Tak Seperti Dendam, Cinta Tak Perlu Berbalas


Tetanggaku yang buta itu tiba-tiba saja membelah malam gulita dengan berteriak, “Cinta tak akan pernah berakhir! Cinta tak akan pernah berakhir!!!” Sambil berlari-lari tak tentu arah, ia terus meneriakkan kalimat itu. Namun, seketika ia terhenti, persis di depan pintu rumahnya, dan rubuh ke tanah.

Aku yang saat itu tengah membaca buku puisi penyair lokal di teras rumahku tercenung. Hantu jenis apa pula yang merasuk si buta Kipling malam-malam begini. Awalnya aku menduga ia mabuk, tapi melihat sikap anehnya itu aku bertanya-tanya. Dan keterkejutanku kian memuncak ketika tiba-tiba ia rubuh, bagai batang kayu rapuh.

Tak ayal, suasana sebelumnya yang sungguh lengang berubah menjadi bagai malam pergantian tahun. Semua mata yang dengan hadir ingin melihat apa yang terjadi. Dan, aku menjadi bulan-bulanan lontaran tanya mereka, “Ada apa!? Ada maling? Siapa, siapa? Pembunuhan? Ada apa!? Ada apa? Siapa yang mati!?” Rentet pertanyaan mereka aku bungkam dengan diam. Sebab, aku sendiri pun belum tahu pasti kronologi yang sebenarnya.

Tak berapa lama kemudian ambulance menderu. Tubuh kaku si buta Kipling diangkat, sempat kulihat wajahnya memutih, begitu kaku dan pucat. Begitu ambulance mengaung pergi, aku mengambil kesempatan lari balik ke rumahku. Segera menutup pintu. Tak kupedulikan buku puisi yang masih tertinggal di meja terasku.

***
Hari ini Minggu: pagi yang cerah. Aku membuka daun jendela lebar-lebar. Kudengar diluar suara-suara ribut. Kulongok kepalaku keluar. Terlihat orang-orang begitu ramai, bahkan ada juga beberapa polisi. Kulihat sekeliling rumah si buta Kipling dibatasi police-line.

Aku mengingat-ingat, memutar memori ke masa lalu tentang si buta Kipling. Hanya sekitar dua tahun lamanya kami bertetangga. Awalnya, ia hanya menyewa rumah di sebelahku. Namun, karena pemilik rumah itu mendadak butuh uang untuk biaya berobat orang tuanya, si buta Kipling pun bersedia membelinya. Selama dua tahun yang singkat itu, yang kulihat kehidupan sehari-harinya berjalan lancar. Ia jarang keluar rumah. Pada awal masa kepindahannya, aku tak begitu memperhatikannya. Hanya sekedar bertegur sapa untuk beramah-tamah saja. Tak lebih dari itu.

Namun, pada awal tahun kedua bertetangga, ia memberi kesaksian padaku bahwa ia memutuskan tidak akan pernah menikah. Ini membuatku tersentak. Ia mengakui selama hidupnya ia hanya pernah mencintai seorang wanita. “Namanya Ariel, ya Ariel Smithless. Ayahnya seorang pialang kaya-raya. Sangat kaya, hingga rumahnya hampir-hampir mengalahkan istana Ratu Inggris. Ayahnya telah bersumpah di depan mataku tak akan pernah merestui hubungan kami. Sungguh ayah yang kejam. Tidak punya hati! Kepada anaknya, putri tunggalnya, ia tega memisahkan dari lelaki yang dicintai putrinya. Sungguh sangat… ah!”

Di waktu yang lain, ada lagi cerita menarik darinya, masih seputar kisah cintanya. “Dulu aku tidak buta. Mataku terang-benderang memandang segala rupa, segala warna. Pandanganku senantiasa jernih, tanpa pernah kabus, apalagi rabun sedikitpun. Tapi, sejak itu… ya, sejak kejadian itu… jiwaku merasa tertutup. Tak lagi dapat merasakan apa-apa. Segalanya sirna, segalanya hampa! Hingga akhirnya mataku hanya dapat melihat kekelaman, kegelapan yang abadi.”

“Kau begitu mencintainya?” ujarku merespon ceritanya.

“Mencintainya? Pertanyaanmu konyol sekali, Kal. Tentu saja aku mencintainya. Mencintai setiap mili dari tubuhnya, mencintai seluruh isi jiwanya. Dia begitu sempurna, di mataku setidaknya. Dia selalu bilang aku telah melengkapi dirinya. Sepenuhnya aku mencintai Ariel dengan tulus. Bahkan, aku lebih rela menyembah Ariel daripada Tuhan.”

Aku tercenung mendengar ceritanya. Betapa cinta dapat merusak pengakuannya terhadap Tuhan. Betapa seorang wanita bernama Ariel begitu berharga di matanya dibanding Tuhan, sang penciptanya.

“Aku ingin tanya padamu, Kal, apakah semua orang akan menemukan kebahagiaan?”

“Tentu saja!” ujarku pasti.

“Ehmm, begini, begini. Pertama, mengertikah kau kebahagiaan? Maksudku kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang hakiki?”

“Ya, ya.. aku kira aku mengerti.”

“Kau paham maksudku?”

“Hmm, ya, aku kira sumber kebahagiaanmu adalah Ariel. Ia adalah kebahagiaanmu yang sesungguhnya, yang hakiki, begitu bukan?”

“Tepat, tepat sekali! Dan kini kebahagiaan itu hanyalah omong kosong dan hampa!”

Suasana mendadak hening. Aku menatapnya. Kulihat kedua matanya berkaca-kaca, menahan agar air matanya tidak tumpah. Bibirnya bergetar.

“Ariel adalah seorang wanita, yang mengumpulkan kepingan diriku. Seperti mengumpulkan pecahan kristal kembali bersatu,” ujarnya terisak.

“Lantas setelah kau berpisah dari Ariel, kristal itu kembali pecah?”

“Ya, pecah! Kristal itu pecah, dan tiap kepingnya menjadi sembilu di seluruh tubuhku.”

“Kau terlihat sebagai perangkai kata yang baik. Kau layaknya penyair…”

Tiba-tiba dia tersenyum, begitu simpul, seraya menghapus air mata yang coba dia sembunyikan. “Haa-haa, kau suka puisi, Kal?”

“Ya, khususnya puisi-pusi terjemahan. Aku penikmat Auden, Syzmborska, Rimbaud, Neruda, Slauerhoff, Paz…”

Ia mendadak sumringah. “Duhai, duhai… Erkal yang baik, yang sungguh budiman, bagaimana kau bisa tahu nama-nama itu? Mereka adalah para idolaku! Penyair yang sangat kukagumi! Aku selalu terpesona membaca puisi-puisi mereka. Tapi, tunggu dulu… apa yang kau lakukan dengan puisi-puisi itu?”

“Aku membacanya, menikmatinya, tentu saja.”

“Hmm, aku tak menduga dari wajahmu yang kaku, kau juga seorang penikmat puisi.”

“Lantas dari wajahmu yang sangar itu…”

“Haa-haaa..sudah, sudah, kau jangan tersinggung, Kal. Aku hanya bercanda. Biarlah orang tua ini sesekali tertawa, dan kuharap kau tidak keberatan.”

“Tidak, sama sekali tidak,” ujarku agak ketus.

“Baiklah, izinkan orang tua ini bercerita sedikit. Jadi, ya.. selepas Ariel tiada, atau tepatnya pergi menghilang bagai ditelan bumi, aku menjadi seorang penempa kata-kata. Pensil yang tumpul, kuraut menjadi seruncing luka yang aku derita. Ya, aku menulis ratusan, atau ribuan puisi, aku tak menghitung secara pasti. Diantara sekian banyak puisi itu, aku telah mengatakan hal-hal bodoh. Hal-hal yang terlalu kekanakan, layaknya kisah para remaja yang jatuh cinta, yang kemudian patah hati, lantas hendak mencoba bunuh diri. Ah, kira-kira begitulah… Namun, aku terus merangkai kata demi kata, waktu demi waktu terus menetaskan puisi demi puisi. Sebab setiap menuliskannya, ada perasaan lega yang hadir di rahang jiwaku. Jiwa yang telah terbakar oleh cinta, serasa menjadi sejuk seperti taman-taman surga…”

Aku bergumam sebentar, lantas menjawab, “Aku belum begitu yakin kau seorang penyair. Aku tidak pernah melihat nama Kipling di ruang sastra koran ataupun buku puisi. Sama sekali tidak pernah, sungguh.”

“Hmm, aku tak pernah merasa diriku seorang penyair. Dan perlu kau ketahui, aku tidak ingin mempublikasikan puisi-puisiku. Terlalu banyak hal pribadi yang memedihkan di situ, luka yang sedemikian perih ada di situ. Aku tak ingin membawa pembaca puisiku kepada hal-hal yang barangkali mereka anggap konyol. Aku tak ingin kisah pedihku ditertawakan. Puisi-puisi yang kutulis itu cukup menjadi pelipur lara bagiku di masa-masa sulit, masa dimana aku teringat akan Ariel. Ya, Ariel yang kucintai…”

Kali ini ia tak mampu menahan bendungan air dari mata butanya.

***
Pagi hari esoknya, setelah cerita panjang dengan si buta Kipling, ketika akan berangkat kerja, aku dikejutkan oleh setumpuk, oh ya, bukan setumpuk melainkan bertumpuk-tumpuk buku di meja terasku. Kuperhatikan satu demi satu. Semuanya buku puisi. Beberapa diantaranya ada karya-karya monumental dari penyair legendaris yang belum pernah kutemukan. Kemudian kutemukan sebuah kumpulan lembaran yang dililitkan dengan benang. Layaknya dijilid agar menyatu dan tidak lepas. Di lembar paling depan tertulis dengan huruf yang agak miring: Puisi dari Jiwa yang Terbakar.

Aku penasaran, kubalik-balik beberapa saat, beberapa dari lembaran itu sudah menguning. Isinya adalah puisi-puisi. Tiba-tiba sebuah kertas kecil berwarna merah terjatuh dari dalamnya, semacam memo, bertuliskan: “Kal, aku titip semua ini padamu. Terima kasih, dari Kipling yang telah buta karena cinta.”





Bagikan:

Penulis →

Muhammad Husein Heikal

Lahir di Medan, 11 Januari 1997. Menyelesaikan studi ekonomi di Universitas Sumatera Utara. Menulis untuk Horison, Kompas, Koran Tempo, Utusan Malaysia, The Jakarta Post, Media Indonesia dan terangkum dalam sejumlah buku antologi.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *