“Ayahku sebatang pohon mangga dan tumbuhan anggrek adalah ibuku,” demikian kata-kata yang berlompatan dari mulutku mendadak menjadi bibit asap pekat yang memenuhi setiap sudut ruang itu. Empat orang di dalamnya—kecuali aku—merasakan sesak napas dan perih mata yang sangat karenanya. Aroma kematian mendadak menguar dan menjejali setiap kepala.
Lalu, semua menduga-duga di mana sumber asap itu. Mungkinkah ada api di dalam mulutku. Mulutku memang patut disigi dengan saksama untuk menemukan tersangka utama, ada lidah, langit-langit mulut, gigi seri geraham atau taring, lebih ke dalam pangkal tenggorokan. Tidak, semua yang di dalam mulut itu hanya ada seperangkat artikulator, alat. Mungkinkah alat ditersangkakan? Sebagai umpama, seseorang terbunuh setelah ditikam dengan pisau. Mungkinkah polisi menjadikan pisau sebagai tersangka. Begitu maksudku.
Lalu, apakah sebab musabab di balik asap pekat dari mulutku yang justru mengancam membunuh siapa saja yang mendengarnya? Akan sangat sia-sia mengusir asap, tanpa usaha mematikan sumber asap itu. Siapa pun yang ingin menolongku harus menyelam ke dalam pikiran dan hatiku. Lalu memadamkan api di dalamnya. Betapa pun, aku tahu ada titik panas di sana, tapi aku sendiri tak bisa memadamkan atau mengendalikannya.
*
Dengan asap yang terus mengepul dari mulutku, aku memenuhi undangannya ke Baturraden. Matanya menyala saat melihat gulungan asap raksasa mengekor di belakangku. Sesekali warna api menjilat-jilat, mengejek kekasihku yang merwajah masygul.
“Kamu tahu, kenapa aku mengajakmu ke sini?”
Aku menggeleng tak acuh, asap menghambur dari mulutku bagai permainan asap rokok.
“Ayah dan ibu melarang hubungan kita berlanjut,” suaranya mendadak lesap tertahan sesuatu di pangkal tenggorokan.
“Tak ada gunanya menangis.”
“Kamu memang harus belajar bersikap lebih baik agar tak mudah memicu pertengkaran.”
Setelah mengatur napas hingga kembali teratur dan meredakan gemuruh di dadaku yang bergolak, aku katakan padanya, “Kupikir, ayah dan ibumu benar.”
“Kamu menyerah, Sayang?”
Aku hanya mendesis mendengar kegusarannya. Sejak awal, aku tahu, cepat atau lambat, hal sepelik itu akan terjadi. Dengan mangajakku ke Baturraden, dia tengah menguji daya tahan cinta kami. Sejarah Baturraden mengajarkan kami, cinta yang buta dapat dikalahkan dinginnya kabut yang turun dari puncak Gunung Slamet. Cinta yang buta dapat diredam dengan menempuh jalan yang terjal berliku. Cinta yang buta dapat digugat dengan keterbatasan dan kekurangan materi. Yang mampu bertahan dari dinginnya kabut, jalan yang terjal berliku, dan keterbatasan dan kekurangan materi, pastilah bukan cinta yang buta, melainkan cinta sejati.
Aku adalah anak pohon mangga. Tentu dia tampan dan gagah seperti seharusnya seorang ayah di mata anaknya. Pohon yang tumbuh tegak di depan rumah yang dulu kutinggali berdua dengan ibu sebelum kematiannya. Bertiga, saat seorang laki-laki yang konon suami ibuku masih hidup meskipun aku tak pernah mengingatnya barang sebiji zaroh. Pohon mangga peneduh halaman rumah kami itu setiap tahun selalu berbuah. Buahnya selalu lebat dan berukuran besar, sangat memuaskan. Dagingnya bertekstur lembut dengan kemanisan yang sempurna, tak berlebihan. Sungguh buah mangga kami tiada duanya di pasar. Setiap sel dalam akar, batang dan ranting, daun, bunga, dan buahnya adalah persembahan cinta dari ayah dan suami untuk anak dan istrinya. Begitu kata ibu padaku suatu ketika dan kalimat itu selalu diulang-ulangnya pada kesempatan yang lain. Bahkan, pada hari-hari terakhirnya masih bernapas.
Aku dibesarkan dan dirawat pohon mangga sebagaimana ibu merawat dan membesarkan pohon mangga dengan penuh cinta. Pohon mangga itu tak pernah tumbuh lebih tinggi dari atap rumah kami, akar tunggang dan batang utamanya yang kokoh membuat ibu tak pernah khawatir jika aku memanjatnya berlama-lama. Hanya dengan pohon cintalah aku berkawan, selain ibu tentu, sementara teman-teman kampung seusiaku bercengkerama dengan ayah-ibu mereka. Dari kejauhan, aku sesungguhnya iri. Entahlah, aku tak pernah mengatakan kepadanya atas kecemburuanku kepada mereka yang memiliki ayah seorang manusia. Aku tak ingin menyakiti hati ibu.
Pohon cinta adalah rumah bagi burung, belalang, semuat, ulat sebelum berubah jadi kupu-kupu. Mereka adalah saudaraku sedarah, kami berbagi suka dan duka, saling menjaga. Kami pun sesekali bertengkar untuk beberapa saat sebagaimana sebuah keluarga normal.
Dari atas pohon, aku sering kali melihat ibu bicara dengan pohon mangga, penuh cinta dan takzim. Ibu membicarakan tentang apa saja. Pada saat-saat tertentu, aku bahkan mendengarkan ibu bersenandung untuknya sambil menyiramkan air di tanah atau menyapu daun-daunnya yang kering berserakan di tanah. Ibu tak pernah menyembunyikan rahasia apapun darinya, bahkan yang tak boleh aku tahu. Pada saat seperti itu, aku merasa iri padanya. Tapi itu terlintas sebentar saja. Sebagai balasan cintanya, pohon cinta menjatuhkan daun keringnya sesedikit mungkin dan menunggu datang angin yang berembus kencang sehingga ibu atau aku tak perlu susah payah menyapu halaman rumah kami, kekcuali sedikit.
“Untuk apa memulai pelayaran dengan bahtera yang bocor sejak awal, kita bukan Khidir dan Musa bukan?” kataku lirih.
“Kita punya cinta yang harus diselamatkan. Kecuali, itu tak bernilai di matamu.”
“Untuk menyelematkan cinta, terlalu banyak yang harus dikorbankan. Itu tak adil buatmu bukan. Percayalah!”
“Aku tak peduli, ceritakan tentang pohon mangga ayahmu dan anggrek ibumu padaku.”
“Kau akan mati karenanya?”
“Aku akan mati karena cinta. Itu mengagumkan, Sayang.”
Semua itu hanyalah delusi ibu. Sementara aku kecil dengan segenap keluguan meyakininya sebagai kebenaran. Aku menyadarinya pada hari paling menyedihkan seumur hidupku. Ketika aku berusia tujuh belas, petir itu menyambarku tiba-tiba, ibu meninggal tanpa firasat atau pertanda apa pun sebelumnya.
Satu-persatu simpul rahasia mengendur dan terbuka dengan sendirinya. Petir pertama sungguh menggetarkan. Aku dibuatnya tak sadarkan diri ketika kudengar sendiri orang sekampung tak mengizinkan tanah kuburan digali untuk ditanam mayat ibuku.
Petir kedua menyambar, aku lebih kuat karena sambaran petir yang pertama. Ayahku mati bunuh diri saat usiaku belum genap setahun. Ibu tak pernah mengatakan apa pun tentang itu. Kebenaran yang kudapat beberapa tahun kemudian adalah ayahku pelaku peledakan bom bunuh diri di sebuah gereja. Orang kampung tak sudi kuburan mereka ditanami jenazah ayahku yang badannya bercerai berai, bahkan tak utuh. Ibu mengalah, menanam sendiri dengan tangannya mayat suaminya di halaman rumah. Beberapa hari kemudian biji mangga bertunas di dekat gundukan tanah tanpa nisan itu. Ibu membiarkannya sebagai peneduh makam ayah saat siang hari dan dari derasnya guyuran air di puncak musim hujan. Pohon itu tumbuh besar bersamaku hingga hari ini.
Aku tumbuh tanpa interaksi dengan teman-teman seusiaku dan tetangga. Anak-anak kampung itu tak pernah diizinkan bermain denganku. Orang tua mereka mengatakan jika mereka nekat bermain denganku atau sekadar datang ke halaman rumahku, mereka akan dimakan sosok gergasi yang tinggal dalam sebatang pohon mangga besar dan angker. Pohon itulah yang oleh ibuku disebut sebagai pohon cinta, ayahku. Mereka menghukum keluarga kami dengan pengucilan. Mereka menyebut kami bersekutu dengan makhluk gaib. Makhluk-makhluk itulah yang menghidupi kami sehingga aku dan ibu tak pernah berkukurangan materi. Sampai hari ini, aku sendiri tak pernah tahu dari mana ibu memenuhi kebutuhan hidup kami, sementara ia tak berkerja.
Aku mengulangi apa yang dilakukan ibu ketika menguburkan mayat ayahku, sedangkan aku mengubur mayat ibu di dekat pohon cinta. Hanya di tempat itulah orang kampung tak bisa melarang apa yang ingin kulakukan. Itulah, mungkin, alasan ibu pernah berwasiat padaku ingin dikuburkan bersanding dengan pohon cinta.
Beberapa hari setelah kematian ibu, muncul anggek di batang pohon cinta. Beberapa bulan kemudian, di musim kemarau, anggrek itu berbunga. Bagiku, anggrek kuning itu adalah ibuku yang memeluk dengan erat tubuh ayah yang begitu dicintainya penuh pengabdian dan kesetiaan. Aku merasa lega telah mempertemukan dua perasaan cinta yang pernah berjarak antara manusia dengan sebatang pohon. Kini, sepenuhnya mereka hidup bersama, besanding, dan tentu berbahagia.
*
Dan, hari paling terkutuk itu datang. Saat seorang kolektor tanaman hias menemukan dan tersihir keeksotikan bunga anggrek di pohon mangga di depan rumahku yang biasa mekar di tengah musim kemarau. Dia memengiming-imingiku segepok uang untuk mendapat anggrek jenis baru dan tentu saja langka di dunia. Aku tak punya pilihan selain menjadi pendurhaka. Tiga bulan sebelum pernikahan kami, aku tak mengantongi sepeserpun uang untuk dijadikan mahar pernikahan.
Bunga Pustaka, 2019