Sengaja kurahasiakan kepulanganku. Saya tidak mau orang-orang di kampung menyambutku penuh kemenangan yang membuat Ibu menceritakan ulang caranya mendidik anak dan Bapak akan memborong berbungkus rokok di warung Mak Sari untuk dihidangkan pada tetangga kemudian selanjutnya menjawab segala tanya.
Saya tidak mau itu semua terulang sebagaimana kepulanganku yang pertama 20 tahun yang lalu; mendadak rumah seramai pasar, orang mengantre menyentuh tanganku. Sebagian besar memelukku tak mau melepas. Seminggu, saban pagi saya sudah harus melayani banyak sekali pertanyaan yang membuatku lupa menziarahi makam kakek dan nenekku. Apa boleh buat, nisan mereka hanya saya tatap di balik kaca jendela mobil kala harus kembali lagi ke kota.
Kali ini, saya tidak mau itu terjadi. Kupikir orang-orang di kampung sudah mengenalku sebagai orang yang sukses di rantau. Jadi, mereka tak punya lagi alasan datang menemuiku mengucap selamat dan mengharap derma. Semuanya telah saya sisihkan melalui koperasi yang dikelola bapak sebagai aktivitasnya setelah pensiun. Bapak dulunya seorang guru agama di sekolah dasar satu-satunya di kampung kami.
Saya masih ingat, Bapak akan membangunkanku sebelum suara azan Haji Sattar membangunkan seisi kampung melalui pengeras suara di surau. Itu terjadi bila musim kemarau. Dua gentong di dapur sudah harus penuh sebelum menunaikan salat subuh. Setelahnya, kami kembali bergegas ke sumur Wa Lau, seorang tua yang membangun rumah seorang diri di tengah persawahan warga. Hanya dia yang tinggal di sana, terpisah dari keramaian. Tetapi, saban sore rumahnya selalu ramai dikunjungi warga yang hendak mengambil air. Wa Lau, hanya mengizinkan menimba air di sumurnya sebelum subuh dan sore hari. Jangan harap ia akan membuka pintu pagarnya bila matahari sudah muncul. Tidak ada yang berani membongkar pintu yang terbuat dari bambu itu. Aturan ini berlaku pula untuk kepala desa yang pernah menegurnya. Wa Lau bergeming dan mendamprat ulang. Wa Lau melempari ludah dari atas rumahnya. Kejadian itu terus dikenang oleh kepala desa. Ia malu karena menjadi bahan gunjingan sekaligus bahan humor di setiap obrolan warga yang mengenang peristiwa tersebut.
Sebelum kampung terang, saya sudah siap dengan balutan seragam, siap ke sekolah bersama Bapak. Kami hanya berjalan kaki melewati jalan tanpa aspal, retakan tanah terlihat jelas sebagai bukti perkasanya kemarau. Sebaliknya, di musim penghujan, jalan itu serupa sungai. Menjadi jalur air mencari titik rendah. Di sanalah, saya dan teman sebaya bermain mengadu kulit jantung pisang sebagai perahu mainan. Kami terus mengikutinya hingga berakhir di depan rumah Wa Lau.
***
Guna menjaga rahasia, saya mengutus salah satu asisten ke rumah. Menyampaikan kepada Ibu dan Bapak perihal kedatanganku kali ini. Semuanya perlu ditempuh karena di kampung belum ada jaringan telepon. Melalui asisten itu, saya membekalinya foto dan sepucuk surat yang menjelaskan maksud kedatanganku. Foto itu tentu saja sebagai penjelas agar asisten saya itu dapat dipercayai orang di rumah.
Metode itu berhasil, di malam buta, ketika warga pada lelap di rumahnya, saya sudah berhasil menjumpai Bapak dan Ibuku. Mereka sudah semakin menua. Pelukanku sepertinya tak mau lepas di tubuh mereka. Malam ini saya tuntaskan rindu dengan tidur di samping Ibu.
Kepulanganku kali ini, saya tidak membawa mobil. Sengaja kutinggal di kota bersama asisten yang menyewa kamar di salah satu hotel. Setelah diantar di pintu masuk jalur ke kampung, saya menggunakan ojek. Jasa ini mulai marak sejak dealer memberlakukan pinjaman lunak bagi masyarakat.
Penyamaranku berhasil. Herman tak mengenaliku ketika saya duduk di belakangnya. Dia teman sekolahku dulu di sekolah dasar. Usia kami terpaut empat tahun. Saya akrab dengannya saat kelas tiga. Rupanya sudah empat tahun ia mendekam di sana karena gagal naik kelas. Teman seangkatannya sudah pada kelas satu SMP dan dia masih perlu belajar berhitung. Beruntunglah, kepala sekolah dan guru-guru di sekolah tak lagi membiarkannya menutup usia di sekolah dasar. Hingga akhirnya kami sama-sama menamatkan pendidikan dasar. Setelahnya, ia menolak bersekolah lagi.
Rupanya, ia sudah berkeluarga. Ia peristrikan seorang perempuan dari kampung sebelah. Kini, ia sudah punya rumah dan dua orang anak. Dia kaget kala saya menepuk pundaknya untuk berhenti di depan rumah Haji Bahri.
“Anda mau bertemu Haji Bahri, Pak?”
Saya tidak menjawab dan menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah.
“Maaf, saya tidak punya kembalian, Pak,” katanya lagi.
Saya masih diam, lalu membuka syal yang menutup sebagian wajahku. Rupanya ia masih belum mengenalku. Setelah topi saya lepas, barulah ia menyunggingkan senyum. Memarkir sepeda motornya lalu kami melepas kangen. Berkali-kali ia memukul pundak saya dan mengulang kalimat: kau hebat, sudah jadi orang sukses.
Agak lama kami duduk di bale bambu di depan Bapak. Mungkin kami telah menyulut tiga batang rokok sebelum saya memintanya pulang dan tak lupa menitipkan pesan agar menjaga rahasia kedatangan saya. Awalnya ia kaget dan menolak, tetapi luluh juga setelah kujelaskan kalau dia boleh menjemputku di malam hari untuk menjumpai teman-teman di pos ronda. Hanya di waktu malam saja, saya tidak mau muncul di siang hari.
Rumah ini tak berubah, dindingnya masih sama ketika saya masih sekolah dasar. Bapak tidak mau menggantinya walau sudah kuyakinkan kalau saya bisa membangunkan rumah yang baru. Ibu berpendapat sama. “Buat apa, kau tidak memiliki saudara. Tidak ada warisan yang perlu dipersiapkan,” demikian Bapak pernah berujar.
Di kepulanganku yang kedua, 15 tahun lalu. Bapak dan Ibu tak banyak mengajukan tanya mengenai pekerjaan yang kulakoni di kota. Bila kuingat-ingat, sejak Bapak menitipkanku pada Paman Gaffar, adiknya yang membangun usaha warung kopi di kota. Beliau juga tak pernah banyak menuntut menyangkut prestasi sekolahku sejak SMP hingga saya tamat SMA. Keduanya sekadar menuntut keberadaanku yang tak kekurangan apa pun. Bahkan, ketika saya memutuskan untuk kuliah setahun setelah tamat SMA, kedunya juga tidak keberatan. Untuk hal itu, mulanya saya menduga kalau beliau tidak bisa lagi menyiapkan biaya. Bapak sudah pensiun dan uang pensiunnya tidaklah seberapa. Cukup untuk makan saja karena Bapak tidak menggarap sawah.
Bila ada yang bertanya pada Bapak, cukup ia menjawab kalau Hadri merupakan pengusaha, berjualan apa saja. Dan, orang-orang akan mengangguk memercayai. Itu yang kudengar di kepulanganku yang pertama ketika Bapak sibuk meladeni warga dan Ibuku tak kala sibuk di dapur menyiapkan menu untuk tetamu.
Bapak sepakat saja ketika kutawari untuk memimpin koperasi di kepulanganku yang ketiga, 10 tahun yang lalu. Saya jelaskan kalau koperasi itu merupakan ruang bagi warga yang hendak meminjam modal guna membangun usaha. Metode ini memungkinkan warga agar memiliki kemandirian dan tidak selalu meminta derma bila saya pulang. Jadi, dana bisa bermanfaat dan bergulir untuk warga. Kepala desa saat itu merasa terbantukan dengan ide yang kutawarkan. Belakangan, saya ketahui kalau pak desa turut meminjam dana yang kemudian digunakan membangun saluran pipa dari sumur Wa Lau. Tujuannya, agar warga tak perlu lagi berjalan jauh melintasi pematang menuju rumah Wa Lau di musim kemarau.
Semula sulit kupercaya, saya tahu siapa Wa Lau. Lelaki tua yang tak pernah saya tatap wajahnya. Ia selalu berada di atas rumah panggungnya. Sewaktu kecil, saya menganggapnya sebangsa malaikat atau iblis. Makhluk Tuhan yang tidak membutuhkan makanan. Ibukulah yang meyakinkan kalau Wa Lau adalah manusia sebagaimana umumnya. Butuh makan dan minum. Setiap pagi, kemanakannyalah yang membawakan makanan untuknya. Katanya, Wa Lau memilih menyepi ke tengah sawah setelah mengidap penyakit gula yang mengakibatkannya lumpuh.
Kena damprat darinya bukan hanya sekali, seingat saya. Bapak juga pernah dilarang mengambil air terlalu banyak. Aturan yang diterapkan Wa Lau, bukan hanya waktu-waktu tertentu, tetapi juga jumlah ember yang boleh dibawa. Meski gelap, rupanya ia selalu awas dari jendela mengintai warga di pekat subuh. Aturan itu berlaku bagi siapa saja, termasuk kemanakannya.
Jadi, saya tidak begitu yakin kalau Pak desa mampu meluluhkan wataknya. Namun, saya harus memercayainya juga. Di kepulanganku yang kedua, 5 tahun lalu. Kulihat bak besar berdiri di depan rumah Pak desa yang dilengkapi dua keran air. Di sanalah warga mengantre sepanjang hari di musim kemarau. Belakangan kuketahui kalau Wa Lau telah wafat, rumahnya sengaja tidak dibongkar, malah dipasangi listrik sebagai sumber tenaga yang mengalirkan daya ke mesin pompa air agar mampu menyedot air dari sumur dan selanjutnya mengalir ke bak. Sayang, itu tidak berjalan lama. Kata Bapak, hanya bertahan semusim saja. Selanjutnya, muncullah petaka, sebab sumur peninggalan Wa Lau benar-benar telah kering. Jadilah warga membeli air di musim kemarau pada seorang pedagang air dari kampung jauh di kaki bukit. Parahnya, warga harus membagi rata, karena pedagang itu hanya mampu menampung 20 jergen ukuran 20 liter di dokarnya sekali jalan setiap hari.
***
Kini, di kepulanganku yang keenam. Genaplah 25 tahun saya merantau, itu terhitung sejak kuputuskan kuliah, saya tidak mencampurnya dengan tapak masa SMP dan SMA. Sejak itu, saya balik ke kampung sekali dalam lima tahun. Pagi pertama di kepulanganku keenam ini, saya menemukan guling Bapak di sampingku. Adakah semalam ia bertukar dengan Ibu tidur di sampingku. Entahlah, pagi ini saya menemukan diriku di masa kecil. Menunggu ibu menghidangkan secangkir kopi dan sepiring nasi dingin sisa santapan semalam. Tidak seperti pagi di kepulanganku yang pertama. Namun, itu tidak mengapa, sebagai bentuk kebahagiaan warga menyambut perantau yang dianggapnya sukses.
Di dapur, Ibu masih menggunakan kayu bakar bila menjerang air. Kompor gas yang kubelikan dari kota di kepulangaku yang pertama tak kelihatan. Padahal, Ibu sudah pandai menggunakannya. Kala kutanya, Ibu lebih senang menggunakan kayu bakar ketimbang memutar pemantik api kompor itu.
Bapak semakin tua, pagi ini saya memintanya bercerita tentang koperasi. Dijawabnya, kalau ada baiknya ditutup saja dan memintaku lebih baik langsung menyumbangkan uang ke masjid atau ke panti asuhan bila ada rezeki. Gelagatnya menghendaki agar saya tidak banyak bertanya. Kepulan rokok kreteknya seketika bercampur dengan asap dari tungku.
“Koperasi itu hanya membuat warga semakin marah pada Pak desa, kalau saja bukan Bapakmu, mungkin Pak desa sudah digantung,” ucap Ibu kemudian.
“Sudahlah, tidak perlu kau ceritakan itu,” Bapak mencegat.
“Saya belum mengerti apa yang terjadi,”
“Ada baiknya, kau segera saja ke kota, jangan kira Pak desa tidak mengetahui kedatanganmu,” ucap Bapak lagi.
“Tetapi, tidakkah Bapak dan Ibu melihatku di sini dan bertanya lebih jauh tentang pekerjaanku di kota tanpa perlu meladeni warga yang datang. Sekaranglah saatnya kita memiliki waktu bersama.”
“Bapak percaya, nak, kau tidak akan membuat kami malu. Pak desalah yang membuat kami malu.”
“Saya semakin tidak paham.”
“Setelah kau mandi dan meminum kopi buatan Ibumu. Pergilah, pintu itu bukan hanya untuk kedatangan, tetapi disiapkan juga sebagai jalan keberangkatan,”
“Bapak mengusirku?”
“Tidak, nak, pergilah. Dengarlah kata Bapakmu,” kali ini Ibuku bangkit dan berdiri di sampingku.
“Saya akan pergi, jika Bapak dan Ibu menjelaskan alasan yang bisa kuterima.”
Bapak memelukku. Sangat erat.
“Kau harus tahu, Pak desalah yang membunuh Wa Lau, agar ia punya alasan meminjam uang di koperasi membangun saluran air karena anggaran dana desa tidak cukup. Polisi sudah mengetahui itu, Pak desa kini sudah dipenjara. Tetapi, dalam keterangannya yang saya peroleh dari Polisi, namamu disebut. Katanya, kau bekerja sama dengan pak desa untuk menyingkirkan Wa Lau.”
Ibu berbalik dan Bapak melepas pelukannya, “Pergilah! Jangan kembali lagi!”
***