Allesandra dan Ksatria Bertapa


INGIN menghayati peran bidadari dalam tari “Begawan Mintaraga”, Allesandra menetap di padepokan. Ia sengaja tinggal di padepokan, ingin suntuk belajar menari pada Ki Broto. Lelaki muda itu telah menambat perasaannya. Allesandra, seperti menemukan tempat tinggal yang damai di desanya, di lereng Pegunungan Alpen, wilayah Italia. Ia menempati rumah klasik peninggalan leluhur, langit bergayut kabut es, dan di kejauhan membentang bayang-bayang salju puncak Mont Blanc.

Allesandra – yang diundang untuk melakukan restorasi lukisan keraton – tak pernah menduga bakal terdampar di lereng Gunung Merapi. Ia juga tak pernah menduga akan mengenal Ki Broto, lelaki muda pemilik padepokan dan seorang penata tari. Lelaki muda itu putra seorang dalang yang memiliki padepokan, penata tari, suka bermain musik, dan menghidupkan pergelaran seni di daerah sekitar lereng Gunung Merapi.

Dalam tari “Begawan Mintaraga”, Allesandra berperan sebagai seorang bidadari yang menggoda tapa Arjuna. Ada tujuh bidadari, seorang di antaranya Dewi Supraba. Dan peran yang dibawakan Allesandra tak begitu penting: hanya menggoda tapa Arjuna. Ksatria  itu tak pernah memudarkan tapanya. Allesandra ingin berperan sebagai Dewi Supraba, bidadari yang dapat meluruhkan hati Arjuna – yang diperankan Ki Broto. Sungguh memikat, Dewi Supraba dipersunting sebagai istri Arjuna.

Tak ada hal yang paling menarik bagi Allesandra, kecuali ia bisa menari, merasakan getar tubuh dan rasa keindahan, yang membangkitkan ketakjuban pada setiap gerak yang  diselubungi getaran gaib. Sungguh di mata Allesandra, setiap gerakan untuk menyentuh Arjuna yang hening bertapa, membuat jiwanya melayang di awan-awan dunia para dewa. Sejak ia dengar suara gamelan pertama kali di keraton Yogya mengiringi bedaya Arjuna Wiwaha, dan melihat pergelaran tari yang diperankan Ki Broto, sangat ingin datang ke padepokan  penari itu.

Tiap kali berlatih menari, Allesandra selalu menemukan kegairahan baru, gerakan yang bangkit dari dalam getaran rasa – sesuatu yang mengalir dari sanubari. Ia jadi sangat cepat bisa mengikuti gerak tari yang diajarkan Ki Broto. Tidak hanya menirukan gerak tari Ki Broto, melainkan juga menikmati kedalaman rasa dari tiap aliran darah di sekujur tubuhnya.

Tapi kenapa tiap kali Allesandra berpapasan dengan Laksmita, yang tiap pagi berkunjung ke padepokan, hatinya berdebar, seperti bakal tersingkir dari sisi Ki Broto? Ia mulai menimbang-nimbang: bagaimana cara merebut perhatian Ki Broto dari daya pikat Laksmita. Allesandra tak pernah bisa menduga: keakraban yang terjalin antara Ki Broto dan Laksmita. Apakah Laksmita calon istri Ki Broto? Allesandra diam-diam mengamati mereka. Ia menaruh curiga, bila gadis itu, yang jarang bicara, dan cenderung menghindar dari pergaulan, calon istri Ki Broto. Laksmita selalu dijemput pagi hari dan diantar pulang dengan mobil Ki Broto pada sore harinya.

                                                                  ***

HAMPIR larut malam, Allesandra mengikuti latihan tari “Begawan Mintaraga”,  merasa sangat menikmati kesunyian lereng Gunung Merapi, kabut yang mulai mengendap, dan suara belalang kecek di ranting pepohonan. Allesandra mencoba memahami kisah Arjuna sebagai pertapa untuk mencapai kesaktian dan memperoleh senjata dalam sunyi Goa Mintaraga, menampik kegairahan para bidadari yang menggoda. Mengapa menampik kegairahan bidadari untuk meluluhkan anugerah para dewa?

Allesandra yang memperoleh kesempatan bersama para penari dan penabuh gamelan, ketika Laksmita sudah pulang malam hari, sengaja  menggoda Ki Broto, “Apa memang Arjuna mesti kawin dengan Dewi Supraba?”

“Saya tak berani membuat kisah yang menyimpang.”

“Mengapa tak kau rancang sendiri sebuah tari yang meninggalkan kisah lama? Apa tak boleh mencipta tari, Arjuna kawin dengan salah seorang bidadari?”

“Mungkin suatu saat nanti, aku akan mencipta tari yang menyimpang dari kisah itu. Aku memerlukan keberanian untuk itu.”

“Kenapa tak kau coba mulai saat ini?”

“Mencipta tari serupa itu memerlukan banyak waktu, renungan, dan latihan. Aku juga memerlukan teman untuk merancang tari itu.”

Allesandra masih menimbang-nimbang untuk mendesak Ki Broto agar bercerita tentang pertapaan Arjuna, dan kesaktian sesudahnya: keperkasaan, ketangguhan, atau kemenangan pertempuran yang dicapainya. Allesandra kini mulai menyadari makna kesunyian lereng Gunung Merapi, dan mencari kepekaan hatinya sendiri. Justru rasa takjubnya pada Ki Broto, pemeran Arjuna, berkembang menjadi hasrat untuk memiliki lelaki itu. Tapi Ki Broto, yang membaca gelagat akan rasa takjub Allesandra, menenggelamkannya di bawah genangan kabut gunung. Allesandra seperti leleh terkena awan panas yang bergumpal dari puncak Gunung Merapi.

Di kamarnya Allesandra menenangkan diri. Mengambil kertas, mencoret-coret kertas itu, menuangkan segala harapan, kegundahan, dan kemasgulan-kemasgulannya. Terus ia menulis. Memuntahkan kegalauan hatinya. Ia memuntahkan perasaan-perasaan itu, yang tak mungkin diucapkannya. Ia masih terus menuliskan kegundahan itu. Kebiasaan ini dilakukannya dari semenjak ia kecil, kebiasaan bila ia marah pada seseorang. Ketika  ia tak memperoleh tanggapan seperti yang diharapkan, ia mencorat-coret kertas, dan membakarnya dalam api lilin.

Allesandra tak paham benar, apakah ia seorang yang tersesat dari tujuan semula sebagai seseorang yang diundang melakukan restorasi lukisan keraton. Ia didatangkan untuk menyelamatkan beberapa koleksi lukisan keraton – temasuk di antaranya lukisan Raden Saleh – dengan mengikuti goresan-goresan yang asali. Goresan-goresan lukisan itu memudar setelah lebih dari seratus tahun, kusam warna catnya. Saat ia menonton pergelaran tari bedaya Arjuna Wiwaha – yang melakonkan sultan –  di pendapa keraton, ia takjub, terkesima, bergetar, dan terpusat pada penari yang memerankan sultan. Pemeran sultan itu seorang perancang tari, yang memiliki padepokan di lereng Gunung Merapi. Ia kagum pada sang penari, Ki Broto, masih bujangan, yang tampak sangat tenang, agung, dan rendah hati. Di panggung ia begitu karismatis. Dalam kehidupan sehari-hari, ia jejaka kebanyakan. Ia tak menampakkan keagungan sebagaimana tampak di panggung.

Allesandra merasa sangat penasaran, ingin bisa menari, dan karena itu ia tak buru-buru kembali ke Italia ketika selesai merestorasi beberapa koleksi lukisan keraton. Ia berguru menari pada Ki Broto, tinggal di padepokan lereng Gunung Merapi, belajar menari, sesekali ia melukis. Ia ingin disertakan sebagai penari bidadari dalam “Begawan Mintaraga”, yang menggoda menggugurkan tapa Arjuna. Allesandra mulai melihat dan merasakan keagungan yang berbeda pada diri Ki Broto, ketika memerankan sultan dalam “Arjuna Wiwaha”, dan memerankan Arjuna dalam tarian “Begawan Mintaraga”. Kali ini Ki Broto memerankan ksatria  dengan penuh kesabaran, tangguh dalam pertapaan, unggul dalam peperangan melawan raja raksasa Niwatakawaca. Tarian ini sungguh memberi ekspresi beraneka wajah pada Ki Broto. Tarian ini memberi ekspresi pembebasan di panggung bagi lelaki muda itu.

Allesandra menunggu kesempatan untuk menyatakan keinginannya mendampingi hidup Ki Broto, bila pertunjukan tari sudah digelar di padepokan. Ia memang selalu mencurigai Laksmita, sebagai perempuan yang memiliki kedekatan jiwa dengan Ki Broto. Tapi Laksmita tak pernah manampakkan bakatnya menari. Perhatian Ki Broto pada gadis itu melebihi siapa pun. Pada Arum yang memerankan Dewi Supraba, perempuan yang sangat penuh daya pikat, Ki Broto tak pernah memberikan  perhatian mendalam. Allesandra tidak yakin benar bila Laksmita calon istri Ki Broto – lelaki yang memiliki keagungan sebagai pencipta tari dan penari.

Menempati salah satu kamar di padepokan Ki Broto, Allesandra kepalang memahami semua kebiasaan lelaki itu. Ki Broto biasa beranjak tidur hingga larut. Lelaki muda itu berlatih menari, menemukan gerak, dan menemukan kelembutan rasa bagian-bagian tariannya. Kadang lelaki muda itu menabuh gamelan, pelan, hening, menyentuh relung pagi. Kadang Ki Broto menghentak kendang, pelan, dan mencipta irama yang kadang dramatis, kadang jenaka.

Subuh dini hari Ki Broto sudah berada di sendang, mengambil air wudu, dan salat di surau kayu yang didirikan tak jauh dari sendang itu. Air pancuran mengucur di sendang yang gemericik, dan tangan yang dibasuh air pancuran, terdengar sampai ke kamar Allesandra. Ia membuka jendela: menatap ke arah sendang. Menatap Ki Broto yang tersenyum ke arahnya, dengan wajah terbasuh air wudu.    

                                                      ***

TARI “Begawan Mintaraga” yang dipergelarkan di padepokan Ki Broto disaksikan begitu banyak penonton yang berdatangan dari banyak kota yang jauh, tamu-tamu hotel, dan pecinta tari. Padepokan Ki Broto belum lama didirikan, dan senantiasa mempergelarkan tari, musik, dan pertunjukan seni rakyat yang diangkat dari masyarakat sekitar lereng Gunung Merapi.  Selama tinggal di padepokan, ia telah menyaksikan begitu banyak pergelaran tari, musik, teater dan seni rakyat yang membuatnya takjub. Ki Broto tak pernah berhenti  mempergelarkan tari yang seringkali terbuka bagi masyarakat sekitar lereng Merapi.

Kali  ini pergelaran tari “Begawan Mintaraga” berada di gedung teater yang baru selesai dibangun di antara kawasan padepokan, yang senantiasa penuh selama tiga hari berturut-turut pertunjukan. Pada pergelaran hari ketiga, yang terakhir, Allesandra sampai batas penantian untuk menyatakan keinginannya tetap tinggal di negeri ini, mendampingi Ki Broto, tinggal di lereng Gunung Merapi, dalam kesunyian. Ia bisa melukis, menari, dan mendampingi Ki Broto mengelola padepokan.

Allesandra telah mendengar kisah tentang Laksmita dari para penari. Mereka  menggunjing Laksmita sebagai putri seorang preman, yang melakukan pelarian dari penembak misterius sampai lereng Gunung Merapi. Tiap hari di antara para penari membuka kisah tentang Laksmita, anak preman yang pernah memiliki pekarangan dan rumah di padepokan Ki Broto, sebelum ayahnya meninggal. Mengapa Ki Broto begitu dekat dengan Laksmita, putri seorang preman? Allesandra tak habis pikir. Ada sesuatu rahasia yang mesti dibongkar.

Riuh tepuk tangan penonton di akhir pergelaran tari “Begawan Mintaraga” yang gemuruh,  membuat jantung Allesandra berdegup keras. Inilah saatnya ia mesti mengungkapkan perasaannya pada Ki Broto, dan memutuskan nasibnya untuk terus menetap atau meninggalkan negeri ini. Ia bersandar nasib Ki Broto. Ia  menjadi gelisah berhadapan lelaki muda itu dan juga Laksmita, perempuan yang begitu tenang dan menaruh kepercayaan pada Ki Broto.

                                                            ***

PARA penari mengelilingi tumpeng. Duduk bersila di pendapa rumah Ki Broto. Para penari menanti menerima sepiring potongan nasi tumpeng dan ingkung ayam yang berbumbu pekat rempah-rempah. Ki Broto memimpin doa sebelum tumpeng itu dipotong. Di sisinya duduk Laksmita, tenang dan penuh keyakinan. Diakah itu, perempuan yang duduk tenang di sisi Ki Broto, sesungguhnya Dewi Supraba, yang merenggut hati Arjuna?

“Ini tumpeng selamatan kita atas sukses pentas “Begawan Mintaraga”. Sekalian minta restu, kami, saya dan Laksmita, bakal menikah!” kata Ki Broto tenang. Ia memotong tumpeng, mengambil gudangan, bergedel, dan sayatan daging ingkung ayam. Menempatkannya pada sebuah piring. Dipersembahkan sepiring potongan tumpeng itu pada Allesandra.

“Untuk Allesandra, semoga berkah, terimakasih sudah terlibat dalam pergelaran tari ini. Kalau kau masih berkenan tinggal di padepokan ini, kami akan sangat bahagia. Kau akan jadi penari ternama.”

Tangan Allesandra bergetar menerima sepiring tumpeng. Ia tak bisa berucap, sedih atau bahagia. Ia  segera meletakkan piring, beringsut ke arah Laksmita dan menyalaminya. Mencium pipi. Memeluk. Tubuhnya bergetar. Getaran yang sangat dahsyat dalam dada. Tak kan pernah dilupakan.

                                                           ***

Pandana Merdeka, Maret 2020

Bagikan:

Penulis →

S. Prasetyo Utomo

lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Novel yang telah diterbitkannya dalam bentuk buku adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009), Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *