Cerita Lain Untuk Sabil

Dua buah lemari papan, segulung tikar rumbia, sepasang bantal tidur dan guling, dua buah dus penuh bahan makanan, sebuah tas jinjing berisi pakaian, kuali dan periuk aluminium, dan sebuah kompor minyak tanah merek Hock sepuluh sumbu. Barang-barang itu bergeletakan di teras depan rumah Wahab, menunggu dinaikkan ke bak pikap yang baru akan datang beberapa menit lagi. Hari ini, Wahab akan mengantar anak sulungnya melanjutkan sekolah ke pesantren, dan barang-barang itu adalah keperluan sang anak.

Lelaki 38 tahun itu sedang duduk di dekat barang-barang tersebut sambil mengelap kacamata minusnya dengan lengan baju, ketika istrinya datang dari dalam rumah. Perempuan berkerudung panjang itu menenteng sebuah jeriken putih ukuran 5 liter. Tampak nama sang anak tertulis pada salah satu sisi jeriken itu. Wahab sekilas memandangi lima huruf yang ditulis dengan spidol permanen tersebut, lalu ganti menatap istrinya.

“Mana dia?”

“Tuh!”

Perempuan itu menunjuk ke arah depan rumah mereka dengan kepalanya. Wahab berdiri, memakai kacamata, lalu menengok ke arah yang ditunjuk sang istri. Di atas bangku panjang dan lebar di pinggir jalan sana, tampak si bocah tengah telentang berbantal tangan. Wahab menghela napas panjang. Sejenak ia kembali menatap istrinya, lalu melangkah ke arah si bocah. Cahaya matahari pagi dan kicau burung-burung mengiringi langkahnya.

“Bil.”

Bocah 13 tahun itu menoleh. Mata cerlangnya mendapati sang ayah sudah berdiri dekat di belakangnya.

“Belum siap-siap?”

“Kan semalam sudah, Yah,” jawabnya. Ia beringsut duduk.

Wahab mengangguk. Ya, ia tahu itu. Ia sendiri yang membantu sang anak berkemas semalam. Pertanyaan tadi tak lain hanya dimaksudkannya sebagai basa-basi. Sejenak, anak-beranak itu saling diam, tenggelam dalam riuh pikiran masing-masing sebelum akhirnya si bocah yang kembali bicara.

“Sabil takut, Yah,” katanya. Ia tampak resah.

Wahab tak langsung merespons. Sejujurnya ia tak tahu bagaimana harus merespons. Dua puluh lima tahun lalu, ketika ia merasakan hal yang sama, ia hanya memasrahkannya pada waktu dan waktu berbaik hati mengobatinya. Ia tak tahu apakah waktu juga akan berlaku sama pada anaknya. Memikirkan hal itu, ia kembali menghela napas panjang.

Ia baru hendak bicara ketika dari hilir kampung, seseorang dengan motor tua penuh bercak lumpur datang dan berhenti di depan mereka. Seseorang itu adalah lelaki 40 tahun bernama Zul.

“Wah, wah, wah!” seru Zul sambil mematikan motornya. “Berangkat pagi ini?”

“Insya Allah, Bang,” jawab Wahab.

“Di mana jadinya? Arrisalah?”

Wahab mengangguk.

“Baguslah,” kata lelaki berjenggot lebat itu. Ia lalu beralih menatap Sabil. “Kau rajin-rajin belajar di sana, Bil. Jangan kecewakan ayah sama mak kau tu.”

“Siap, Wo!” Sabil tersenyum, mengangkat dua jempol.

Lelaki yang tampaknya hendak berangkat menyadap karet itu lantas kembali mengengkol-hidupkan motornya, bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum benar-benar berlalu, ia sekonyong kembali menatap Sabil dan berkata, “Dan ingat, sebelum tidur, periksa dulu plafon asrama kau.”

Sontak Wahab tergelak. Zul berlalu, juga sambil tergelak. Sabil bingung, tak tahu kenapa dua orang dewasa itu tergelak. Ia ingin bertanya, tetapi ayahnya sudah bicara lebih dulu, ”Mau dengar cerita?”

“Cerita? Cerita waktu Ayah di pesantren lagi?”

“Ya,” jawab Wahab, “tapi,” sambungnya cepat, “yang satu ini Ayah jamin kau belum pernah mendengarnya.”

Sabil diam sejenak, lalu mengedikkan bahu.

“Okelah,” katanya, sambil kembali telentang.

Wahab tersenyum lebar. Sebentar kemudian—setelah ikut telentang di samping sang anak—sembari menatap langit pagi nan cerah, ia mulai bercerita.

***

Waktu itu, Ayah kelas tiga Sanawiah di Arrisalah. Kau masih ingat, bukan, Sanawiah … SMP, Aliah … SMA? Nah, waktu Ayah kelas tiga Sanawiah, Organisasi Pelajar Pondok Arrisalah atau OPPA, mengadakan satu ajang perlombaan yang mereka namai Star Dai dan Daiyah.

Dari namanya, jelas itu adalah ajang perlombaan ceramah. Namun beda dengan ajang perlombaan ceramah lain yang pernah diadakan OPPA, Star Dai dan Daiyah tidak berlangsung hanya sepekan, melainkan satu bulan penuh. Dan hadiahnya bukan hanya piala atau sertifikat, tapi juga bebas SPP tiga semester. Itu membuatnya menjadi acara paling besar di Arrisalah waktu itu. Juga paling bergengsi.

Namun, yang paling membuatnya berbeda adalah tempat pelaksanaannya. Jika biasanya OPPA mengadakan lomba ceramah atau lomba-lomba keagamaan lainnya di masjid, khusus Star Dai dan Daiyah, mereka mengadakannya di lapangan upacara pesantren.

Di lapangan seluas dua kali lapangan futsal itu, kakak-kakak panitia gotong royong mendirikan panggung utama dan sebuah tenda kecil dan dua tarup besar bersekat terpal. Di panggung utama itu para peserta lomba akan beraksi, di bawah tenda kecil itu para dewan juri akan menilai dan memberi komentar, dan di bawah kedua tarup besar para penonton akan menyaksikan jalannya acara.

Ya, kurang lebih seperti lomba ceramah yang kita tonton di tivi bulan puasa kemarin. Bedanya, di Star Dai dan Daiyah, penilaiannya mutlak di tangan para dewan juri, dan yang boleh ikut cuma santri-santri Arrisalah. Santri-santri Arrisalah tingkat Sanawiah, lebih tepatnya. Sebab kakak-kakak Aliah yang tidak menjadi panitia, hanya bertugas sebagai pendamping.

Waktu itu, Bil, kautahu, Ayah masih belum pandai berceramah. Walaupun rutin sejak kelas satu ikut lomba ceramah yang diadakan OPPA, baik dalam rangka peringatan Hari Besar Islam maupun kegiatan-kegiatan lainnya, Ayah tak pernah jadi juara. Itulah kenapa, ketika kawan-kawan Ayah heboh dengan acara Star Dai dan Daiyah itu—sibuk mempersiapkan diri dan memilih kakak pendamping masing-masing—Ayah justru sibuk mencari-cari alasan supaya tidak perlu ikut.

Ah, Ayah tahu kau akan bertanya begitu. Kenapa Ayah tak mau ikut? Ayah tak mau ikut karena… pada waktu itu, Ayah sudah tak sanggup menanggung malu karena terus-menerus kalah setiap mengikuti perlombaan ceramah. Dan juga, waktu Star Dai dan Daiyah itu diadakan, Ayah sudah setahun lebih tak lagi ikut lomba ceramah. Ayah sudah berhenti mengikutinya sejak awal semester dua kelas dua Sanawiah.

Jadi, seperti yang sudah Ayah katakan, ketika santri-santri lain sibuk mempersiapkan diri, Ayah sibuk mencari-cari alasan. Ayah cuma butuh satu alasan agar diizinkan untuk tidak ikut. Tentunya alasan yang cukup kuat seperti sebelum-sebelumnya. Dan waktu itu, Ayah sangat yakin akan mendapatkannya. Sangat yakin.

Tapi ternyata Ayah keliru. Hari berganti hari, alasan yang cukup kuat itu tak kunjung Ayah dapatkan.

Kautahu, Bil, dalam satu ajang perlombaan, biasanya OPPA selalu mengadakan banyak cabang sekaligus. Selain ceramah, mereka juga biasa mengadakan lomba Qiroatul Kutub atau membaca kitab-kitab gundul—kitab-kitab yang tak berharakat. Lalu ada juga Syarhil Qur’an, Tilawatil Qur’an, Kaligrafi, Cerdas Cermat, dan banyak lagi lainnya.

Nah, dalam ajang-ajang perlombaan itu, biasanya Ayah selalu beralasan sudah mengikuti cabang-cabang perlombaan lain—karena memang begitulah kenyataannya—untuk mengelak dari ceramah. Tapi agaknya memang sudah takdir, pada saat Star Dai dan Daiyah itu diadakan, Ayah tak bisa lagi mengelak dengan alasan yang sama, sebab saat itu OPPA hanya mengadakan satu cabang perlombaan: ceramah. Maka dengan berat hati—daripada digundul karena tak mau ikut tanpa alasan yang jelas—Ayah terpaksa ikut juga.

Sehari menjelang babak penyisihan pertama dimulai, mendaftarlah Ayah ke salah seorang kakak Aliah, yang tak lain adalah Wo Zul tadi, yang waktu itu kelas dua Aliah, untuk menjadi salah satu adik dampingannya. Saat itu juga nomor tampil Ayah dicabut dan entah kebetulan at au bagaimana, Ayah mendapat nomor urut terakhir babak penyisihan pertama. Itu berarti sehari menjelang hari-H. Bisa kaubayangkan, Bil? Sehari menjelang hari-H! Ayah bahkan belum tahu harus menyampaikan apa waktu itu.

Sadar tak punya banyak waktu, Ayah lantas bergegas meminjam beberapa kitab dan buku di perpustakaan pondok, lalu pergi ke tempat sepi untuk membuat naskah. Sengaja Ayah tak minta dibuatkan naskah kepada kakak pendamping seperti kebanyakan peserta yang lain, sebab Ayah selalu kesulitan menghafal naskah yang dibuatkan oleh orang lain. Maka begitulah. Sepanjang sisa hari itu, Ayah sibuk membuat naskah sekaligus menghafalnya, sekaligus berlatih menyampaikannya.

Tanpa terasa, datanglah malam hari-H. Dikomandoi Qismul Aman Wattartib atau pengurus OPPA Bagian Keamanan dan Ketertiban, seluruh santri Arrisalah berbondong-bondong mendatangi tempat acara. Beberapa di antara mereka tampak membawa karton-karton bertuliskan nama jagoan masing-masing. Beberapa yang lain membawa tikar. Tepat pukul delapan, kedua tarup besar sudah penuh sesak, yang kanan oleh santri putra, yang kiri oleh santri putri. Ustaz dan ustazah pengasuh nimbrung di antara mereka.

Selesai acara pembukaan, pukul delapan tiga puluh, mulailah satu per satu peserta dipanggil dan diberi waktu lima menit untuk berceramah. Malam itu, dua puluh sembilan peserta yang tampil sebelum Ayah, semua tampil luar biasa! Jelaslah. Mereka sudah berlatih berhari-hari. Beda dengan Ayah, sedetik menjelang dipanggil, masih buka-buka naskah.

Kau jangan salah, Bil. Ayah ikut perlombaan itu memang karena terpaksa. Tapi itu bukan berarti Ayah tak serius menyiapkan semuanya. Dimulai dari membuat naskah, lalu menghafalnya, lalu belajar menyampaikannya, semua Ayah lakukan dengan serius meskipun waktu yang Ayah punya tak banyak. Itu semua karena Ayah sadar, tampil asal-asalan hanya akan membuat Ayah bertambah malu.

Dan akhirnya, seiring lima menit demi lima menit berlalu, tibalah giliran Ayah.

Dengan tubuh gemetar, Ayah melangkah menuju panggung. Bukan main gugupnya Ayah waktu itu, sampai-sampai harus menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan degup jantung. Setiba di panggung, pembawa acara menjulurkan mikrofon, Ayah menerimanya dengan tangan berkeringat, lalu melangkah ke tengah panggung untuk mulai berceramah.

Saat itulah, saat Ayah baru hendak mengucapkan salam, mendadak listrik mati dan seisi lapangan berubah gelap pekat. Penonton sontak riuh. Beberapa terdengar beristigfar. Kakak-kakak panitia kalang kabut karena ternyata mereka lupa menyiapkan rencana cadangan untuk menghadapi situasi serupa itu. Dan akhirnya, setelah ditunggu-tunggu dan listrik tak juga kunjung nyala, diputuskanlah, peserta terakhir mesti tampil apa adanya.

Bisa kaubayangkan, Bil, Ayah yang bukan siapa-siapa ini, mesti tampil di depan penonton yang tak lagi berselera tanpa pengeras suara? Itu, aih, macam pergi berperang cuma membawa pistol air! Tapi Ayah tak punya pilihan lain. Keputusan panitia sudah bulat. Dengan penerangan beberapa batang lilin yang dinyala dan diletakkan oleh kakak-kakak panitia di depan panggung, mulailah Ayah berceramah.

Ayah ucapkan salam dengan lantang dan terdengar beberapa orang, beberapa dari hampir seribu orang, menjawab dengan tak semangat. Sempat Ayah berpikir untuk mengulangi salam sekali lagi, tetapi kemudian Ayah urungkan niat itu dan lanjut saja berceramah. Belum lagi satu menit, penonton sudah asyik dengan urusan mereka masing-masing. Itu Ayah ketahui dari dengung suara mereka dari arah kedua tarup besar.

Diperlakukan seperti itu, entah kenapa, Bil, tiba-tiba muncul rasa marah dalam diri Ayah. Ya, bukan malu, bukan rendah diri, tapi marah. Aneh, memang. Biasanya dalam kondisi seperti itu, Ayah justru akan langsung patah semangat dan mulai berceramah asal-asalan. Tapi tidak kali itu.

Ayah benar-benar marah. Semua perlombaan ceramah yang sudah Ayah ikuti dan tak pernah Ayah menangkan, terbayang di kepala. Bayangan itu membuat Ayah merasa muak. Muak itulah yang kemudian berubah menjadi marah. Dan entah di menit keberapa, Ayah mulai berceramah dengan rasa marah itu.

Masih dengan memegang mikrofon yang tak menyala, Ayah muntahkan semua materi ceramah Ayah yang panjangnya tak kurang dari tiga halaman HVS, yang ajaibnya bisa Ayah ingat setiap katanya bahkan sampai ke titik-komanya. Suara Ayah meledak-ledak, bergaung-gaung menelan dengungan suara penonton di bawah kedua tarup besar.

Waktu itu, Bil, Ayah pikir tinggal menunggu waktu salah seorang kakak panitia akan datang dan menyeret Ayah turun dari panggung. Tapi ternyata tidak. Semua kakak panitia bergeming di tempat mereka masing-masing.

Kautahu apa yang terjadi selanjutnya?

Seluruh penghuni kedua tarup besar sontak berubah senyap. Ya, benar-benar senyap. Andai tak melihat satu-dua bayangan tubuh mereka, Ayah tak akan tahu apakah mereka masih ada di sana atau sudah pulang ke asrama masing-masing. Tapi kejutannya tak berhenti sebatas itu. Sekira sepuluh detik sebelum Ayah menutup ceramah, listrik kembali menyala dan tampaklah, semua tengah menatap ke arah panggung.

Ayah sampai tertegun saking tak percaya dengan apa yang terlihat, sebelum kemudian tersadar dan mengucapkan salam penutup. Berbeda dengan respons saat salam pembuka, selepas Ayah mengucapkan salam penutup, semua orang, benar-benar semua orang—termasuk ustaz-ustazah dewan juri—bungkam sebungkam-bungkamnya. Tak seorang pun bersuara. Beberapa detik setelahnya, barulah mereka menjawab serentak sambil berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah.

Itu benar-benar salah satu momen paling mengesankan dalam hidup Ayah. Sejak malam itu, kepercayaan diri Ayah meningkat berkali-kali lipat. Dan juga sejak malam itu, Ayah terus mengembangkan cara berceramah, hingga pada babak-babak berikutnya Ayah bisa melaju mulus sampai ke babak final, dengan tampilan yang—menurut para dewan juri—semakin membaik dan berciri khas.

***

“Jadi Ayah menang?”

“Menurutmu?”

“Juara satu?”

“Juara berapa lagi?”

“Serius!?”

“Tanya nenekmulah kalau tak percaya. Dia yang terima pialanya waktu itu. Tapi sayangnya, piala itu bergilir. Harus dimenangkan tiga kali berturut-turut baru boleh dibawa pulang. Ayah menang cuma sekali. Tahun besoknya sudah Aliah.”

“Terus, apa hubungannya sama omongan Wo Zul tadi, yang soal plafon?”

“Hahaha. Kau masih mikirkan itu? Ya tak ada hubungannya.”

“Hmm.”

“Jadi kau tetap mau tahu soal plafon itu? Baiklah, Ayah ceritakan. Lihat bekas luka di atas alis mata kiri Ayah ni? Suatu malam, seorang kawan sekelas Ayah yang malas sekali bangun Subuh, lari tidur di atas plafon asrama yang kebetulan tepat di atas Ayah. Dia tidur di sana, tapi karena lasak, dia jatuh, sekalian membawa papan alas tidurnya. Di papan itu ada paku yang ujungnya menyembul. Nah, ujung paku itulah yang kasih Ayah kenang-kenangan ini.”

Sabil mematung.

“Hahaha. Malah bengong. Nah, itu mobilnya sudah datang. Pergi mandi, gih. Sebentar lagi kita berangkat.”

Sabil bangkit dari bangku panjang dan lebar itu, melangkah pelan menuju rumahnya. Dalam hati, ia bertekad akan membawa pulang piala yang pernah dimenangkan ayahnya dulu. Dan ia juga berpikir, tak ada salahnya juga, rutin memeriksa plafon asrama sebelum tidur.

Sejurus kemudian, Wahab juga ikut bangkit dan melangkah menuju pikap yang kini sudah terparkir tepat di halaman depan rumahnya. Setelah sejenak menyalami dan berbasa-basi dengan sang sopir, ia, dengan dibantu sang sopir, mulai menaikkan barang-barang di teras rumahnya ke bak pikap tua tersebut.

Bungo, 31 Agustus – 9 September 2020
Untuk keluarga kedua, I



===================


Bagikan:

Penulis →

Muhammad Syukry

Domisili Muara Bungo, Prov. Jambi – Indonesia. Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)—sekarang IAI—YASNI Muara Bungo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *