Wabah telah dongeng. Di buku-buku sejarah, wabah itu dicantumkan dan terbaca, dari masa ke masa. Wabah pun tuturan bakal terdengar dengan sekian imbuhan atau pengurangan. Wabah demi wabah digubah oleh para pengarang menjadi cerita atau puisi. Di hadapan sastra, wabah tak cuma imajinasi. Pada teks-teks sastra, kita perlahan mengerti dan mengingat wabah itu mematikan tapi menggerakkan tanda seru minta terjawab umat manusia.
Pada hari-hari buruk memberi setumpuk takut dan duka, kita kangen dongeng-dongeng “menghibur” dan membahagiakan. Kangen atas imajinasi mengembara ke negeri-negeri jauh, mengagumi tokoh-tokoh ampuh, dan memanen pujian-pujian atas segala peristiwa. Dongeng tak berada jauh di masa lalu. Dongeng-dongeng masih bersama kita setiap hari tapi “terlelap” berbarengan nafsu memberi tatapan ke gawai di kisruh berita atau pameran pendapat mengakibatkan perkelahian. Kesibukan-kesibukan baru tak senikmat persinggahan dan pengelanaan di dongeng-dongeng. Kita merindu dongeng sejak dunia murung. Umat manusia sedang menanggungkan duka belum selesai.
Kita kangen dongeng. Singgah dulu ke novel berjudul Harun dan Samudra Dongeng (2011) gubahan Salman Rushdie. Kota-kota di suatu negeri sedang merana dihuni orang-orang bersikap berlawanan. Di mata para penggemar, pendongeng keliling itu dijuluki “Sang Samudra Khayal”. Musuh-musuh pendongeng memberi julukan “Raja Omong Kosong”. Orang-orang mengerti menjalani hidup tak keruan. Dongeng “terlalu” diperlukan tapi kandungan-kandungan hikmah dipertengkarkan berpamrih hiburan, politik, duit, etika, religiositas, keluarga, dan lain-lain. Pendongeng di keputusan-keputusan sulit meski selalu sibuk mengarang dan mendongeng, hari demi hari.
Harun, putra si pendongeng, memiliki dilema sulit terjawab. Ia memberi sangkalan faedah dongeng tapi selalu terpukau pada dongeng-dongeng bapak. Ia mengakui bapak memiliki dongeng berlimpahan dan beragam: “berselang-seling membingungkan tanpa pernah saling tertukar dan tak pernah membuat kesalahan sekali pun.” Bapak memang pendongeng sakti. Si pendongeng seperti menerima takdir mendongeng atau menghasilkan cerita seumur hidup, memiliki sumber dan mempersembahkan dongeng-dongeng di ribuan hari. Dongeng tak pernah mengering. Dongeng mustahil tamat bila menilik samudra terus berombak dan berlimpahan air.
Di sejarah peradaban manusia, dongeng memberi misi-misi mengubah tatanan hidup di titian waktu. Dongeng dimaksudkan acuan kemujaraban kaidah-kaidah hidup. Pada episode bencana dan petaka, dongeng-dongeng adalah peringatan atas kebiadaban, kebodohan, dan kepongahan manusia. Dongeng-dongeng bergerak di ruang-ruang magis, politis, ekologis, dan etis. Para leluhur menghidupi keturunan (anak-cucu) tak melulu dengan makanan dan minuman. Dongeng menjadi santapan “menolak” fana. Salman Rushdie memberi sindiran: “Ketika lapar, mereka akan menelan cerita melalui semua mulut, dan dalam isi perut mereka keajaiban terjadi. Sebagian dari satu cerita bergabung dengan gagasan dari cerita lain dan ketika mereka memuntahkan kisah itu keluar, kisah-kisah itu tak lagi serupa cerita lama, tapi suatu cerita baru.” Perjalanan dongeng tak ada ujung.
Dongeng di suatu negeri di alur waktu sering menjadi dongeng milik dunia. Dongeng-dongeng itu bersebaran selama ratusan atau ribuan tahun turut membentuk panggilan ke kodrat-kodrat peradaban kuno dan modern. Orang-orang di pelbagai negeri memiliki dongeng-dongeng semula bersemi di Yunani, Arab, India, Persia, Tiongkok, dan lain-lain. Di Indonesia, dongeng-dongeng bertumbuh di ribuan pulau dan “menghasilkan” dongeng-dongeng di perjumpaan peradaban-peradaban jauh berdatangan, dari zaman ke zaman. Arus dongeng di alur tak putus. Kita berhak menjadi ahli waris dongeng dari seribu negeri.
Dongeng-dongeng bersebaran di pelbagai negeri itu dinamai Kisah Seribu Satu Malam. Husain Hadawy (1993) mengingatkan: “Begitulah kain kehidupan diubah menjadi siratan benang roman (dongeng) ketika kisah-kisah ini dirajut selama berabad-abad di tengah pertemuan-pertemuan keluarga, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, dan kedai-kedai kopi di Baghdad, Damaskus, atau Kairo. Setiap orang menyukainya sebab dia berhasil memikat orang-orang tua maupun muda dengan pesona kisahnya.” Dongeng-dongeng berusia tua, menampik lapuk, runtuh, atau punah. Para leluhur atau umat dongeng masa lalu seperti memiliki rumus mujarab di pengawetan dongeng-dongeng dan meramalkan dongeng-dongeng melintasi benua atau lautan.
Keampuhan dongeng lama sering merangsang kemunculan para pengarang ampuh. Dongeng-dongeng memberi panggilan di gubahan sastra modern memuncak sebagai sastra dunia atau meraih Nobel Sastra. Orhan Pamuk, Gabriel Garcia Marques, Jorge Luis Borges, Mo Yan, Octavio Paz, Mark Twain, Charles Dickens, dan lain-lain memiliki ikatan ke dongeng-dongeng lama berupa tuturan atau edisi cetak. Para pendahulu memberi warisan-warisan terdengar dan terbaca sepanjang masa. Kita menjadi ahli waris bunga rampai dongeng dari pelbagai negeri. Kita pun memiliki sumber-sumber di pulau-pulau sebagai “tanah subur cerita”. Keberlimpahan dongeng tak memastikan kita membuat album ingatan atau menggerakkan dongeng di kehidupan keseharian. Kita sering terbujuk meremehkan dongeng-dongeng lawas berdalih pikat-pikat baru di keajaiban teknologi.
Kita menilik cuilan biografi Hilmar Farid dimuat di buku berjudul Berkah Kehidupan (2011) disunting Baskara T Wardaya. Pengisahan diri, orangtua, dan buku. “Ayah saya adalah Agus Setiadi. Ia dikenal oleh anak Indonesia melalui penerjemahan seperti Lima Sekawan,” tulis Hilmar Farid. Pengasuhan dengan buku-buku cerita dunia memberi pengaruh besar, membentuk diri gandrung berpikir dan berimajinasi. Hilmar Farid kadang diajak bapak turut dalam menerjemahkan buku cerita anak dan mengetik. Hikmah diperoleh Hilmar Farid: “Sekolah untuk sementara saya lupakan dan saya semakin tenggelam dalam dunia buku. Saya suka buku sejak kecil. Ketika kembali ke Indonesia seluruh waktu perjalanan saya isi dengan membaca dua buku Enid Blyton.” Ia memang dibesarkan di Eropa, sebelum kembali ke Indonesia.
Bapak memberi teladan dan pengaruh besar. Di ingatan Hilmar Farid, bapak “pandai bercerita dan sangat meyakinkan”. Pengaruh terbesar ke Hilmar Farid adalah “soal bahasa dan kerja dengan kata.” Kita pun memiliki biografi-biografi berkaitan dongeng dan peran orangtua. Di keluarga, kehadiran pendongeng atau buku-buku cerita memungkinkan pembentukan identitas. Pematangan dalam perkara berpikir dan berimajinasi dengan pengantar dongeng-dongeng bakal meluweskan sikap hidup ketimbang ditimbuni ilmu-ilmu wajib dipelajari di sekolah selama belasan tahun.
Pada abad XXI, dongeng-dongeng belum punah meski berasal dari ribuan tahun lalu. Dongeng-dongeng baru bermunculan dengan garapan teknologi menawan. Kita selalu kaget dan terpukau menikmati dongeng-dongeng baru tersaji di buku, film, atau pentas. Misi-misi besar dimuat dongeng-dongeng baru berkaitan nasib Bumi, kemanusiaan, religiositas, atau etika global. Dongeng bertema besar kadang memberi beban-beban tafsir. Kerja tafsir saat kita di situasi tergesa dan patokan hidup adalah kecepatan.
Kita teringat penjelasan Naguib Mahfoudz, pengarang legendaris di Mesir, dalam pidato penerimaan Nobel Sastra (1988). Ia mengaku: “Itulah takdir saya… dilahirkan dalam pangkuan dua peradaban untuk menyerap air susunya, melahap kesusastraan, dan kesenian mereka. Lalu, saya meminum nektar dari peradaban (Eropa) yang kaya dan memesona.” Pengarang kondang itu menerima warisan-warisan dongeng dari pelbagai negeri. Kita pun berhak mengaku ahli waris dongeng dunia meski tak menerima takdir sebagai pendongeng ulung di tulisan-tulisan terbaca atau telingan-telingan ingin ketakjuban sepanjang masa. Begitu.