Laut Yang Melukis Kita
Akhirnya kudatangi lagi pantai ini:
di mana kita pernah mengarsir nama
di luas butir-butir pasirnya: waktu adalah ombak
yang menyapu setiap jejak menjadi buih-buih
yang kita titi dengan hati-hati dan tertatih.
Akhirnya kupandang lagi laut ini:
di mana muasal birunya pernah saling kita debatkan
—dari langit yang tinggi itu ataukah matamu yang dalam—apa bedanya?
Bagi jangkauanku yang terlampau pendek,
keduanya toh sama belaka:
tak sampai kucapai,
tak saguh kusentuh.
Akhirnya kuhidu lagi udara beraroma garam ini:
di mana desaunya pernah mencipta riak-riak kecil
pada ombak rambutmu, rinduku tertaut di kusut kasaunya.
Laut adalah imaji yang melukis kita di sebidang puisi:
kau boleh jadi bangkai perahu
yang telah lapuk dipiuh waktu.
Tetapi aku tambang, yang mengikat kencang cinta
pada hati setugur pancang.
2020
Jadikan Aku Penyair yang Kau Cinta
: Adilah Pratiwi
“Tak segala yang ada pada bola matamu,
dapat ditampung kata-kataku, Adila. maka pejamkan matamu,
biarkanlah puisi itu kutulis dengan dawat kecupku!”
kataku dahulu, di suatu sore yang langitnya tersusun dari jingga senja,
yang sempat kuduga sebagai rona rindu kita.
Pernah suatu kali kusampaikan pula padamu,
di suatu malam yang langitnya terjalin dari gugus gemintang,
yang pernah kuduga sebagai kilau cinta kita.
“Hidup ini makin menyerupai labirin, Adila.
setiap jalur-jalur berkelok di dalamnya
mengantarku ke ruang-ruang yang setiap sudut dindingnya,
terpajang berbingkai senyummu!”
Tetapi begitulah kau, tak mau percaya kata-kata
dari mulut siapa saja yang kau anggap sebagai penyair.
“Tapi aku bukan penyair, Adila! Belum bisa disebut penyair.
Aku hanyalah pesakitan yang kerap menulis derita,
lewat deret derit kata-kata.”
Derita itu, kau tahu? ditanam oleh rindu,
sekian waktu sudah ia terpendam di gembur dadaku.
Dengan deras jarak, ia disiram.
Dengan rentang waktu, ia dipupuk.
Ia tumbuh jadi sebatang pohon,
akarnya jadi umbi yang tambun,
makanan pokokku sehari-hari.
Kemari, o, kemarilah, Adilaku!
Jangan biarkan rindu ini terus membuatku jadi pesakitan
yang hanya gemar menulis derita
lewat sederet derit kata-kata.
Kemari, o, kemarilah, Adilaku!
Jadikan aku penyair yang kau cinta,
walau masih sukar kau percaya
kata-katanya.
2020
Jika Cinta Adalah Perjalanan Hidup
Apa yang lebih gemar kita ulang-ulang saban hari,
selain percakapan-percakapan
tentang pertemuan tak sengaja
dan cinta yang jatuh seketika itu juga,
bagai serbuk sari pada suatu putik bunga
yang membuahkan rindu,
tak kenal jemu kita petik setiap waktu.
Apa yang lebih senang kita perbincangkan kembali
selain hari-hari yang t’lah lewat
dan tercatat di masing-masing ingatan kita
sebagai sebuah sejarah
di mana kenangan-kenangan istirah.
Sayangku, jika cinta adalah bagian dari perjalanan hidup,
bolehkah kujalani seluruh bagian hidupku
untuk sepenuhnya mencintaimu?
2020
Setangkup Selimut dan Setungku Api
Aku tubuh yang pernah terbelah dan tercacah.
Sebelum kau datang lalu menjadi mukjizat;
menjadikan bagian yang semula lepas
kembali rekat dan terikat.
Aku gigil tubuh dan gemeretakan gigi
Di malam-malam musim kemarau menuju pagi.
Sebelum kau datang dan hampiri;
menjadi setangkup selimut dan setungku api
2019
Setiap Kali Diretas Jarak
Setiap kali namamu kusebut,
aku jasad mati yang kembali
kau beri denyut.
Setiap kali mata kita bersipandang,
degup jantungku luka kecil
yang tiba-tiba meradang.
Setiap kali aku kau sentuh,
aku tegak tubuh
yang mendadak lumpuh.
Setiap kali kita diretas jarak,
tubuhku retak dan menyusun kembali
dirinya menjadi sajak.
2019
Pukul 03.00 Pagi
Melihat trotoar basah berkilauan
dibasuh hujan dan lampu jalan,
ia kepikiran juntai rambut kekasih
yang berkilauan disepuh matahari
di siang bolong.
Bersama kopi yang tinggal ampas
dan sepi tak kunjung tandas,
sebuah puisi belum selesai
harap-harap cemas
pada penyair
yang matanya merah berair
Pukul 03.00 pagi,
dingin kepalkan tangan
meninju pertahanan tubuhnya
yang rapuh
tanpa pelukan.
2019