Pembelajaran Merdeka Ala Guru Aini

Judul Buku   : Guru Aini (Prekuel Novel Orang-Orang Biasa)
Penulis      : Andrea Hirata
Penerbit     : Bentang
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Februari 2020
Halaman      : xii + 336 halaman
ISBN         : 978-602-291-686-4



“Karena gempa bumi sekalipun tak dapat menggeser keinginan si bungsu manis itu untuk menjadi guru matematika,” halaman 7.

Tekadnya sudah bulat, ia hanya ingin menjadi guru, guru matematika. Bukan menjadi dokter, insinyur, sarjana hukum, sarjana ekonomi atau yang lainnya.

Ibu kandungnya, kepala sekolah, bahkan lelaki yang menjadi cinta pertamanya, merayu agar ia memilih yang lain, asalkan bukan guru. Tapi, ia tetap kukuh terhadap pilihannya. Ia telah jatuh cinta pada ilmu hitung itu. Ia merasa, menjadi guru matematika adalah alasan mengapa ia ada di dunia ini. Ayahnya, ya, ayahnyalah satu-satunya yang mendukung pilihannya.

Tak tanggung-tanggung Guru Desi, rela mengorbankan masa mudanya, mengajar di tempat yang paling jauh, dan tak pernah dibayangkan sebelumnya. Rela berjauhan dengan keluarganya dan fasilitas sekolah yang lebih baik, dibanding dengan sekolah tempatnya mengabdi. Ia rela bertukar tempat pengabdian dengan seorang temannya. Tapi, ia tidak pernah menyesal dengan pilihannya tersebut. Padahal waktu dinyatakan sebagai lulusan terbaik, di sekolah ikatan dinas itu, ia bisa saja menggunakan haknya untuk memilih tempat mengajar, di mana saja yang ia mau. Tetapi ia memilih untuk ikut dalam pengambilan undian.

Desi Istiqamah, demikianlah nama lengkapnya, dan keistiqamahannya pada idealisme pilihan hidupnya telah mewujudkan makna di balik namanya.

Sepatu kets berwarna putih strip merah, menjadi teman perjalanannya sejak awal meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Bahkan dia telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia tak akan pernah mengganti sepatunya, jika belum menemukan sosok murid yang genius dalam matematika.

Guru Desi juga menolak undangan pemberian penghargaan sebagai guru terbaik tingkat kabupaten yang disematkan kepadanya. Hanya karena alasan belum menemukan sosok murid yg hebat dalam matematika. Padahal, kecerdasan, dan idealismenya itu tak terbantahkan dan diakui seluruh guru, juga para murid yang telah diajarnya. Iming-iming dari kepala sekolahnya, menjadi guru terhebat sedunia pun, ditampiknya.

Pernah suatu ketika, dia sudah hampir menukar sepatu bututnya dengan sepatu baru. Karena telah merasa menemukan anak genius yang didambakannya. Tapi, si genius yang sudah disiapkan tempat khusus di rumahnya, telah meninggalkannya dengan begitu saja. (Kepergian Debut Awaluddin dari sekolah dapat pula dibaca pada novel Andrea Hirata yang berjudul Orang-Orang Biasa, 2019).

Kemampuan Guru Desi dalam mengajar, mendidik murid-muridnya, sungguh mumpuni. Tidak hanya menguasai ilmu matematika sebagai fokus keahliannya. Tapi, ia juga menguasai psikologi pendidikan, metode pengajaran yang beragam, serta ilmu pedagogik. Sehingga ia tidak pernah mati langkah atau menyerah dalam menghadapi murid-muridnya yang sama sekali tak punya minat atau bakat pada mata pelajarannya. Meskipun mencari murid impiannya di SMA Belantik, amatlah sulit.

Kemampuan Guru Desi, bukanlah kecerdasan yang given, atau semacam ilham, wangsit yang langsung jadi. Semua itu didapatkannya melalui proses yang panjang, dimulai saat ia masih duduk di les 3 SD. Ia terinspirasi dari gurunya yang bernama Ibu Marlis.

Salah satu kebiasan baik Guru Desi adalah melahap buku-buku. Tidak hanya sebatas matematika. Sangat doyan terhadap buku-buku sastra, novel dan sebagainya. Sejak masih sekolah, hingga saat menjadi guru pun ia terus membaca dan membaca.

Kontras dengan kelaziman kita sebagai guru. Rasanya, hampir tidak ada lagi waktu untuk membaca, memperbarui, dan mengembangkan ilmu yang sudah dimiliki. Buku yang dibaca sebatas buku teks pelajaran yang akan diajarkan di depan para siswa. Sementara ilmu untuk membangkitkan semangat belajar para siswa, nyaris tak pernah dibaca. Padahal, itu menjadi tuntutan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, selain kompetensi profesional.

Jika Guru Desi di waktu luang memanfaatkannya ke perpustakaan, dan memperkaya literaturnya dengan buku-buku. Kebanyakan guru pada kenyataannya tidak demikian. Lebih senang berkumpul untuk ngerumpi, sibuk dengan gadget masing-masing. Serta lebih suka berbelanja barang-barang mewah tinimbang membeli buku.

Sebuah ironi, jika para guru mengajak siswa kita untuk mencintai buku, mencintai membaca. Tapi, guru itu tak memiliki sense, kepekaan dan dan kedekatan rasa pada hal tersebut.

Hingga pada suatu masa, Guru Desi bertemu dengan Aini. Awalnya, Aini termasuk murud yang tidak ingin diajar oleh Guru Desi, karena reputasi Guru Desi terkenal sebagai guru yang idealis, khususnya dalam pelajaran matematika. Bahkan, Aini dan teman-temannya, sangat bersyukur jika tidak sampai bertemu dan diajar oleh Guru Desi. Aini lebih senang diajar oleh Guru Tabah.

Kekuatan cita-cita dan cinta, itulah yang menggerakaan Aini, untuk mendatangi Guru Desi. Meskipun berkali-kali Guru Desi menolaknya, secara terang-terangan.

Ayah Aini jatuh sakit, dan tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya. Dukun maupun dokter di puskesmas. Kecuali, jika ditangani oleh dokter ahli. Tapi karena ketidakmampuan biaya, Ayah Aini, hanya dirawat di rumah saja.

Aini, bertekad akan menjadi seorang dokter yang akan mengobati dan menyembuhkan ayahnya. Dan untuk menjadi seorang dokter, Aini harus kuliah di fakultas kedokteran, dan untuk lolos ke fakultas bergengsi itu, Aini harus menguasai ilmu hitung-hitung, matematika.  

Guru Desi merasa takjub melihat keinginan Aini untuk belajar langsung matematika kepadanya. Sedangkan yang lain menghindarinya. Karena akan menjadi sebuah keberuntungan besar bila tidak sempat diajar oleh Guru Desi.

Tetapi, penyerahan diri Aini, ke Guru Desi, membuahkan hasil yang cemerlang, meskipun harus dilalui dengan perjuangan yang berat. Tidak hanya keringat yang bercucuran, air mata pun menetes, karena sulitnya belajar matematika.

Guru Desi mendidik Aini mulai dari 0 (baca: NOL), hingga ia betul-betul menguasai matematika. Dari murid yang paling buntut namanya dipanggil saat pembagian hasil ulangan, hingga ia menjadi bintang baru di kelasnya, bahkan di sekolahnya pasca ujian akhir SMA. Dari yang paling sering mendapat hukuman berdiri di depan kelas, hingga ia menjadi jawara lomba menjawab soal matematika di kelasnya.

Kemauan dan kegigihan Aini untuk belajar, meskipun diusir, didamprat dengan kata-kata kasar sekalipun, tak membuatnya menyerah dan mundur dari cita-citanya menguasai matematika demi menjadi seorang dokter, dan demi menyembuhkan ayahnya. Demikian pula kesabaran Guru Desi dalam mendidik dan mengajar Aini. Meskipun, dalam pandangan awal, Guru Desi, rasanya amat sangat sulit bagi Aini untuk menguasai matematika.

Kecintaan Guru Desi pada buku, pada membaca, berimbas kepada muridnya, Aini.

“Aini pun telah menjelma menjadi pembaca buku yang rajin. Dipinjamnya banyak buku dari perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah lalu digempurnya buku-buku itu tanpa ampun. Dia membaca sambil duduk, sambil berdiri, sambil berjalan, sambil naik angkot, sambil memencet-mencet balon ngik-ngok saat berjualan minan anak-anak di kaki lima,” halaman 252.

Demikianlah pentingnya kesabaran bagi pendidik dalam mengajarkan ilmu. juga kesabaran, keuletan dan kesungguhan seorang murid dalam berusaha meraih ilmu tersebut. Keduanya harus berkolaborasi, bekerjasama dengan baik.

Meskipun buku 336 halaman ini, 35 judul, banyak membahas matematika. Bukan berarti, novel ini hanya cocok untuk guru matematika. Bahkan bagi semua guru di pelosok negeri ini, orang tua dan peserta didik sekalipun,

Buku yang bergendre fiksi, misalnya novel, tidak harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang fiktif. Tapi, ia bisa hadir menjadi pengisi relung jiwa. Bahkan bisa menjadi alat rekayasa sosial atau masyarakat. Karena ia hadir bukan di ruang hampa. Demikian halnya buku anggitan penulis Laskar Pelangi ini,

Bagi saya yang awam tentang matematika dan istilah-istilah yang melingkupinya, tentu menjadikannya sebagai tantangan tersendiri untuk memahaminya. Sekaligus merefresh kembali ingatan pembelajaran matematika yang saya dapatkan saat sekolah dulu.

Novel ini sungguh asyik dibaca, layak dijadikan buku referensi, terutama bagi yang berprofesi sebagai seorang guru.

Ada rasa haru, kocak, lucu, menggelitik nan kritik sosial secara halus, satire. Tanpa menghilangkan esensi pesan yang ingin disampaikannya. Dari novel pertamanya yang saya baca hingga yang sekarang ini, seperti itulah Andrea Hirata menghipnotis para pembacanya.

Bagikan:

Penulis →

Ahmad Rusaidi

Pengajar di SMA Negeri 9 Takalar dan penggiat literasi di Sudut Baca Al-Syifa Ereng-Ereng dan Boetta Ilmoe Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *