Dalam Ruang Baca Tubuhku
Di bilik waktu, jantung riwayatku terurai ringkas
sementara letupan samar dari katalog rasa sakit
mengisi ruang kosong di antara baris doa pendek
dan buku harian bergambar pohon ek.
Kucari persamaan yang menautkan impuls
dan kabar jalan penglihatan, tapi tak ada
sebuah petunjuk pun, selain seseorang
telah memungut masa laluku dari genangan
semata kaki di depan kenangan lisannya.
Ia teringat pertanyaan perihal kecepatan peluru
dan sebuah balok tak berwarna. Bunyi tak diinginkan
selalu melintas dari luka kemenangan
dalam variasi vektor mimpinya.
Ini bukan masalah kehilangan saat mencari
nilai nol masa lalu dan momentum yang terbenam.
barangkali itu seperti menunggu akhir senja
yang menghapus warna kuning di keningmu
bahkan kalimat-kalimat beradu di ujung kepalan diri
Degupnya menuju dada peristiwa
berkali-kali aku lingsir bersama pembatalan
yang lain: kehendakkah ini atau ilusi
dalam keriuhan bunyi?
2019
Sebuah Siklus Menuju Dadaku
Menghilang dan hanya berpindah
: sebuah ruang yang kau bebat,
sebelum mata peristiwa berkedip.
Siapa yang bergerak bersama nyala api
ketika cinta menembus dinding padat
cermat mengukur kapan patahan riwayat
saling terhubung dan terkubur penandanya.
Di seberang ketakutan, seseorang berjalan
dan terheran-heran, bagaimana seekor semut
mengangkat remah 50 kali dari beban tubuhnya
tenang menempuh arah kepulangan.
Masih tiga langkah dari ujung sepatumu
namun tak seorang pun mengenal yang liyan
—apakah ada kesedihan di sana, sementara
orang-orang ingin menghentikan kepergian
yang sia-sia?
Di kejauhan, para pejalan murung melihat
ke arah gunung yang menampakkan garis putih
hanya dugaan belaka jika ia tak menangkis
kebatan hitam pekat yang menuju dadanya.
Berulang, sebarannya terus tumbuh
mungkin ia akan menenangkan diri
bersama gelembung air sabun,
kristal fotonik, dan barbula Merak Hijau.
Jika kepantasan harus menunda sisa pertanyaan,
aku tak pernah menyangkal pada kemauanmu
mengitari jejak di Thanjah atau Laut Andalus.
Dan kini, mereka sudah ada dihadapan
bayanganku, seperti akan kembali
pada kerutan awan yang saling berkejaran
atau barisan pasukan, sekadar menahan
arah kumpulan liar di tepian lembah keluhan.
Di luar kehendak siapapun, aku berpisah dari mereka
sedangkan bekas-bekas ingatan perlahan menguatkan
pendengaran, tumpuan, dan kehilangannya.
2019
Sebelum Petualangan
Kau kumpulkan bayangan lain antara aku dan waktu
dan ia terus menjaga kelopak penglihatan, daun pendengaran
bahkan kulit perasa, bagian-bagian pohon pengetahuan
yang ingin mereka gugurkan lebih dulu.
Antara tabir-tabir dan tujuan akhir, keringat mengalir liar
dari lubuk ke tampuk. Berdarah-darah anggapan menghilir
sampai muara sejarah, tempat ikan-ikan silsilah berenang,
saling berebut remah di permukaan.
Apakah diri akan membuih dan berulang? Katamu
Tidak, jawab bayanganmu sendiri yang sangat lempung,
bersabar dari riuh pecahan suara, meredam
segala permainan bunyi. Bahkan aku mustahil
berlalu-kan diriku dengan buih peristiwa
yang kau percaya sebagai sentuhan peristiwa belaka.
Hingga semua hilang perlahan, tak terlihat di mata
teori-teori pencerahan. Dan kau seperti enggan
mengembalikan cahaya pertama dalam kenangan
pelajaran mengenal nama-nama diri
sejak kejatuhanmu yang pertama.
2019
Setelah Perjanjian Agung
(Langgam Perkawinan)
/1/
Mata
Yang membuka penglihatanku
dan ia mengambil tanpa canggung
semua yang kupandang remeh
: senja, mimpi, dan kenangan
/2/
Rambut
Dan hanya terbuka dihadapanku
hingga jari-jari itikadnya melepas
semua ikatan kehendak
pada hamparan ikal semu cokelat itu
kemudian jatuh sebahu, bergelombang,
memecah batas diri dan dia
sampai terciumlah aroma bahasa
yang pernah tak teruraikan
oleh setiap pejalan sunyi
/3/
Hidung
Imanensi mengalir
ke dalam cara ia menghirup
hal pertama dari bahasa
: nama-nama dan adat
yang mengembang, meluas
/4/
Mulut
Ia menyingkap apa yang kukatakan
dan aku mencari apa yang tersamarkan
dalam ucapannya
Aku hadir, meretas lengkung kenyaringan itu
sementara gemetar kaki kehendak, menunda
kesangsian: apakah diri akan menyimpan semua
yang tersampaikan lewat larik-larik ini
/5/
Telinga
Terlipat dalam tabir, hanya aku yang bisa masuk
dalam musiknya, meski sering kudengar ode
yang keliru dan tercatat sebagai suara patahan
dari nada sumbang milikku sendiri.
/6/
Dada
Tak berjarak
dengan degupnya
meski ia belum masuk
ke bilik jantung
kata-kataku.
/7/
Tangan
Dan kau bisa membayangkan arahnya
namun siapapun tak dapat menyaksikan
saat ia memegang lembut lengan masa laluku
yang selalu mengepalkan ruang rapuh
peta silsilah, hikayat, tragedi
dan kenakalan masa kecil.
/8/
Kaki
Tak ada panggung tontonan dalam dirinya
langkah yang terjaga, ia tujukan pada mata waktu
dan kami akan menari sampai langit pengetahuan
merendahkan batasnya, agar menjangkau
hamparan bumi dia
/9/
Wajah
Aku dan dia, dua cermin
saling memilah bayangan diri
yang maya dan yang nyata.
2020
Diktum
turun dari sisa kupakan mimpi pada dahi peristiwa
masa lalu terus cembung di belakang air mata
di kebun ini, bahkan seekor ular sekadar umpama
hanya tubuh yang bertaring, tergoda tarung pengandaian
maka berpautlah debu-debu dan pertanyaan konyol
sampai peristiwa tercipta dari hal-hal licin
2019
Memori 1
/1/
tangisan dan mantra
berpulang ke dada peristiwa
hangatnya mengalir
tumpah di jari waktu
/2/
memanjat leher abata
liurku mengalir liar
terbata-bata di lembah aksara
bercampur airmata kata
/3/
usia membuka sebutan liyan
berlapis tabir janji pertama
lorong luka dan lupa terbabar
pelajaran pertama nama-nama
2020
Suluk Huruf U
kubujuk lubukmu
bulu kuduk susup
kususur nun
burung-burung bubul
luhung tugur tuturmu
duduk khusyu
surut mulur lumpurmu
sudut-sudut kubur
ukur uzur sumurmu
sulur-sulur gurur
2019
One Response