Mengeja Diri dalam Cuaca Dingin





Luka Musim

Di bukit-bukit yang sekarat
Syahdu terdengar jerit burung-burung  
Berkabar cerita dan hikayat kematian
Bau abu menghapus jejak di jalan-jalan
di mana ranting patah tergeletak penuh luka

Tiada kukenal lembah hijau
Kelopak mawar yang gugur perlahan
Mengeja diri dalam cuaca dingin
Di waktu yang hampir habis
Ketika kita bahkan tak lagi
Mengenal cahaya matahari
Langit yang selapang jiwa
orang-orang yang tulus mencintai
dan cuaca yang mulai lelah
melerai hal-hal buruk
satu demi satu

2020 




Rembulan Di Atas Bukit

Di tempat ini
Hanya suaraku yang tak kau dengar
Tetapi doaku sunyi yang mengalir
Melewati dingin cuaca
Dan tiba kepadamu

Kadang-kadang,
Saat itu gerimis sedang jatuh
Suaranya mengalahkan denyut nadi
atau malam yang sangat sunyi
Sementara hatiku berdiam diri
mengunjungi pintu-pintu langit
bertabur gemintang

Di tempat ini
Hanya suaraku yang tak kau dengar
Tetapi cintaku terus merekah
Bersemu merah memenuhi udara
Melangkahi takdir yang kau lupakan

Tetap saja
Senyummu tak habis-habisnya
Memunggungi rembulan di atas bukit

2020




Memandang Senja

Mungkin telah habis kata-kataku
Atau puisiku hanya sampai di sini
Tak bisa lagi kutulis apa-apa
Dari seluruh pikiranku
Maka kudengar saja gelegar tasbih burung-burung
beradu salak lolongan anjing
dari sebuah kebun kopi

Oi, siapakah gerangan yang membawa pergi
baris-baris kalimat di ujung gerimis
di tengah halimun yang kian utuh mendekat
menutup remang cahaya lampu-lampu jalan
menepi tak kutemui
meski kucari sampai ke ujung kuku

Sia-sia saja kutunggu sepotong bulan
muncul dari balik atap rumbia
sebuah rumah tua di kaki bukit
sementara yang tersisa hanyalah nestapa
di tengah laju detak jam  
yang menambah buih-buih minumanku

2020




Graviti Malam

Cuaca dingin menetes
Menggambar biru langit
Bintang malam
dan bisu alam
di atas bayang-bayang pohon
yang hanya nampak pucuk-pucuknya

Begitu banyak yang terkenang
Mengetuk dinding hati
Mendadak gigil
tergerus sampai ke tulang-tulang

Syahdu sembahyang tergelar lapang
Mengetuk pintu langit
Pecah dzikir ke relung sunyi
yang mendengar tabah
Ketika nafas tidur menciumi mimpi-mimpi
dalam tidur panjang mereka

Dari jauh suara hujan berdesak-desakan
hendak tiba
Lalu kupikirkan sekali lagi
Barangkali tiada seorang pun yang terjaga
oleh riuh angin di luar jendela

2020




Merayakan Hari Tua

: Kepada seorang ibu

Jangan tanya lagi
“Apa aku tidak kesepian?”
Sedang aku telah lebih dahulu menjadi penari
tua yang datang ke tubuhku sendiri
Merayakan sisa hidup
Tanpa gelisah yang harus tumbuh di mana-mana
Sebab aku cuma butuh gula pasir
untuk cangkir-cangkir tehku
dan semangkuk ikan untuk laukku
di meja makam

Selalu kupandang sunyi dengan takjub
Menemukan tangan-tangan Tuhan
menumbuhkan cahaya
sehingga malam-malam bukanlah
kelam yang harus kucemaskan

Seluruh kenangan
Nyeri dan perih
Telah jatuh ke sumur tua
Tempat cintaku lebur sampai ke dasar
Terkubur musim dan gerak langit
Kehampaan menjadi hal
yang tiada lagi terasa

Kenang saja dukaku
Ketika tiba-tiba aku pun tiada
Maka jasadku tak menyimpan air mata
Lewat air susu yang telah terenggut habis
di jejak kaki seluruh darah dagingku
ke tanah ikut terkubur
ke langit merangkak melalui
pangkal doa-doa

Tak mengapa menjadi tua
dalam kesendirian
Memandang haru dari sisi jendela tua
yang pelan turut meninggalkan jejak usia
Menyimpan ingatan panjang ranjang tua
yang masih menyimpan bau air kencing
pada kain-kain popok anak-anakku

2020




Kabut Manakarra

Seluruh pepohonan berlari ke dadaku
Segelintir senyummu
Menggelayut di bukit-bukit terjal
Menyapu pekatnya udara
Di jalan-jalan yang tiada letihnya
Mengirimiku suara dan nafasmu

Cahaya lampu bermekaran
Suara kota tenggelam dalam auman
ombak dan syair hujan
Aku menemukanmu
Dalam pelukan angin dingin
Terasa kehangatan jauh
dari genggam jari-jarimu
dan aku hilang dalam lingkaran
sejarah yang lahir dari rahim
tak kukenal

Semakin jauh
Menyeretku melalui garis waktu
Seperti hendak melarikan diri
Di bawah perjalanan burung-burung
Di atas runcing batu-batu karang

2020




Montana

Menjauh dari kelam gelombang rambutmu
Mengubur ingatan akan siapa sesungguhnya
Yang lebih dahulu menciptakan luka dan cinta
Ketika fajar dan musim dingin
tak punya banyak kata bijak
untuk dikatakan berulang dari lembut kasih
yang tertinggal di dada

Telah kuucap selamat tinggal
di telinga orang-orang
yang menyimpan langit purba
Kehendak melupakan siluet wajah
Dari keping-keping mimpi
Yang tiba senyata bidang padat
Mampu tersentuh ujung jemari
dan selalu kusaksikan
hangat mata adalah pelukan yang lebih manis
dari apapun

Seluruh jawaban membakar tubuhku sekali lagi
Seperti gerah dari kobar nyala api
Ketika buku kembali terbuka
Tahun-tahun yang mendekatkan
kata cinta yang keluar dari
mekarnya bunga-bunga
dan luruh daun-daun tua

Rumput hijau
Akan seterusnya menyimpan kenangan
di sulur akar-akarnya
Sampai mengering
Lalu mati
Luruh ke tanah
Di jalan-jalan yang lebih ramai dari isi kepala
Menjadi rahasia yang saling berbisik

2020



Kapan Terakhir Kali Kita Berbincang dalam Telfon?

Kuhafalkan namamu
Jendela biru dan langit kelabu

Ranting pohon sedang gelisah
menunggu cahaya purnama
yang sangat dikenalnya

Lampu-lampu yang kesepian
menyimpan segala percakapan dan kata-kata
yang hendak melepaskan diri dari keyakinan

Seperti menemukan cinta
Diantara tumpukan sampah plastik
dan kertas-kertas sisa
memasrahkan diri pada segala kehendak
yang akan membawanya menemukan
kenyataan paling menyedihkan

Kelak
Kita tak perlu saling bertanya kabar
Sebab segala sesuatu mampu kita baca
dalam bingkai dinding kaca
yang bercerita ribuan kisah

2020




Batas Kota

Gerimis belum juga selesai
Dan kecanggunan kita
Seperti halnya sejarah yang kelam itu
Membuntuti rona pipimu
Yang tak juga menciptakan hujan
Atau gelegar yang membangunkan
pejam mata

Namun pada cintaku
Malam-malam selalu terjaga
Seperti dongeng Marsinah yang hidup
berputar di arloji merah tangan kiriku
Seperti teriakan para buruh pabrik
yang turun ke jalan
berkoar di atas trotoar

2020




Bagikan:

Penulis →

Lula Arimbi

Penikmat sastra dari komunitas buku carabaca Makassar. Lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan. Menulis Cerpen dan puisi. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Lombok Post, Fajar, Go Cakrawala, Sastra Sumbar dan Florest Sastra.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *