COVID-19 dan Paradoks Homo Deus

Catatan sejarah telah memberi pelajaran mengenai serangan mikroba yang terus menerus menyerang manusia secara bergelombang. Beberapa diantaranya diklaim telah mengubah dunia secara dramatis. Pertama, wabah Antonine atau wabah Galen (165 M) diperkiran menelan korban 5 juta orang. J. Rufus Fears (2004) menyebutkan bahwa pandemi Antonine adalah salah satu dari tiga pandemi yang paling mematikan di zaman klasik. Wabah Antonine menimpa seluruh wilayah imperium Romawi mulai dari perbatasan Timur di Irak sampai ke perbatasan Barat sungai Rhine dan wilayah Gaul (Perancis) sampai Jerman Barat. Christopher Muscato, menyebutkan bahwa di puncak terajdinya wabah, kematian menyentuh angka 2,000 orang setiap hari. Total kematian sekitar 7-10% dari total penduduk imperium Romawi mulai dari Spanyol, Italia, Yunani, Anatolia, Mesir dan Afrika Utara. Di wilayah perkotaan lebih tragis lagi. Wabah ini diperkirakan menelan korban sekitar 10-15% penduduk yang salah satunya adalah kaisar Marcus Aurelius Antonine. Dampak dari wabah Antonine tidak hanya berimbas terhadap demografi, tetapi juga ekonomi yang terus memburuk serta kekuatan militer dan jumlah prajurit Romawi yang terus melemah. Sejarawan A. E. R. Boak, Kyle Harper dan Eriny Hanna sepakat bahwa merebaknya wabah Antonine dan terjadinya serangkaian peristiwa kelaparan di seantero wilayah telah menjadi titik awal kejatuhan imperium Romawi di Barat. (John Horgan, Antonine Plague, Ancient History Encyclopedia, published, May 02, 2019).

Kedua, wabah hitam (Black Death, 1347-1351). Penyebab dari pandemi ini adalah bakteri Yarsinia Pestis atau kutu dari tikus yang awalnya terjadi di China kemudian menyebar melalui jalur perdagangan (silk road) sampai ke Crimea tahun 1346 (C.J. Duncan, S.Scott, 2005). Bakteri ini kemudian menembus Eropa melalui jalur perdagangan di sepanjang laut Mediterrania. Di awal Oktober 1347, kapal-kapal dari Caffa berlabuh di pelabuhan Messina Sicilia. Para penumpangnya turun dengan membawa serta wabah mematikan yang menerjang seluruh daratan Eropa dari tahun 1348 sampai 1352. Pandemi ini memusnahkan separuh penduduk Eropa, yang kemudian dikenal dengan nama wabah hitam. Pandemi ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengurangan penduduk dunia sebesar 350 sampai 400 juta di tahun 1400. Dampak dari wabah hitam ini menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keagamaan yang sangat berpengaruh terhadap jalannya sejarah Eropa. Dibutuhkan waktu selama satu setengah abad untuk pemulihan Eropa pasca bencana. Pandemi ini menghantam Eropa berkali-kali sampai akhirnya berlalu di abad ke-19. 

Ketiga, Wabah Spanyol (Spanish Flu, 1918). Wabah flu H1N1 ini diperkirakan menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia, termasuk sekitar 675.000 orang di Amerika. Meski sebatas perkiraan, korban akibat pandemi ini melebihi nyawa manusia yang hilang akibat dari PD I yaitu sekitar 12-14 juta jiwa. Walaupun penyakit ini pertama dilaporkan terjangkit di Amerika, pandemi ini kemudian dinamai sebagai flu Spanyol. Hanya media Spanyol yang secara terus-menerus memberitakan perkembangan pandemi ini berikut jumlah korbannya, karena Spanyol memilih netral di PD I. Makanya wabah ini diberi nama flu Spanyol. Media di negara-negara yang terlibat perang tidak meliput pemberitaan mengenai wabah ini karena ingin menjaga mental dan spirit dari prajuritnya (Juditha Wojcik dan Sebastian Vollmer, 2017). Meski banyak penulis yang menegaskan kalau wabah ini bermula di Amerika, sejarawan Mark Humphries dari Memorial University, Newfoundland menyatakan bahwa virus yang mematikan ini kemungkinan berasal dari Cina. Humphries mencatat bahwa terdapat mobilisasi sekitar 96.000 buruh dari Cina yang membantu Inggris dan Perancis membangun infrastruktur perang di front Barat (Dan Vergano, 2014).

Keempat, Flu Asian (1957). Pandemi ini merupakan salah satu yang terbesar dampaknya dalam sejarah. Flu Asian ini masuk pandemi kategori 2 yang untuk pertama kalinya terjadi di China di awal tahun 1956 dan berakhir di tahun 1958. Wabah flu Asian ini merupakan pandemi kedua terbesar dalam sejarah di abad ke-20 setelah flu Spanyol di tahun 1918-1919. Penyebab dari pandemi ini adalah virus yang dikenal dengan influenza A subtipe H2N2. Di bulan Agustus 1957 Flu Asian merebak yang menjadi asal muasal flu babi tipe A yang akhirnya menjadi wabah di tahun 2009. Pada mulanya wabah ini menyerang sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu komunitas yang berdekatan seperti kamp militer dan perkemahan musim panas. Virus kemudian menyebar begitu cepat ke sekolah-sekolah ibarat angin yang berhembus kencang menerpa rumput kering. Akhirnya di bulan Oktober, seluruh negeri terkena virus influenza. Flu ini memberi dampak yang sangat besar bagi usia muda. Pada saat wabah ini dinyatakan berakhir, 40% kematian terjadi di usia di bawah 65 tahun, presentase yang lebih besar dari kejadian flu biasa.

Imajinasi Pandemik (Pandemic Imaginary)

Berbagai penelitian ilmiah multidisipliner berusaha mengungkap asal muasal dari pandemi, dampak yang ditimbulkan, bagaimana wabah itu berakhir dan kenapa wabah itu muncul kembali. Sayangnya, tidak ditemukan jawaban saintifik yang meyakinkan mengenai misteri dari pandemi ini. Akibat nihilnya jawaban atas pandemi yang terus berulang maka terjadilah apa yang disebut oleh Albert Camus dan Thomas Mann, sebagai “dysfunctional society”. Setiap terjadi pandemi, semua mengalami kepanikan, kegagapan dan kebingungan. Stephen Kinzer, kolumnis The Washington Post, menyebutnya sebagai kegagalan manusia dalam ber-imajinasi atau dalam istilah antropolog Christos Lynteris, “pandemic imaginary”. Lebih jauh Kinzer meguraikan bahwa manusia terbukti gagap menghadapi ancaman selain dari apa yang telah dialaminya. Manusia paham mengenai bahaya mematikan dari penyakit kanker atau tertabrak kendaraan.  Manusia sudah mengetahui akibat fatal dari keduanya. Otak manusia menurut Kinzer akan mengalami kesulitan mengatasi bahaya yang datang dari luar imajinasinya. 

Kompleksitas dan keistimewaan otak manusia menurut Kinzer tetap saja tidak mampu menghadapi ancaman baru yang justeru lebih berbahaya dan mematikan. Manusia mendefinisikan bahaya sama dengan yang dilakukan oleh suku-suku tradisional dan negara-bangsa selama berabad-abad yaitu ancaman dan agresi orang asing. Untuk menghadapi serangan dari luar, manusia membangun persenjataan baik untuk menyerang mau pun untuk bertahan. Hanya saja, serangan dari mikroba, bahaya perang nuklir dan perubahan iklim adalah tiga ancaman utama yang paling tak terbayangkan. Ironisnya manusia tetap saja menggunakan model tradisional untuk menghadapi dan menghindari ancaman-ancaman itu yakni kekuatan politik dan kronfontasi bersenjata. Sekiranya Amerika dan China mengeluarkan belanja negara dalam dua dekade terakhir untuk membenahi fasilitas kesehatan — sama dengan membiayai persenjataan — maka kemungkinan pandemi ini tidak akan terjadi.

Mengapa manusia terus menerus berkutat di wacana yang sama saat terjadi pandemi seperti apa yang disebut Prisilla Wald sebagai “outbreak narratives” atau dalam istilah Frank Snowden sebagai “dress rehearsal?” Mengapa selama rentang waktu ribuan tahun, manusia selalu kalah menghadapi serangan mikroba? Di mana kecerdasan sapiens sebagai species yang mampu bertahan menaklukkan alam selama ribuan tahun (antroposentris), membuat sistem sosial-budaya yang kompleks, menemukan teknologi canggih serta berambisi hidup selamanya (immortality) menyerupai sifat-sifat Tuhan (homo deus)?

Ambisi Homo Sapiens

Dalam bukunya Homo Deus (2017), Yuval Noah Harari dengan sangat meyakinkan mengeja kedigdayaan sapiens. Harari menegaskan bahwa sapiens telah menaklukka tiga hal yang membuat peradaban manusia terseok-seok selama ribuan tahun yaitu kelaparan, wabah penyakit dan peperangan. Penopang utama bagi sapiens sehingga menjadi spesies yang dominan menurut Harari adalah keunikannya untuk berimajinasi, membuat ceritera dan memberi pemaknaan. Kemampuan ini menjadikan manusia semakin kreatif dalam menemukan solusi saintifik terhadap permasalahan yang dihadapinya, sekaligus memberi keleluasaan bagi manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Memasuki abad ke-21, Harari mengajukan beberapa prediksi mengenai dahsyatnya inovasi sapiens. 

Pertama, manusia bercita-cita menyerupai sifat-sifat Tuhan. Manusia sedang mengejar keabadian (immortality). Berbeda dengan cara pandang agama-agama seperti Islam, Kristen dan Hindu tentang kematian sebagai  sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan, sapiens menempatkan kematian sebagai semata persoalan teknis. Sapiens mendefinisikan kematian sebagai fenomena berhentinya jantung berdetak karena tidak cukup suplai oksigen untuk memompa darah. Olehnya itu, keabadian adalah persoalan teknis saja. Berkat kemajuan ilmu kedokteran, penemuan obat-obatan dan vaksin serta fasilitas kesehatan yang lengkap manusia dapat hidup lebih lama. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan, pendapatan per kapita, angka harapan hidup manusia pun semakin panjang. Di masa depan, manusia dapat  hidup selama 150 tahun, 200 tahun bahkan mungkin 500 tahun. 

Kedua, munculnya kelas pekerja yang tidak relevan. Algoritma dan kecerdasan artifisial akan mengakibatkan disrupsi yang ekstrim bagi kelas pekerja. Saat ini tengah berlangsung transisi yang menyakitkan bagi jutaan tenaga kerja yang menjadi anak kandung revolusi industri. Mayoritas keahlian mereka menjadi tidak relevan karena algoritma dan kecerdasan artifisial telah menggantikannya. Toko-toko online (amazone, tokopedia, buka lapak, alibaba dll) telah mematikan bisnis swalayan dan berbagai macam bisnis retail. Transportasi berbasis online (grab, uber, gojek dll) mengambil alih transportasi umum yang dikelola secara konvensional. Jutaan pekerja terpaksa menganggur karena keahliannya menjadi tidak relevan lagi. Profesi seperti guru, pengacara bahkan dokter sekalipun akan menghadapi tantangan berat untuk tetap bertahan di masa depan. Melalui teknologi, jutaan orang bisa belajar dari rumah mengenai materi apa saja yang ingin mereka pelajari. Berbagai macam silabus dan kurikulum dilengkapi dengan panduan praktik lapangan tersedia di berbagai website. Tata cara merakit senjata dan membuat bahan peledak sekalipun dapat dipelajari secara online. Bagi mereka yang mengalami permasalahan hukum, panduan untuk mendapatkan nasihat dan pembelaan dengan dalil-dalil hukum aktual tersedia di berbagai website. Bagi mereka yang sakit tidak perlu antri berlama-lama di rumah sakit hanya untuk diperiksa oleh dokter spesialis dengan bayaran mahal. Perangkat teknologi berbasis telepon pintar dapat digunakan untuk mendeteksi semua gangguan kesehatan. Melalui teknologi biometrik, ganguan kesehatan dapat terdeteksi dilengkapi dengan rekomendasi pengobatan yang praktis.

Paradoks Homo Deus

Karena kecerdasan berimajinasi, berkelompok dan memberi pemaknaan terhadap fenomena di sekitarnya, sapiens menjadi satu-satunya spesies yang mampu bertahan dan mengubah ekologi dunia –sejak adanya makhluk hidup di bumi– sekitar 4 milyar tahun yang lalu. Sapiens berhasil mengubah aturan main bahkan berhasil menaklukkan ekosistem bumi selama 70.000 tahun. Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, mengapa manusia terseok-seok, gagap dan kebingungan bahkan beberapa kali hampir kalah menghadapi wabah yang disebabkan oleh mikroba, makhluk dan entitas yang tidak kasat mata?  

Setiap terjadi serangan mikroba terhadap manusia, respon yang dilakukannya relatif sama. Mulai dari wabah Antonine (165 M), Black Death (1347), Flu Spanyol (1918), Flu Asian (1957), Flu Burung (1997), MERS-COV (2012), Virus Ebola (2013) dan Covid-19 (2020). Cara manusia menghadapi serangan misterius ini hanya sebatas melakukan karantina (quarantine), jaga jarak (physical distancing), penyemprotan disinfektan, kebersihan dan pola hidup sehat dan pengawasan dan penutupan perbatasan (darat, laut dan udara). Tradisi karantina adalah warisan dari abad ke-14 saat terjadi wabah hitam. Karantina berasal dari bahasa Italia “quaranta giorni” atau empat puluh hari. Pada awalnya karantina diberlakukan bagi kapal-kapal kargo yang berasal dari pelabuhan yang terkena infeksi virus yang akan berlabuh di pelabuhan di Venesia. Kapal-kapal ini tidak diperbolehkan melakukan bongkar muat barang dan penumpang selama empat puluh hari. Sementara strategi jaga jarak, menghindari kerumunan, penyemprotan disinfektan dan pola hidup bersih dan sehat telah diadopsi sejak pandemi flu Spanyol di tahun 1918. Strategi isolasi dalam menghadapi pandemi bahkan telah diterapkan di zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. 

Melihat miskinnya kreatifitas manusia dalam menghadapi pandemi, maka kedigdayaan sapiens sebagai homo deus patut dipertanyakan. Sapiens sepanjang sejarahnya telah mempersaksikan kekalahannya berkali-kali melawan mikroba. Pertahanan manusia menghadapi serangan mikroba hanya mengandalkan dua hal; kekebalan tubuh dan nasib baik. Pada akhirnya, wabah ini berlalu bukan karena intervensi atau upaya yang dilakukan oleh manusia tetapi dari faktor-faktor yang tidak tampak (invisible). Inilah yang disebut antropolog Chrystos Lynteris sebagai “the problem of untimely ends”. Suatu peristiwa menggemparkan, membuat frustasi secara global dan berakhir secara tiba-tiba. Dokter dan Sejarawan Howard Markel melukiskannya: “I feel like quoting Yogi Berra, “It’s dejavu all over again”. Manusia benar-benar kekurangan “clio epidemiology”, yaitu pelajaran dari pandemi masa lalu yang dijadikan acuan untuk menghadapi pandemi yang akan datang atau sedang berlangsung. Kolumnis CNN, Jennifer Le Zotte menggambarkan bahwa dari pandemi ke pandemi terungkap budaya prilaku manusia berkutat seputar peran sentral pemerintah, perbedaan pandangan perihal kebebasan individu dan percaya kepada ilmu pengetahuan. Prilaku ini mengikuti pola yang sama setiap terjadi pandemi (recycle), seakan telah menjadi kebenaran sejarah. Manusia saling mengabaikan, saling mengingkari dan saling menyalahkan.  

Gambaran tentang perilaku berulang dari sapiens setiap menghadapi pandemi atau kejadian yang membuatnya putus harapan sebelum menghadapi kematian, digambarkan sangat apik oleh Elisabeth Kubler-Ross, psikiater blasteran Swiss-Amerika dalam bukunya On Death and Dying (1969). Kubler Ross memperkenalkan lima tahapan keluhan (five stages of grief); serangkaian respon emosi yang tidak linear yang dikenal dengan DABDA yaitu pengingkaran (denial), marah (anger), depresi (depression), tawar menawar (bargaining) dan kepasrahan (acceptance). Kelima tahapan respon emosi yang terulang setiap manusia ditimpa musibah atau bencana menggambarkan dengan sangat jelas bahwa sesungguhnya sapiens sangat jauh dari kualitas homo deus. Sapiens adalah spesies yang tidak stabil, arogan dan egois yang menganggap dirinya telah menjadi penakluk dunia, tetapi tak berdaya melawan mikroba.

Sapiens: Makhluk Lemah Pembuat Kerusakan

Jauh sebelum kajian-kajian psikologis tentang sifat dasar manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan tidak stabil, Alqur’an sangat jelas menggambarkan bahwa terdapat empat tabiat utama yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang sangat lemah. Pertama, tabiat mengeluh dan kikir. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.’ (QS. Al-Ma’arij:19). Disadari atau tidak, mengeluh adalah sifat dasar manusia yang timbul saat ia tertimpa musibah atau dalam kesempitan. Sedangkan kikir dalam hasa Arab disebut bakhil, secara detail diuraikan dalam QS. Al-Israa’:100. “…Dan adalah manusia itu sangat kikir.” Kedua, tabiat manusia lemah secara fisik dan lemah dalam melawan hawa nafsu buruk. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah…” (QS. Ar-Rum:54). Ketiga, manusia memiliki tabiat kezaliman dan kebodohan. “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan amat bodoh (QS. AL-Ahzab:72). Kezaliman dan kebodohan manusia dalam ayat di atas disebabkan karena rusak dan kotornya bumi, karena pertumpahan darah dan ulah manusia itu sendiri yang tidak merawat bumi dan seisinya sesuai ketentuan Allah. Keempat tabiat manusia adalah tidak adil. Berlaku adil adalah tindakan yang susah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kaum Madyan yang tidak berlaku adil, akhirnya diazab Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dan Syaib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dalam timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud:85). (Ina, Salma Febriani, 2012). Empat Karakter Manusia Dalam Alqur’an, Republika.co.id).

Berbagai catatan sejarah membuktikan betapa kekuasaan manusia atas bumi berimplikasi terhadap kerusakan yang sangat parah, bahkan kejatuhan peradaban yang tengah berada di puncak kejayaanya. Jared Diamond (2015) dalam bukunya “Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive” memaparkan dengan sangat detail runtuhnya peradaban dunia seperti suku Maya di Semenanjung Yucatan, Anazasi dan Cahokia di Amerika, Moche dan Tiwanaku di Amerika Selatan, Angkor Wat dan Harappan di lembah sungai Indus di Asia dan Pulau Easter di Samudera Pasifik. Diamond menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang menjadi penyumbang terbesar kejatuhan peradaban ini adalah kerusakan ekologis. Manusia secara serampangan mengekspoitasi sumber daya alam yang menjadi sandaran utama kehidupannya. Diamond menyebutnya sebagai bunuh diri ekologis (ecological suicide). Temuan ini terkonfirmasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh arkeologis, klimatologis, sejarawan, palaentologis, dan palynologis. Terdapat proses yang panjang dimana manusia melakukan pengrusakan ekologis melalui delapan kategori yaitu deforestasi dan kerusakan habitat, kerusakan tanah (erosi, salinisasi, dan hilangnya kesuburan tanah), kerusakan sumber air, perburuhan berlebihan, menangkap ikan berlebihan, pengenalan spesies baru terhadap spesies asli, pertumbuhan penduduk dan dampak peningkatan perkapita penduduk.

Diamond memprediksi bahwa beberapa dekade mendatang bunuh diri ekologis semakin parah dan akan mengalahkan ancaman perang nuklir atau munculnya berbagai penyakit yang akan mengancam peradaban dunia. Delapan ancaman ekologis di atas ditambah empat ancaman baru yang disebabkan oleh ulah manusia yaitu perubahan iklim, penggunaan zat kimia berlebihan, kelangkaan energi, dan pemanfaatan kapasitas fotosintetis bumi dapat memicu terjadinya kepunahan dan kejatuhan apokaliptik peradaban manusia moderen. Diamond akhirnya menegaskan bahwa skenario kejatuhan peradaban masa depan juga dapat terjadi akibat perang berkepanjangan karena perebutan sumber daya alam yang langka atau merebaknya wabah penyakit secara global. Semoga pandemi Covid-19 yang tengah berlangsung tidak menjadi pemicu jatuhnya peradaban yang mengarah ke punahnya manusia di muka bumi. 

Sapiens masih punya waktu untuk terus belajar mengubah kualitas dirinya dalam lintasan evolusi yang dilewatinya. Sapiens masih punya kesempatan untuk beranjak dari kodratnya yang lemah, zalim dan pembuat kerusakan menjadi sapiens yang pandai bersyukur. Sapiens masih punya waktu untuk saling berbagi dan hidup berkecukupan tanpa harus mengekploitasi alam tanpa batas. Sapiens tidak punya pilihan kecuali legowo menghentikan pertumpahan darah atas nama kekuasaan dan penaklukan. Tidak ada kata terlambat dalam belajar. Untuk menghindari kekalahan beruntun dari mikroba, dan menghindari kemungkinan dari kepunahan, sapiens tidak punya banyak pilihan. Ia harus bekerjasama lintas peradaban tanpa sekat kebangsaan, agama, etnisitas dan warna kulit. Kehadirannya di muka bumi harus memberi manfaat bagi seluruh alam serta berbuat adil bagi sesama.(*)




Referensi:

Dan Vergano, (2014). “1918 Flu Pandemic That Killed 50 Million Originated in China, Historian Say”, National Geographic. (api.nationalgeographic.com).

Harari, Yuval, Noah, (2015). “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow”, Penguin, Random House, UK.

Priyanto, Wibowo, dkk, 2009), “Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”, 2009, Departemen FIB UI-UNICEF Jakarta_Komnas FBPI

Juditha Wojcik dan Sebastian Vollmer, (2017). “The long-term consequences of the global influenza pandemic: A system analysis of 117 IPUMS international census data sets” Working Paper Series, Program on The Global Demography of Aging At Harvard University, 2017.

Howard, Phillips, (2014), “Influenza Pandemic,” International Encyclopedia of the First World War, last updated, 08 Oktober 2014. (encyclopedia.1914-1918-online.net/article/influenza_pandemic)

 J. Rufus Fears, (2004), “The plague under Marcus Aurelius and the decline and fall of the Roman Empire, Elsevier, Saunders, Inc, 2004).

DesOrmeaus, Louise, Anna, (2007), “The Black Death and its effect on fourteenth and fifteenth-century art”. Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College.

Ole J. Benedictow, (2005), “The Black Death: The Greatest Catastrophe Ever” 2005, “History Today, Volume 55 Issue 3 March, 2005”.

Charles River Editors, (2020). “The Antonine Plague: The History and Legacy of the Ancient Roman Empire’s Worst Pandemic, Published by Charles River Editor.

S, Scott, CJ. Duncan, (2005), “What caused the Black Death?”, Medical Journal: First Published as 10.1136/pgmj.2004.024075 on May 2005. Downloaded from http://pmj.com

Christopher Muscato, (2020). “The Antonine Plague: History, Start, Spread & Facts, Study.com

Bagikan:

Penulis →

Sawedi Muhammad

Esais, sosiolog, pengajar di Universitas Hasanuddin. Alumni Graduate Studies, Sociology & Anthropology, Ateneo de Manila University, Filipina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *