lebih kurus dibandingkan beberapa waktu sebelum Aswin hilang.

            “Ibu tak pernah menyesal memiliki anak seperti Aswin. Dia berani berbicara karena memang cakap dan paham dengan apa yang dia ucapkan. Tapi, ibu hanya menyesali, kenapa ada orang-orang yang berbuat curang kepadanya, membawanya pergi dan tak mengijinkannya kembali. Atau andai dia pergi atas kehendaknya sendiri, betapa pengecutnya abangmu itu, Muni.”

            Aku membenarkan ucapan Ibu. Andai benar Aswin pergi lantaran keinginannya sendiri, betapa pengecutnya dia, membiarkan aku dan Ibu bersusah payah mencarinya. Tapi, andai dia dibawa pergi orang dan tak diizinkan untuk pulang, betapa kejinya orang yang membawanya pergi. Lantaran mereka ada seorang Ibu yang terperangkap dalam rindu dan penantian yang tak pasti.

            Ibu masih bersemangat mencari Aswin, meski hitungan bulan sudah menyentuh tahun. Ibu dengan sabar menyebarkan info tentang hilangnya Aswin. Kantor polisi sudah didatangi. Selebaran-selebaran tentang info hilangnya Aswin ditempelnya di tiang-tiang listrik, di papan pengumuman gardu di kampung-kampung, sampai di pintu-pintu warteg. Tapi tak ada satu pun kabar yang diterima Ibu tentang Aswin. Abangku itu seakan hilang, lenyap ditelan bumi.

            Pencarian Ibu terhenti ketika pengapuran mendera kedua lutut kakinya. Kaki Ibu tak bisa digunakan seperti dulu. Sehari-hari Ibu hanya menghabiskan waktu di atas kursi roda. Meski kakinya tak bisa lagi menyusuri jalan-jalan di kota dan gang-gang kampung untuk mencari kabar Aswin, tapi Ibu tak berhenti menunggu. Di balik jendela kamarnya, Ibu selalu bersemangat memohon dan berdoa agar anaknya dikembalikan. Mengetuk belas kasih Tuhan agar anaknya yang hilang segera dipulangkan.

***

            Kini sudah belasan tahun Ibu menunggu. Tak hanya wajahnya saja yang dipenuhi kerut-merut lantaran digerus usia. Kedua matanya yang dulu bersorot penuh percaya diri menuntut keadilan untuk anaknya yang hilang kini berubah kelabu, seiring warna rambutnya yang memutih. Tangannya yang dulu tak lelah mengetuk pintu untuk sekadar menanyakan keberadaan Aswin kini selalu bergetar.

            “Sudah berapa lama abangmu hilang, Muni?” Suara lemah Ibu terdengar. Memang sudah beberapa waktu ini aku kehilangan suara Ibu yang tegas dalam kelembutan seorang wanita. Kini, hanya suara lemah yang terkadang bahkan tak  terdengar di telingaku yang bisa dia ucapkan.

            “Sudah cukup lama, Ibu. Sudah belasan tahun,” aku menjawab sembari menatap mata Ibu.

            “Dia benar-benar tak ingat pulang rupanya,”

            “Bang Aswin bukannya tak ingat pulang, Ibu. Mungkin dia memang tak diijinkan pulang,”

            “Terkadang ibu berpikir, Muni. Tidak rindukah dia kepada kita?”

            “Abang pasti rindu, Ibu. Hanya saja mungkin dia belum bisa kembali menemui kita.” Aku menggenggam erat tangan Ibu.

            Ibu hanya mengangguk samar, kedua matanya dipejamkan. Perlahan aku berdiri meninggalkannya. Tapi ketika sampai di ambang pintu kamar, aku mendengar suara Ibu yang lirih.

            “Jika sudah lelah berpetualang, Nak. Pulanglah, ibumu ini tak akan marah jika kau kembali ke rumah.”

            Lalu sungai di wajah Ibu mengalir lagi, dari ceruk matanya, turun ke pipi lalu berakhir di ujung dagu. Tetesan air mata itu membasahi dada dan pangkuannya. Aku hanya menatap Ibu dari ambang pintu, bagiku sungai di wajahnya bukanlah hal baru.[]

======================

Bagikan:

Penulis →

Artie Ahmad

Lahir dan besar di Salatiga. Beberapa cerpennya dimuat media massa, dan sampai saat ini dia memiliki empat buku. Buku terbarunya ‘Sunyi di Dada Sumirah’ Penerbit Buku Mojok, Agustus 2018 dan kumpulan cerita pendek ‘Cinta yang Bodoh Harus Diakhiri’ Penerbit Buku Mojok, Januari 2019.

One Response

  1. refleksi rasa empati yang mendalam untuk para ibu yg kehilamgan putra/putri aktivis mereka. tak perlu ada alasan untuk menjafi sentimentil ketika menyebut kata ibu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *